Prolog

38 11 7
                                    

Nafasnya tersengal. Tidak. Ia tidak akan menyerah semudah ini. Yuna mengaktifkan mata Omnituens tingkat duanya, matanya mendelik tajam sembari berdesis, "Tidak. Aku tidak akan menyerah." Tangannya teracung sembari membelah dua barisan makhluk kegelapan yang ada di depannya. Nyala api pedang miliknya meraung-raung dan membakar habis semua makhluk kegelapan utusan Diabolus. Yuna melesat cepat menuju tempat dimana Diabolus menunggunya.

"Dimana kau? Keluarlah wahai Diabolus!" seru Yuna dengan mata awas menatap segala penjuru hamparan pasir. Ia menggenggam pedangnya yang masih meraung-raung, membuat wajahnya yang putih bersih terbelai oleh cahaya merah api.

Ia melirik sekilas, lalu dengan mantap ia berbalik dan membentuk sebuah perisai putih atas perintah matanya. Mata hitam kelam dengan pupil putih bak terang dalam gelap menatap galak satu sosok yang melayang dua ratus sentimeter dari tanah. Bibir merahnya yang penuh terbuka dan mengeluarkan beberapa kata, "Kau jelas tau kalau kau tidak bisa menyentuhku dengan cara pengecut seperti itu, Diabolus."

Sosok yang diketahui bernama Diabolus itu menurunkan lengannya dan menjauh lima langkah. Perisai yang Yuna ciptakan menghilang, ia berdiri tegak sembari setia menggenggam pedang api miliknya. Sunyi memeluk erat mereka berdua. Surai putih Yuna dibelai oleh hembusan angin yang jadi saksi bisu perang ini. Kedua manik mereka seakan menyatu dalam kelamnya kedua manik itu.

Diabolus masih setia bergeming. Manik oranyenya masih menatap lekat-lekat manik milik Yuna. Biasanya, Yuna bisa mengartikan setiap tatapan yang orang lain lemparkan kepadanya. Namun kali ini, arti tatapan Diabolus terlihat buram baginya. Diabolus melayang mendekat, sorot matanya berubah.

Bibir hitam Diabolus bergerak, "Yuna. Persepsimu salah. Yang kau percayai juga salah. Dea Yuna, aku sama sekali tidak memiliki angan untuk mengirimmu dan semua penghuni alam Papilonem ke alam baka."

Yuna menatap garang sosok yang berkulit cokelat eksotis dengan mahkota hitam yang melilit kepalanya. Bibir Yuna terangkat sebelah, "Benarkah itu?" Yuna tertawa kecil lalu melanjutkan, "Kau pintar sekali mengucapkan omong kosong. Bahkan sedari hari itu."

Tanpa mereka sadari. Satu sosok sedari tadi memperhatikan mereka dari atas bukit yang berada di ujung Pulau Hampa. Manik kuning sosok itu menatap lamat-lamat dua orang itu sembari menyengir.

Ini bukan akhir, dan juga ini bukan awal. Kisah ini sesungguhnya dimulai dari satu tahun silam.

---

Zivalencia want to say:

Akhirnya di publish juga ya, bagaimana menurut kalian? Komen dong, aku penasaran xixi.

Kalau kalian ada kritik atau saran, bisa DM atau komen ya, tenang kasih aku gak gigit kok!!

Sampai jumpa minggu depan man teman!~

Iustitia officialy published on,
1th June 2020.

IustitiaWhere stories live. Discover now