Bab 1

26 9 10
                                    

Membawa surat permintaan pertemuan untuk para pemimpin kelima negara bukanlah hal yang berat atau menguras energi bagi Yuna. Namun, ada satu hal yang ia benci tiap Sang Ibu---pemimpin Negara Api---memintanya memberikan surat permintaan ini secara langsung ialah: ketidakpercayaan tiap penjaga perbatasan wilayah. Pasti mereka akan menuduh Yuna macam-macam sebelum akhirnya membiarkan Yuna menemui pemimpin mereka. Padahal, bila Yuna berniat macam-macam bukankah bisa saja ia langsung menghabisi para penjaga perbatasan itu saja?

Yuna melesat cepat meninggalkan Ai, temannya jauh di belakang. Biasanya Sang Ibu hanya membiarkan Yuna memberikan surat permintaan itu sendirian. Entah mengapa, hari ini Sang Ibu juga turut mengikutsertakan Ai, yang mana membuat perjalanan Yuna menjadi lebih lama karena Ai tidak secepat Yuna.

Yuna sekilas melirik ke belakang, dan ia tidak mendapati Ai dalam jarak lima puluh meter dibelakangnya. Yuna mendesah kemudian duduk bersila di atas hamparan tanah sembari mengomel dalam hati. Manik hitam Yuna beralih pada lukisan alam yang tersaji di sekitarnya. Bagian alam Papiloneum yang ia duduki hanyalah berupa tanah kosong. Namun, kira-kira dua kilometer di depan, Yuna sudah bisa melihat daratan berwarna putih. Itu adalah perbatasan Negara Api dan Negara Es.

Negara Es adalah negara tercantik menurutnya. Bagaimana tidak? Semua daratan negara itu diselimuti salju putih (seperti warna surainya) yang begitu lembut bila disentuh. Bahkan hampir semua bangunan di Negara Es berwarna putih dengan sebuah chandelier yang menggantung di langit-langitnya. Kalian akan terpesona bila kalian berada di Negara Es itu sendiri.

"Oi, Dea Yuna!" Gadis bersurai hitam yang dikuncir seperti ekor kuda itu langsung jatuh terduduk diatas tanah. Peluh terlihat berjatuhan dari dahinya yang lebar seperti lapangan bola. Sepertinya ia begitu kelelahan. Apakah aku yang terlalu cepat atau dia yang terlalu lambat?

"Kau lama sekali, Ai. Aku sudah hampir beruban menunggumu," tukasku.

Ai mengangkat sebelah alisnya yang seperti deretan semut itu, kemudian ia membalas, "Tak ada bedanya jika kau beruban atau tidak, Yuna. Rambutmu itu sudah berwarna putih sejak lahir."

"Eh, kau benar juga," gumam Yuna. Kemudian Yuna berkata, "Oh, dan kau istirahatlah dulu selama lima menit. Kau tampak lelah."

Ai terkesiap. "Semenjak kapan kau memperhatikanku? Kau mulai memperhatikan orang lain, eh?" godanya.

Yuna menghembuskan nafas kasar, "Heh kacamata oval, aku tidak memperhatikanmu! Bahkan semua orang yang tidak mengenalmu bisa tau kalau kau sangat kelelahan! Lihatlah lapangan sepak bola yang ada di wajahmu itu, sudah basah seperti habis diterpa badai!"

Mendengar perkataan Yuna, Ai reflek menyentuh jidatnya yang memang seperti habis diterpa badai. Tapi ia tidak diam begitu saja, Ai membalas perkataan Yuna. "Heh rambut putih! Bukan salahku bila jidatku ini seperti habis diterpa badai, tau! Ini salahmu karena kau melesat terlalu cepat sehingga aku tetap tertinggal walau telah mengerahkan seluruh tenagaku!"

"Heh jidat lebar, aku tidak terlalu cepat. Kaulah yang terlalu lambat. Bahkan mungkin kau kalah dari kura-kura bukit itu," ujar Yuna sembari melemparkan pandangannya menuju seekor kura-kura yang ukurannya sebesar bukit.

Tidak bisa membalas, Ai hanya mengumpat dalam hati. Dirasa sudah cukup, Yuna bangkit dan menepuk-nepuk bagian belakang pakaiannya yang diselimuti butiran tanah. Mau tak mau Ai juga ikut berdiri walau kakinya masih sedikit mati rasa. Kemudian mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju perbatasan Negara Es yang kira-kira hanya setengah jam. Bila diukur dengan kecepatan Yuna.

---

"Kali ini untuk apa lagi pertemuan ini? Sungguh, pemimpin Negara Api itu begitu merepotkan. Aku tak ingin datang, masih banyak yang harus aku lakukan guna membangun kembali Negara Angin akibat penyerangan Negara Logam."

IustitiaWo Geschichten leben. Entdecke jetzt