🐧Chapter08🐧

1.1K 94 1
                                    

SELAMAT MEMBACA

🐧Chapter08🐧

Besoknya ....

Pagi harinya saat sedang mencuci baju, tak sengaja Yaya menemukan kupon jalan sehat yang di adakan kemarin. Tapi, hadiahnya baru bisa diundi hari ini. Sepertinya Yaya tak terlalu membutuhkan kupon itu, karena dia tak ada niatan untuk menghadiri acara undiannya.

Yaya memasukan kupon tadi ke saku bajunya untuk ia buang setelah memutar mesin cuci. Sembari menunggu mesin cuci selesai berputar. Yaya membersihkan belakang rumahnya, di sana ia bisa melihat tetangga sok yes nya itu sedang marah-marah dengan mas Stiven, suami dari mbak Lala.

Perbincangan yang bisa Yaya dengar adalah, mbak Lala ingin membeli motor yang sama seperti milik mbak Saroh. Berkumpulnya para ibu-ibu kompleks selama ini adalah ajang pamer barang mewah satu sama lain.

"Kalo Mas Stiv nggak mau beliin Adek motor matic kayak punya mbak Saroh lebih baik kita ceria! Adek nggak tahan buat hidup miskin denganmu, Mas!" teriak mbak Lala tepat di depan wajah mas Stiven.

Harta merubah segalanya.

"Tapi Mas nggak ada uang banyak buat beli motor yang Adek pinta. Mas belum gajian Dek," Mas Stiven terlihat frustasi dengan apa yang diminta istrinya. "Motor yang lama kan masih bagus, pake itu dulu ya."

"Motor bagus apanya Mas? Motor supra gitu apanya yang bagus? Jugaan enggak mungkin Adek kondangan di pernikahan anak walikota pake motor supra, gak mungkin Mas, nggak mungkin!" bantah Mbak Lala akan apa yang suaminya katakan tentang kelayakan motor supra milik mereka.

"Tapi Dek ...,"

"Tapi apa, Mas, hah!? Kalo Mas nggak mau beliin Adek motor, siang nanti Adek ingin ngajuin perceraian!" sentak Mbak Lala lalu langsung berjalan masuk ke arah kamarnya begitu saja.

Mbak Lala ingin menenangkan diri dari cobaan kemiskinan yang ia alami dengan shopping ria di mall bersama teman-teman toxic nya, untuk acara yang akan mereka datangi nanti malam. Acara pernikahan anak wali kota yang mengharuskan mereka memakai pakaian mahal nan mewah.

Yaya tersenyum miris, laki-laki sebagian mas Stiven tak pantas untuk mbak Lala, pikirnya.

"Mas Stiv!" panggil Yaya dengan senyuman indah yang menghiasi wajahnya.

Mas Stiven menoleh ke arah pelaku yang memanggil namanya. "Ya, Mbak Yaya?" Dari suara yang Yaya dengar, mas Stiven ini terlihat begitu tersakiti akan ulah istrinya.

Yaya meninggalkan pekerjaannya sejenak untuk pergi ke arah rumah mas Stiven. Dia ingin membantu tetangganya. Jujur, Yaya bukanlah orang yang suka urusin urusan rumah tangga orang. Tapi, mbak Lala itu udah kelewatan, hampir setiap hari perempuan itu selalu menuntut barang-barang mewah dari mas Stiven yang hanya sebatas kuli bangunan.

"Mas, aku mau minta tolong." ucap Yaya dengan suara pelan.

"Minta tolong apa ya Mbak Yaya kalo boleh saya tahu?" tanya Mas Stiven. Ia termasuk pria yang senang berpura-pura damai dengan perasaanya yang saat ini hampir meledakan marah karena tak mendapat ketenangan saat berada di rumah. Tempat berpulang nya seseorang pekerja keras dari kelelahan hari panjang yang mereka jalani.

Yaya mengeluarkan secarik kupon yang ia dapatkan dari jalan sehat yang ia lakukan 2 hari lalu dengan suamianya untuk di berikan pada mas Stiven.

"Saya ada kupon jalan sehat 2 hari lalu. Siapa tahu anda beruntung dan bisa memenangkan salah satu hadiah besar yang ada di acara jalan sehat yang hadiahnya diundi hari ini,"

Mas Stiven mengernyit, "kupon? Tapi saya nggak butuh itu Mbak Yaya." Ucapnya dengan kekehan ringan.

"Siapa tahu beruntung Mas, sekalian Mas Stiven jalan-jalan. Suntuk kan kalo di rumah terus? Lagian hari ini kerjanya libur kan?"

"Iya sih, Mbak." Mas Stiven mengusap tengkuknya yang tak gatal.

"Yaudah nih ambil. Mas Stiven bisa pergi ke lapangan merdeka buat ikut undian nih kupon. Kalo nggak menang kan, bisa juga sedikit refresing pikiran." balas Yaya dengan suara yang menenangkan.

Mereka lalu ngobrol santai cukup lama, sampai Yaya mendengar suara tangis Olga yang sedang bersama sang nenek.

~~~


Lampung, 07 April 2020

Lelah √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang