(7) Kak Anya

216 101 122
                                    

Setelah kepergok nangis di perpus oleh Razil, gue jadi curhat sama dia. Gue ceritain semua kejadian tadi pagi tentang mama dan Riyan ke Razil. Dia menguatkan gue, memberi kata-kata mutiaranya dan itu sedikit menenangkan gue.

"Udah, jangan nangis. Jangan terlalu dipikirin juga. Nanti Riyan juga paham kok," ujar Razil yang lagi berdiri meletakkan novel yang tadi gue ambil ke rak buku.

"Lo kenapa di perpus jam segini? Masih ada jam pelajaran lho," gue mengalihkan pembicaraan, karena memang merasa bingung mengapa Razil ada di perpustakaan ketika jam pelajaran. Razil bukan tipe siswa yang suka keluar jika ada jam pelajaran, bahkan ke toilet sekalipun.

"Kelas gue free, makanya gue ke perpus. Lo sendiri tumben ke perpus. Kenapa?" tanyanya balik.

"Gue tadi ketauan tidur di jam Bu Rikha, dan dihukum untuk bersihin perpus. Eh, sampai di perpus malah nangis."

"Ze, kalau ada masalah cerita sama gue. Jangan dipendam sendiri. Ya meskipun gue nggak bisa ngasih solusi banyak, seenggaknya beban di pundak lo sedikit meringan karena lo udah bagi ke gue," ucapnya yang kini telah duduk kembali di samping gue, dia juga sesekali menepuk pundak gue.

Gue hanya mengangguk. Lalu beralih menatap ke arloji yang melingkar di pergelangan tangan.

"5 menit lagi bel pulang bunyi. Gue mau siap-siap latihan marching band, gue keluar dulu ya," gue berdiri dari duduk dan menatap Razil.

"Oke, gue bakal nungguin lo latihan," jawabnya juga sambil berdiri.

"Nggak usah ngomong gitu, kalau ujung-ujungnya ninggalin," ucap gue sewot sambil mengingat kejadian di mana Razil ninggalin gue.

Gue kemudian berjalan keluar perpus ditemani Razil. Dia masih setia berdiri di samping gue, menuruti setiap langkah gue menuju kelas. Kini bel pulang sudah berbunyi, semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas.

Setelah mengganti pakaian dengan baju untuk latihan, gue berjalan ke lapangan outdoor sambil membawa bendera sebagai properti gue dalam marching band. Oh iya, posisi gue di marching band sebagai colour guard, gue nggak ngambil alat musik karena gue emang nggak bisa main alat musik.

Saat dalam perjalanan menuju lapangan outdoor, tiba-tiba ada yang memukul bahu gue pelan. Gue refleks menoleh dan melihat siapa pelakunya. Dan ternyata Kak Anya, dia menampilkan senyumnya ke gue. Gue yang disenyumin, juga ikut menarik sudut bibir untuk turut tersenyum.

"Bareng ke lapangan boleh?" tanyanya yang kini sudah berjalan di samping gue.

"Boleh kok Kak," jawab gue seadanya.

"Soal kemarin sorry ya. Razil kepaksa ninggalin lo, gara-gara nganterin gue,"

"Iya, nggak papa kok,"

"Oh ya Ze, gue mau nanya boleh?" Kak Anya kembali bicara setelah hampir satu menit hening.

"Nanya apa Kak?" gue nanya balik tanpa basa-basi.

"Kalau gue suka sama Razil, gimana?" tanyanya.

Oke, pertanyaan macam apa ini. Kak Anya dengan terang-terangan bertanya perihal itu langsung ke pacarnya Razil. Perempuan mana yang tidak cemburu, jika pacarnya disukai wanita lain. Gue sebisa mungkin menahan emosi agar tidak meledak.

"Selagi Razilnya tetap sayang sama gue, kenapa enggak," jawab gue sambil tersenyum simpul, tapi nyesek. Dengan PD nya gue mengucapkan kalimat itu padahal nggak ada yang nutup kemungkinan kalau Razil akan suka sama Kak Anya.

"Kak, gue duluan ya," gue memutuskan untuk meninggalkan Kak Anya dan berjalan nendahuluinya menuju lapangan outdoor. Jika terus berjalan dengannya, gue rasa emosi gue akan makin nggak stabil.

About ZeyaWhere stories live. Discover now