Jendela 16

72 17 5
                                    


Sesaat setelah Bayu meninggalkan kos, Cia bergegas masuk ke kamar Regin.

"Nasabah sendiri dipacarin." Cia menyandarkan punggungnya ke salah satu sisi pintu. Kemudian melipat tangannya. "At least now you've got someone whose real."

"Bayu punya semua yang diimpikan perempuan untuk memulai hidup baru, eenggak ada alasan buat nolak dia."

"Cinta?"

Regin tersenyum sinis.

"Orang bilang cinta datang karena terbiasa kan? Kita masih punya banyak waktu, cinta pasti ada. Nanti."

*

Setelah hari itu, hubungan keduanya pelan-pelan terlihat kepermukaan. Bayu mulai menjemput Regin di depan kantor, mulai minta dikenalkan pada orang tua dan semua teman-teman Regin lainnya disetiap ada kesempatan. Sejauh itu, Regin baru sanggup mengenalkan Bayu ke orang tuanya melalui panggilan video. Seperti orang lain yang tinggal jauh dengan anak perempuannya, orang tua Regin menyambut Bayu dengan banyak petuah yang harus Bayu jaga. Meski begitu terlihat penuh kelegaan di wajah orang tua Regin mengetahui anak mereka sudah menemukan kembali calon pendamping hidup.

Bayu gagal menyembunyikan kebahagiaannya bisa berbicara dengan orang tua Regin, hal itu membuat dia semakin tidak sabar memperkenalkan Regin kepada orang tua dan keluargannya yang lain. Hanya saja, Bayu masih ingin menunggu beberapa minggu bahkan bulan sampai dia menemukan saat yang tepat. Bayu merangkul dan mendekap Regin agar masuk ke dalam pelukannya. Muncul rasa hangat yang menggenapkan, Bayu tak ingin yang lain, hanya ingin Regin untuk hari ini dan seterusnya.

Dekapan itu berlangsung sebentar, terpisah oleh suara perut yang lancang berbunyi. Keduanya terbahak bersama, kemudian Regin mengambil simpanan mie instan dari lemari lalu menawarkannya pada Bayu. Begitu Bayu mengangguk, dia pamit ke dapur. Selagi Regin tidak ada, Bayu mengelilingi kamar Regina. Tidak ada apapun yang menarik perhatian Bayu kecuali kotak yang menyimpan barang-barang pemberiannya waktu itu. Mengetahui semuanya masih tersimpan rapi, senyum Bayu terbit laksana bulan penuh.

Suara dering ponsel Regin membuat Bayu meninggalkan kotak itu, dia mendekat lalu memungut ponsel Regin di lantai. Sebenarnya Bayu tak bermaksud membaca pesan dari ayah Regin, hanya saja pesan itu tak berhenti muncul saat dia masih menggenggamnya. Melalui tangan kanannya, Bayu merogoh ponsel dari saku celananya, kemudian menyalin nomer ayah Regin. 

**

Di depan pintu masuk studio empat, Regin mengibaskan tiket film yang satu jam lalu dibelinya. Penonton lain sudah masuk sejak tadi, petugas wanita di depan pintu mengingatkannya film akan segera dimulai. Dia senyum mengisyaratkan bahwa dia tidak akan masuk sebelum yang ditunggu datang. Petugas balas tersenyum memaklumi. Sementara itu, di tempat parkir, sebuah mobil hitam baru saja sampai. Bayu turun dari mobil, pontang-panting berlari ke dalam gedung, hampir setiap orang yang dilewati dia tabrak. Sebagian hanya menatap sinis, sedangkan lainnya teriak memaki. Dia tidak akan seperti itu, jika dia tidak lupa ada janji menonton film bersama Regin jam 7 malam. Tiga setengah jam sebelumnya dia malah meyanggupi menjadi mentor tambahan di kelas temannya.

Pintu kaca yang dijaga dua satpam berseragam safari hitam terbuka otomatis, salah satu satpam melempar senyum pada meski Bayu tidak ditanggapi karena Bayu dan tamu-tamu lain cenderung terpaku melihat poster film, tersihir aroma popcorn, cahaya temaram lampu yang membuat betah tapi, Bayu terpaku pada sosok wanita yang berdiri didepan studio empat. Dia tersenyum berlari menghampiri.

"Maaf!" napas Bayu terengah-engah.

"It's okay, tapi filmya sudah jalan dari 15 menit lalu."

Bayu diam, memasang muka bersalah. "Masih mau masuk?" tanyanya. Regin mengangguk.

Layar besar di tengah ruang gelap menampilkan adegan perang, suara senjata dan teriakan tentara meraung-raung seperti nyalak srigala di tengah hutan. Di deret kursi E bernomer 4 dan 5, Bayu mengeratkan genggaman tangannya pada Regin. Dia bahagia, hubungan mereka malam ini genap empat bulan. Semua berjalan baik, dia bahkan berpikir akan mengenalkan Regina sebagai calon pasangan hidup kepada orang tua dan keluarga besar. Nanti, minggu depan. Sekarang, di dalam ruang gelap dia ingin menikmati film yang dia anggap romatis berdua dikursi bernomer 4 dan 5.

Selesai nonton, Regin minta langsung diantar pulang sedangkan Bayu masih ingin di luar, santai minum kopi. Keduanya sempat adu urat, sampai akhirnya Bayu mengalah. Sepanjang perjalanan Bayu sengaja diam, dia masih memendam kesal karena Regin sudah merusak malam special mereka.

"Are you okay?" Regin akhirnya bertanya karena tidak tahan kesunyian diantara mereka.

"Yang tanya begitu harusnya aku."

"Aku kenapa? Baik-baik saja." Sambar Regin.

"Kalau baik, kenapa buru-buru minta pulang."

"Oh, aku kan cuma minta pulang, bukan minta berlian, sayang. Kenapa? Jadi masalah buat kamu?"

Bayu mengerutkan dahi mendengar pertanyaan kenapa jadi masalah? Memangnya hari jadi tidak istimewa, apa dia tidak senang menjalani hubungan bersamanya? Bayu malas menjawab, lagipula sebenarnya dia bingung harus mulai darimana menceritakan inti hal yang jelas sangat jadi masalah buatnya. Regin menanti-nanti jawaban tapi, Bayu malah bersikap seperti anak kecil dan lari dari masalah. Sikap diam Bayu membuatnya kesal, Regin mengalihkan perhatian pada ponsel mengecek ini-itu di media sosial. Dia juga ingin sekali membuka Yahoo Messanger, menghibur diri lewat kenangan palsu.

Mobil memasuki gang, karena masih kesal, Bayu sengaja tidak menghentikan mobilnya masuk ke dalam pekarangan. Dia juga tidak membuka sabuk pengaman untuk mengantar Regin sampai depan pintu atau bergegas membuka pintu mobil seperti biasa. Kedua tangannya kokoh menggenggam stir. Karena, tidak ada tanda-tanda Bayu akan bicara atau menjadi sosok romantis seperti biasa, Regin pun membuka seat belt dan membuka pintu mobil. Tangan Bayu spontan menahan lengannya.

"Mau tahu kenapa jadi masalah karena kamu minta pulang?"

"Karena kita eenggak mampir minum kopi dan ngerayain hari jadi."

"Kamu tahu, terus kenapa gini?"

"Aku nyeri haid. Kamu eenggak akan tahu rasanya."

"Kalau kamu bilang dari tadi, kita bisa mampir beli obat. Jadi,"

"Jadi tetap bisa ngobrol sambil minum kopi." Samber Regin lalu mendengus kesal.

Keduanya adu pandang, heran dengan pikiran masing-masing yang harusnya tidak jadi masalah. Masing-masing merasa sedang tidak dipahami.

"Kita bisa minum kopi besok-besok. Lagipula, kita bukan ABG yang harus selalu merayakan itu setiap bulan."

"Buat aku sebaliknya dan sekarang, rusak karena kayanya buat kamu enggak penting."

"Buat aku yang penting hubungannya. Kalau memang ini penting, kenapa kamu lupa punya janji dan akhirnya malah telat. Sudah tahu weekend, tapi tetap nekat ambil kelas."

"Aku kan sudah minta maaf."

"Kayanya kamu terlalu maksa semua rencana kamu harus berjalan sempurna. Kamu simpati sedikit sama penderitaan nyeri haid aku saja enggak." Regin keluar mobil sambil memengangi perut yang rasanya akan lepas menuju pintu rumah. Sampai Regin menutup pintu, Bayu sama sekali tidak menyusul.

Dia ingin Regin tahu dan paham bahwa ini teramat sangat penting baginya. Bayu membenarkan bahwa bukan perayaan yang penting, melainkan hubungan itu sendiri. Tapi Bayu punya pikiran lain, baginya tanpa perayaan usia sebuah hubungan jadi kurang bermakna. Untuk pertama kali, dia merasa benar-benar kesal pada Regin yang juga mengatakan dirinya terlalu memaksakan kehendak.

"Kalau aku tahu rasanya nyeri haid, buat apa pacaran sama perempuan." Omel Bayu sambil memundurkan mobilnya keluar gang.

*******************************************************************************************

Hey,  ayo ramaikan lagi. Jangan lupa Vote dan komen yah. 

See you :)

The WindowWhere stories live. Discover now