Bab 3

12 4 4
                                    

"Menemukan sebuah perkamen tua di dalam gua pertapa ya?"

Miaka menopang dagunya sembari maniknya meneliti perkamen tua itu. Atensinya beralih kepada Igusha yang berada di hadapannya. Kulitnya yang kemarin dihiasi oleh luka-luka kini telah kembali ke kondisi semula.

Igusha mengangguk, kemudian ia melontarkan beberapa kata, "Itu adalah satu-satunya perkamen yang ada di gua tersebut, tidak ada yang lain. Cukup aneh memang." Ia menjeda perkataannya sejenak, kemudian melanjutkan, "Perkamen itu juga hanya tersisa setengah bagiannya, entah kemana bagian lainnya. Dan juga beberapa kata sudah tak terbaca lagi, aku tidak yakin tim penerjemah bisa membacanya."

Manik Miaka kembali tertuju pada perkamen tua tersebut. Memang benar adanya, beberapa kata sudah hampir mustahil untuk terbaca. Namun, bukankah lebih baik mereka mencoba terlebih dahulu? Miaka menutup perkamen itu lantas memberikannya kepada penasihatnya yang merangkap menjadi wakil untuk menyerahkan perkamen itu kepada tim penerjemah Penasihatnya mengangguk paham, kemudian beranjak keluar menuju gedung divisi penerjemah.

Di dalam ruangan yang dominan warna merah itu hanya tersisa Miaka dan Igusha. Merasa tidak ada hal yang perlu dibicarakan, Igusha membalikkan badannya hendak melangkah keluar. Namun sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut Miaka membuat Igusha menahan langkahnya.

"Sampai kapan kau tetap disini?"

Igusha menolehkan kepalanya, "Aku akan segera pergi. Penyelidikanku masih jauh dari kata selesai."

Miaka menghela nafas, "Tinggalah sebentar lagi. Habiskan waktumu bersama Yuna atau setidaknya beristirahatlah. Lukamu itu baru sembuh."

Igusha terkekeh, "Tidak perlu, kau tau aku tidak selemah itu. Dan perihal Yuna ... bahkan mungkin ia membenciku." Igusha membalikan badannya sembari tersenyum, "Omong-omong, sekarang Yuna sudah menjadi seorang pugnator* yang hebat ya." (Pugnator adalah sebutan untuk orang-orang yang melatih kekuatannya dan menerima serta menjalani misi-misi yang diberikan sesuai kemampuan.)

Miaka mengangguk, tersenyum. Igusha berbalik dan melangkah keluar. Sebelum ia melanjutkan penyelidikannya, ia memutuskan untuk menghirup udara segar sejenak. Ia melangkah sembari maniknya memperhatikan sekitar. Entah sudah beberapa tahun ia tidak singgah di tempat kelahirannya ini. Mungkin lima tahun? Atau mungkin sepuluh tahun? Entahlah, ia tidak ingat. Yang pasti, negara ini sudah berubah seratus delapan puluh derajat.

---

Yuna memutar bola matanya malas. Setelah pertemuan kemarin yang berakhir tidak didatangi oleh satu negara pun, Miaka kembali memintanya untuk mengirim surat pertemuan. Kali ini secara langsung. Memang, pertemuan yang gagal itu sudah satu minggu berlalu. Akan tetapi, menurut Yuna tetap saja tidak akan ada yang datang. Yuna sudah menjelaskan hal tersebut kepada Miaka, tapi wanita itu tetap berpegang teguh pada pendiriannya.

"Kali ini bukan mengenai perdamaian, tapi mengenai keselamatan alam ini. Tolong bujuklah agar mereka semua datang."

Merepotkan sekali. Rasanya Yuna sekarang sudah beralih pekerjaan dari seorang pugnator menjadi kurir pembawa pesan. Yuna menghela nafas, kali ini ia tidak pergi sendiri lagi. Bukan hanya Ai, Neal juga turut ikut serta dalam misi ini. Itu berarti Yuna tidak akan dapat menyelesaikan misinya dengan cepat. Menyelesaikan misi dengan lambat berarti semakin rendah bayaran serta poin yang di dapatnya. Yuna tidak ingin posisi pugnator dengan poin terbanyak jatuh ke tangan orang lain. Akan ditaruh dimana wajahnya nanti?

Sekarang Yuna sedang duduk bersila menunggu Ai dan Neal menampakkan batang hidungnya. Saat di Pulau Hampa kemarin, Neal dan pasukan menyembuh datang saat bulan sudah berada di atas kepala. Padahal mereka berangkat saat matahari masih berada di atas kepala. Yuna menghela nafas dan menatap tajam kedua manusia itu saat batang hidung mereka terlihat.

IustitiaWhere stories live. Discover now