MPB'47

2.5K 114 7
                                    

Happy Reading
💕
***





"Hi tuan putri, sudah bangun?" Ucapnya.

Vania masih menyesuaikan pandangan nya dengan mengerjapkan matanya berkali-kali.

"Aku senang kamu ada di sini." Vania menyipitkan matanya.

Setelah kesadaran Vania telah kembali sepenuhnya, Vania mulai memberontak karena kaki dan tangannya di ikat di sebuah kursi yang sedang ia duduki.

"Lepasin aku!" Teriak Vania.

"Ck ck ck, tidak semudah itu sayang, aku ngga akan biarin kamu pergi kemana pun, sekarang kamu milikku dan kamu harus selalu bersamaku mulai sekarang." Ucapnya tepat di telinga Vania.

"Lelaki gila." Decak Vania.

"Ya, aku gila, aku gila karena kamu sayang." Vania membuang muka saat Aldo mulai menyentuh wajanya.

"Devan ngga akan pernah maafin kamu!" Teriak Vania.




Plak




Dug





1 tamparan tepat mengenai pipi kiri Vania, membuat ujung bibirnya mengeluarkan darah, Vania hanya meringis merasakan perih di pipi dan keningnya yang ikut terbentur ke tumpukan balok kayu di sebelahnya.

"Oh maaf sayang, tapi jangan sebut nama dia oke." Ucapnya.


"Ternyata dia benar, kamu itu gila, ngga waras, setres!" Ucap Vania.

"Ya, ... Dan kamu tau ini karena siapa? Ini karena kamu." Ucapnya.

"Lepasin aku sekarang!" Aldo hanya menggeleng.

Vania masih berusaha melepas ikatan di tangannya, namun ikatan itu terasa sangat mengikat kuat di tangannya.

"Dari dulu, dia itu selalu saja mendapatkan apa yang aku mau." Vania mengangkat alisnya.


'Dia? Rasya gitu maksudnya?' batin Vania.


"Dia selalu rebut semua yang aku punya!" Lanjutnya tepat di depan wajah Vania, sampai Vania terlonjak karena terkejut.

"Dan kamu tau, sekarang aku akan rebut apa yang dia miliki." Ucapnya


"Itu adil kan?" Vania memejamkan matanya saat wajah aldo benar-benar tepat di depan wajahnya.

Vania masih terus berusaha melepas ikatannya, berharap ia cepat terlepas dan ia bisa kabur dari sini.

"Dia itu sahabatku." Ucap Aldo sembari berjalan menjauh dari Vania.

"Sejak lamaaa sekali." Lanjutnya.

"Dulu kami sangat dekat, sampai semua orang menganggap kami saudara."

"Tapi itu dulu."

"Nggak!" Teriaknya.

"Dari dulu kami tidak dekat, kami bukan saudara, aku dan dia."

Vania hanya mendengarkan tampa ingin menyautinya sama sekali, Vania berfikir dia hanya iri pada hidup Rasya dan itu menjadi sebuah emosi yang tak terkendali.

My Perfect BoyFriendOnde histórias criam vida. Descubra agora