Jendela 1

479 38 7
                                    

Tebet, Jakarta - 24 September 2014

Jumat malam, kota akan ramai lebih lama dari hari lainnya. Jalan lebih macet. Mall, kafe, dan restoran lebih padat. Keadaan itu berbanding terbalik dengan kondisi rumah kos bernomer 4b, di jalan Tebet Raya berdinding kombinasi cat abu-abu dan putih yang masih senyap. Halaman yang biasa sudah penuh kendaraan penghuninya sekarang lengang, begitu pula ruang TV, biasanya berisik tapi kali ini sunyi dan gelap. Tirai sudah ditutup sejak sebelum Maghrib, dan tv sudah istirahat sejak lepas tengah malam kemarin begitu pula sofanya.

Beberapa pemilik kamar masih berada di luar menikmati malam, sebagian lagi sudah menikmati kegiatan di kamar masing-masing. Salah satunya Regina Silvy. Dia sengaja membiarkan jendela kecil itu terbuka sejak petang. Tak ada pemandangan indah, cuma tiang listrik kecil yang dibelit kabel-kabel hitam dan sedikit pesona bulan kuartir dan beberapa kilap bintang-bintang.

Regin duduk di atas bean bag berwarna merah maroon memandangi langit yang tampak dibingkai jendela kecil kamarnya. Dia seperti mayat hidup yang tidak punya tulang, tanda-tanda kehidupannya kabur sejak dua hari lalu dan makin parah sejak dia tiba di rumah sepulang kerja tadi. Otaknya lumpuh untuk mencerna betapa konyol dirinya saat ini akibat merasakan rindu sekaligus penyangkalan dalam sekali waktu.

Regin tidak pernah merasa sangat menginginkan atau merindukan seseorang. Terlebih merasa begitu menemukan. Bertemu cinta dan memaknainya seperti sebuah rumah melalui cara yang selalu dia hindari. Baru kali ini dia merasa begitu pulang dan menyadari bahwa selama ini jiwanya serupa gelandangan. Regin menggeliat merasakan punggungnya nyeri, dia bangun mendekati kalender dinding di dekat pintu. Jari dan mulutnya berhitung tanpa suara mulai tanggal 29 Agustus 2014 hingga hari ini.

"Dua puluh tujuh." ucapnya nyaris tidak terdengar.

Regin menjauhi kalender lalu bersandar di jendela. Ditatapnya garis batas antara langit dan bumi yang bersinggungan dengan atap rumah orang. Suara helaan napasnya mengundang perhatian bintang-bintang. Mereka tahu persis, betapa kuat keinginan Regin melangkahkan kaki ke tempat dimana kekasihnya pulang menanggalkan semua lelah dan kesemerawutan. Mereka tahu sebesar apa hasrat Regin ingin memeluk, memberikan kenyamanan dan rasa tenang, hingga mereka terlelap.

Sayangnya, keinginan itu hanya angan yang setiap hari semakin jatuh jauh ke alam bawah sadar. Membesar-tidak terlihat tapi, sangat mengganggu. Regin pun sadar, dia tidak berbuat banyak selain menunggu. Sekalipun segenap jiwanya bersikeras memaksa seperti serdadu yang tidak sabar turun ke medan tempur. Suka tidak suka dia cuma menunggu seseorang yang tidak pernah menjanjikannya kopi darat. Seseorang yang ditemuinya dari facebook dan sudah tujuh hari menutup jendela maya yang menjadi satu-satunya tempat mereka bertemu. Yahoo Messanger.

Dulu, cinta dari dunia maya adalah hal konyol yang sulit menembus dinding logikanya. Sering Cia, sahabatnya, membahas hal itu. Regin selalu berhasil mematahkan analogi Cia tentang aplikasi situs kencan, kemajuan teknologi, dan peradaban. Bagi Cia, situs kencan atau media sosial bukan lagi buat orang-orang kesepian atau tidak laku. Situs kencan adalah cara praktis menemukan belahan jiwa. Biasanya, Regin pasti menanggapi dengan senyum sinis, tetapi malam ini dia tersenyum malu menjilat ludah sendiri, dengan mengingat obrolan itu dan situasinya sekarang, tak lain membuatnya seperti tengah berhadapan dengan karma.

The WindowWhere stories live. Discover now