Jendela 4

172 24 8
                                    

Ratusan pesan berdiam di dalam sana, menjadi saksi jejak tersendiri dari kisah yang entah akan kemana. Suatu sore, Dale menawarkan pada Regin supaya mereka pindah ke jendela lain, Yahoo Messanger. Regin pun setuju sebab secuil hatinya merasa tidak rela percakapan yang langka ini bubar begitu saja. Percakapan bersama lelaki yang mengaku berusia 29 tahun yang bekerja di perusahaan software itu berakar lebih dekat dan dalam. Mereka tidak lagi basa-basi membahas karya seni dan pelukis. Banyak obrolan ringan seperti bertanya kabar, membicarakan kegiatan sehari-hari, hobi, saling tukar harapan, dan apa yang ingin mereka lakukan di masa depan.

Topik percakapan mereka tidak pernah habis, bosan bicara kehidupan pribadi mereka lanjut tukar pikiran soal masalah dunia, perebutan wilayah di Palestina, kelaparan dan gizi buruk di daratan Afrika, kehidupan LGBT di berbagai negara, kesetaraan gender, perbedaan antara hidup muslim di Indonesia dan Amerika. Jika mereka lelah pada topik serius, mereka loncat membahas hubungan Selena Gomez dan Justin Bieber, chemistry Angelina Jolie, dan Brad Pitt, atau membahas Have you ever really love a woman Karya Bryant Adam dan musik James Morrison.

Dale sering tersenyum bodoh tidak percaya ini adalah dirinya, membicarakan hal ringan justru membuatnya lebih santai. Dia mengakui bahwa perlahan-lahan Regin tengah menyibak tirai hitam, kesepian, dan rasa bersalah mencair diterangi sisa-sisa matahari musim panas. Mereka membuat 24 jam terasa pendek. Satu hari seperti satu jam. Satu jam seperti satu menit. Lalu, satu menit tidak lagi berarti banyak.

Serupa Dale, Regin merasakan hal yang sama. Bersama lelaki itu dia merasa menemukan letupan emosi yang selama ini ditunggu, letupan emosi lebih dari rasa senang berbincang dengan orang lain. Dale pula yang membuat Regin bertemu sisi lain dirinya yang ternyata bisa banyak bicara, santai, dan sangat percaya diri. I love who am i with him. Perlahan Dale menjadi lebih dari apapun yang pernah dia tahu hatinya butuhkan.

Dari berbagai sisi dirinya yang jarang dia temui, keberanian membangun dunia fantasi adalah hal paling luar biasa yang pernah dia ciptakan. Dunia di mana semua hal yang mereka bicarakan hidup, lalu perlahan tanpa Regin sadari, dia menjadikan dunia itu sebagai pelarian setiap Dale menolak permintaannya untuk webcam atau sekedar bertukar foto. Semakin Dale menolak, semakin besar kecewa berubah menjadi pintu masuk yang memudahkan Regin pulang-pergi ke dalam dunianya. Setelah berlama-lama di sana, dia pasti akan merasa lebih baik tanpa sedikit pun malu atau aneh.

Suatu petang, pesan Dale mendarat menanyakan apa yang sedang dilakukan Regin, saat itu dia baru saja masuk kamar sepulang kerja. Sambil menutup pintu, Regin mengetik balasan. Setelah pesan itu terkirim, dia lantas melepas sepatu, seragam, mandi, terakhir menjatuhkan diri ketempat tidur. Tidak lama ponselnya berdering, dengan dering lebih panjang dari sebelumnya. Tertera nama Dale di dalam layar. Ini adalah saat-saat yang terasa sudah seumur hidup dinantikannya, kali pertama sejak mereka bertukar pesan, Regin akan mendengar suara Dale, dengan nyata.

"Hey, ini aku," ucap Dale ceria dibalik warna suara yang berat. "Gimana seharian dikantor, is everything okay?"

Regin menutup mata, merekam suara Dale ke dalam setiap lekuk ingatannya. Suara Dale memabukan, nyata berbisik di telinga. Regin membuka mata lalu menarik napas bersamaan, "Yeah, everything in control." Jawabnya bangun kemudian pindah duduk di bean bag menghadap jendela.

Regin kembali menutup mata meresapi intonasi suara Dale, ada sebuah hawa yang menyentuh langsung ke inti, membawa jiwanya mundur, Regin sampai di dunia fantasinya. Saat dia membuka mata, Dale nyata berada tepat di sampingnya.

"Kamu sudah makan?" Dale mengenakan kemeja biru terang dan celana panjang hitam ikut duduk bersandar di sofa.

"Belum, cuma baru makan pisang."

"Hanya pisang, kenapa? Diet?"

"Enggak. Cuma buat mengurangi nyeri datang bulan." Terang Regin enteng.

Dale tersenyum, "My beautiful monkey."

"Monyet?" tanya Regin sumringah dan salah tingkah sendiri di dalam kamar.

"Kalau aku monyet, berarti kamu adalah apa disukai monyet." Kali ini Regin menggoda dengan menekan suaranya ketika menyebut kata monyet. Dale tidak bisa menahan tawanya di balik telepon, mengerti maksud Regin.

Topik obrolan mereka berubah membicarakan pengalaman Dale yang pernah menjadi murid NYAA kurang dari satu tahun, sayangnya dia harus mengakui bahwa Tuhan tidak pernah memberinya bakat menjadi seniman.

"Tapi, kemudian aku sadar bahwa tidak semua yang menarik perhatian harus selalu jadi bagian dalam hidup. Aku menyerah tanpa mengurangi kecintaanku pada seni. And you, never take it for granted. Kamu mungkin bukan pelukis, setidaknya bakat yang kamu miliki bisa mengasilkan sesuatu."

"Uang?"

Dale menyeringai, "Egh, ya itu bisa mengikuti. Masalahnya uang bukan tujuan akhir sebuah seni. Masih ada keindahan. Kebebasan, kepuasan, dan kebanggaan. Itu maksudnya."

"Meski bukan tujuan akhir, tapi pada dasarnya uang bisa mendatangkan kebebasan, memberi kepuasan serta kebanggaan. Benar, kan?"

"Yes, my smart lady."

Regin ditembak perasaan aneh mendengar panggilan tidak biasa itu.

"Lalu kenapa kamu tidak sekolah ekonomi atau sekolah seni? Kenapa harus sastra Inggris?"

"Ikut-ikutan sahabat," jawab Regin. "Saat itu, mungkin aku tipe orang yang enggak terlalu suka merancang masa depan, bisa dibilang pecinta realita. Saat orang beramai-ramai berusaha keras menentang arus demi sesuatu yang mereka sudah tahu, bisa jadi aku satu-satunya orang yang santai mengikuti arus, tenang menunggu kejutan apa yang ada di depan sana. Kamu tahu, semua yang terjadi tanpa pernah dirancang akan memberi efek kejut tersendiri." Regin diam sejenak.

"Kemudian kami lulus dan berakhir kerja jauh dari apa kami pelajari. Dia sebagai junior marketing sementara aku sebagai CSO bank."

"Lalu apa efek kejutnya?"

Regin terbahak, "Not too bad. Rasanya seperti tahu bahwa kita kebal tersengat listrik ribuan watt."

"Lucky you. Memang apa yang sebenarnya kamu suka? Kamu ada rencana masa depan?"

"Hum, aku enggak tahu. Belum tahu." Regin ragu, sebab seingat dia, tidak ada yang pernah bertanya apa rencana dirinya setelah kontrak kerja berakhir, bahkan dirinya sendiri. Sekali lagi Dale membuat Regin berpikir lebih dalam mengenai hidup dan dirinya sendiri.

"Kalau gitu aku kasih ide. Kamu harus latih bakat kamu dan mungkin suatu hari itu akan menghasilkan uang. "

"Dengan menjualnya ke kamu."

"Aku serius. Aku pikir kamu harus mulai merancang masa depan, jangan terlalu jauh, coba buat tiga bulan atau satu tahun ke depan."

"Well, bukan tiga bulan, tapi rasanya aku tahu apa yang mau aku lakukan saat ini."

"Beritahu aku."

"Aku ingin melihat kamu, video call."

"Aku tidak bisa mengabulkan. Kameraku masih rusak, lagian sekarang aku harus berangkat. Kita bisa lanjut kirim pesan, akan aku balas jika tidak sibuk. Okay."

Penolakan Dale dan berakhirnya telepon, melempar Regin kembali sadar. Bahagia yang tadi menggepungnya seketika mengering menjadi kecewa yang Regin harap tidak akan pernah menghirupnya lagi.

***********************************************************************************************

Kita lanjut hari Minggu yah readers and writers... Ayo gerakin jarinya buat vote and komen and share.

Salam dari aku, yang masih kerja dari hati (Another WFH) :))

The WindowWhere stories live. Discover now