(10) Quality Time

188 70 118
                                    

Beberapa menit yang lalu, Riyan udah berangkat sekolah dengan sarapan seadanya, hanya memakan roti selai dan segelas susu. Gue sempat menyuruh dia untuk libur dulu kalau emang kondisi hatinya lagi nggak baik, tapi dia memilih untuk tetap sekolah dengan alasan dapat bertemu teman, dan berharap dapat sejenak melupakan masalahnya.

Kini gue menghampiri Razil yang duduk di sofa depan ruang tamu, duduk di sampingnya dan merebahkan kepala pada dada bidang pria itu.

Dia memeluk gue erat. Selama pacaran, baru kali ini mungkin gue nangis di dada dia. Ya karena gue emang paling nggak bisa liatin ke orang betapa rapuhnya gue.

Gue yang kini masih bersandar hanya diam, tak bersuara. Pikiran gue melayang, air mata masih saja mengalir meski udah gue tahan. Gue terus mengusap tetes demi tetes air mata yang jatuh.

"Jangan sedih Ze, di sini ada gue. Nggak boleh cengeng," ujarnya sambil mengelus lembut surai gue.

Gue hanya mengangguk dalam dekapannya. Setidaknya gue bisa sedikit lebih tenang sekarang. Entah ketenangan ini akan bertahan lama atau hanya sementara, entahlah, gue nggak peduli, yang penting sekarang gue udah nggak serapuh tadi.

"Mau ke luar?" tanyannya "Buat ngilangin sedih lo. Lo butuh refreshing," sambungnya lagi.

"Iya gue mau," jawab gue sambil mengangguk, tapi masih belum bisa lepas dari pelukannya.

"Jil, tapi nggak papa hari ini lo nggak masuk gara-gara gue?" tanya gue sambil menengadahkan kepala menatap ke arahnya. Pertanyaan itu sebenarnya udah bersarang sejak tadi di kepala gue.

Razil yang tadi udah lengkap dengan seragam sekolahnya yang rapi, kini justru berada di rumah gue. Menjadi sandaran buat gue. Gue merasa nggak enak karena dia udah bolos sekolah gara-gara gue.

"Nggak ada yg lebih penting dari bunda dan lo," ujarnya lembut.

"Mandi sana, kita jalan. Gue janji bakal buat lo bahagia hari ini," sambungnya lagi.

"Just today?"

"Not. But today, tomorrow, and every day,"

"You promise?" ujar gue sambil mengarahkan jari kelingking ke arahnya.

"Yes. I promise, honey," jawabnya sambil menautkan jari kelingkingnya pada kelingking gue membentuk simbol janji.

Cup

Ia mengecup pelan puncak kepala gue. Oh Tuhan, kali ini biarkan kebahagian bertahan sedikit lebih lama di hidup gue.

Setelah selesai mandi, gue menggunakan outfit sesimple mungkin. Dengan kaos hitam lengan panjang, dan celana jeans warna gelap pula. Hm, hitam emang warna favorit gue. Selain elegan, juga terkesan tegas menurut gue.

Gue memoles bedak dengan tipis, dan tak lupa dengan liptint berwarna cerah. Gue mengambil tas punggung untuk aksesoris, dan mengenakan sepatu sneakers hadiah ulang tahun pemberian Della. Setelah itu baru berjalan ke lantai bawah menuju ruang tamu, di mana Razil duduk menunggu gue.

Sebelum ke bawah, gue masuk ke kamar Riyan sebentar, mengambil baju kaos warna putih polos untuk Razil. Gue pikir nggak mungkin aja kalau kita jalan tapi Razil menggunakan seragam sekolah.

Gue menghampirinya yang sedang duduk menatap satu bingkai foto yang berisi foto gue ketika masih kecil.

Gue menghampirinya yang sedang duduk menatap satu bingkai foto yang berisi foto gue ketika masih kecil

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
About ZeyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang