(6) Pilih Kasih?

263 123 201
                                    

Yang di mulmed poto Zeya sama Razil yang lagi jaim-jaim uwuu

...
Beberapa luka justru datang untuk menguatkan.
...

Akibat semalam gue tidur terlalu larut, gue bangun sedikit kesiangan dari biasanya. Gue bergegas turun dan menghampiri mama serta Riyan yang lagi sarapan dan bersiap-siap untuk berangkat.

Oh iya, semenjak kepergian ayah, mama sekarang kerja di butik tante gue, adik perempuan ayah. Kata mama sih, kalau mengandalkan dana pensiun ayah saja tidak cukup. Dan gue sebagai anak yang belum bisa ngasih apa-apa cuma menyerahkan keputusan semuanya pada mama.

Sebelum menghampiri meja makan, nggak sengaja gue denger percakapan antara Riyan dan mama.

"Ma, beliin Iyan leptop dong. Yan kadang nggak enak sama temen Ma, masak bikin tugas nebeng terus," nada suara Riyan sedikit memelas. Gue memilih untuk menghentikan langkah sebentar, dan tidak menghampiri mereka dulu.

"Yan, kamu tahu kan? Gaji mama nggak seberapa, dana pensiun ayah juga nggak cukup buat bayarin sekolah kamu sama Kak Zeya. Makanya hemat, jangan boros," itu suara mama, suaranya sedikit lebih tegas.

"Tapi, Ma. Kak Zeya kemarin minta dibeliin HP aja mama beliin. Kenapa setiap Iyan minta, mama selalu aja bilang nggak ada duit. Mama pilih kasih," setelah mengucapkan itu, Riyan berdiri dari duduknya, lalu melangkah melewati gue yang berdiri tak jauh dari ruang makan.

"Riyan," gue mengejar Riyan ke luar.

Gue mencegat Riyan yang hampir menaiki sepedanya. Dia menatap gue sinis.

"Ngapain lo? Senengkan, karena mama lebih sayang sama lo. Apa yang lo minta pasti dikasih. Lah gue, apa yang gue mau selalu beli sendiri, dan terus aja disuruh hemat," dia meluapkan amarahnya ke gue. Riyan menghempaskan tangan gue yang dari tadi mencegat sepedanya.

Nggak terasa, air mata gue jatuh. Adik gue ngomong kayak gitu sama gue. Rasanya sakit. Gue nggak pernah nyangka, kalau dia bakal mikir kayak gitu.

"Ze, pr fisika udah siap?" gue yang baru memijakkan kaki di depan pintu kelas, langsung ditanya seperti itu sama Elsa dan dua orang babunya, ehem sedikit kasar mungkin kalau gue sebut babu, tapi kenyataannya emang kayak gitu. Dua orang yang berdiri di belakang Elsa itu sering banget disuruh-suruh sama si Elsa, dan gobloknya mereka mau aja. Mereka adalah teman kelas yang gue sendiri sedikit kurang suka sama sikapnya.

Awalnya Elsa nggak terlalu dekat sama gue, nggak pernah nyapa gue juga, tapi semenjak gue pacaran sama Razil dan Razil sering bantuin gue bikin PR, dia jadi ngedeketin gue. Emang jelas banget busuknya, ngedeketin orang cuma kalau perlu aja.

"Zeya, woi gue nanya," dia sedikit berteriak dengan nada membentak.

Gue tetap aja nggak ngerespon, cuma menatap sinis ke arahnya. Lah dia pikir gue sama kayak babunya, yang takut dengan bentakkannya dan mau aja disuruh-suruh, sorry lah ya.

Gue lalu mendudukkan diri di kursi yang berada tepat di samping Della. Anak itu yang tadi fokus dengan handphonenya, kini menggerakkan kursinya sedikit mendekati gue, dan membisikkan sesuatu.

"Jangan liatin PR lo ke si Elsa," bisik Della ke gue.

"Ya enggak lah, lo kira gue sebodoh itu nunjukin. Begadang lho itu gue bikinnya," bisikkan Della itu gue jawab dengan suara keras yang gue yakin seisi kelas mendengarnya.

Della memukul lengan gue pelan sambil melihatkan raut mukanya yang seolah berkata 'lo apa-apaan sih'

About ZeyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang