(5) Tugas Fisika

304 144 227
                                    

Setelah acara makan bakso selesai, dan arloji di tangan gue juga udah nunjukkin jam 9 malam, kita akhirnya memilih pulang. Makan bakso tadi Razil yang bayarin, dia juga bungkusin buat mama sama Riyan. Aduh baik banget dia, padahal bakso yang buat mama sama Riyan, gue mau bayar sendiri, eh tapi dia nggak ngizinin, jadi dia semua yang bayar.

"Ze, lo masih marah sama gue?" dia masih nanya kayak gitu dari tadi.

Jujur sih rasa marah gue udah mulai berkurang, tapi kecewanya masih ada sih dikit.

"Nggak," ini jawabannya jujur, dan nada suara gue sedikit lebih melunak dari tadi yang bawaanya ngegas terus.

"Gue udah nggak marah Jil. Tapi sempat kesel sih, apalagi lo nelpon gue pakai nomor Kak Anya. Lo nggak lupa kan, kalau Kak Anya pernah nembak lo?" gue ngingatin dia tentang kejadian 3 bulan yang lalu.

Iya, Kak Anya itu suka sama Razil. Dia bahkan pernah nembak Razil 4 hari setelah gue jadian sama Razil. Tapi waktu itu Kak Anya nggak tau kalau gue udah jadi pacarnya Razil. Kak Anya nembak lewat surat, dia ngasih bekal makanan ke Razil yang diletakkan di loker, di dekat kotak bekalnya ada surat. Razil pertamanya ngira itu dari gue, jadi dia makan bekalnya tapi suratnya baca belakangan. Gue kemudian bilang kalau bekal itu bukan dari gue. Nah Razil panik dan langsung baca suratnya. Gue nggak ingat isi rinci suratnya, yang jelas di surat itu Kak Anya bilang kalau dia suka sama Razil dan pengen jadi pacarnya Razil.

Gue sempat cumburu waktu itu, karena kalau dilihat dari fisik, Kak Anya bener-bener jauh dari gue. Gue takut Razil berpaling, secara kan Kak Anya itu mayoret marching band Stupa, lah gue cuma remahan rengginang. Tapi akhirnya Kak Anya tahu kalau gue udah jadian sama Razil. Dia perlahan menjauhi Razil. Tapi nggak ada yang nutup kemungkinan kalau Kak Anya masih memendam perasaan ke cowok gue kan?

"Zeya, plis jangan ngungkit itu lagi." dia kayaknya nggak suka bahas soal itu.

"Tapi gue cemburu dan nggak suka liat lo deket-deket sama Kak Anya," gue ngomongnya tanpa jeda tanpa spasi. Gue paling gengsi buat bilang cemburu, tapi kali ini cemburu gua udah di ubun-ubun. Susah buat ditahan, tapi kalau diucapin malah gengsi.

"Apa? Lo cemburu? Ciee ada yang cemburu," tuh kan, Razil itu orangnya suka ngeledek. Gue bilang cemburu malah diledekin. Dia kemudian mengacak-acak rambut gue sambil ketawa ngeledek.

"Tuh kan, ledek aja teros," gue mencubit pinggangnya dan memukul pelan bahunya, lalu dia sedikit menjauh dari gue.

"Ih Zeya KDRT, takut ah,"

"Nyenyenye," gue ngeledek dia dengan ala-ala sticker WA yang sering muncul di GC kelas.

Dia kemudian mendekat lagi ke gue. Jalannya di samping gue lagi, dan dia menenggerkan lengannya di atas bahu gue. Nggak romantis sumpah, kenapa nggak digandeng aja gitu.

"Ciee cemburu. Setelah 3 bulan pacaran, dan baru sekarang lo bilang cemburu, seneng deh gue," dia masih aja ngeledekin sambil ketawa puas.

"Serah lo," gue kemudian ngejatuhin tangannya dari bahu gue, kemudian berjalan lebih cepat dan ninggalin dia.

Langkah gue sama Razil sekarang sedikit terpisah. Gue 4 langkah lebih dulu di depan dia, dan dia juga kayaknya nggak ngejar gue. Ish, kan jadi kesel.

"Ze, lo nggak usah cemburu. Hati gue udah kekunci, dan kuncinya ada sama lo. Jadi gue nggak bakal buka hati untuk yang lain," dia ngomong sedikit keras, dan untung aja jalanan komplek nggak rame-rame banget. Jadi nggak ada yang nguping.

"Gue butuh bukti," gue ngejawab juga sedikit teriak, biar dia denger.

"Oke, bakal gue buktiin."

About ZeyaWhere stories live. Discover now