3. Berbeda

2.2K 257 12
                                    

Di hari-hari berikutnya, Muthe selalu menyempatkan diri menemani Christy latihan. Tidak hanya membelikan air mineral seperti biasa, kali ini Muthe membawakan bekal untuk adik kelasnya itu.

"Teret! Hari ini aku bawain kamu nasi goreng seafood. Aku masak dibantuin mama aku. Kamu nggak alergi udang, kan?"

"Makasih, Kak. Tapi aku mau latihan. Kalau makan sekarang, nanti sakit perut di lapangan."

Muthe terdiam. Benar juga, sih. Tapi Muthe tidak kehabisan akal. "Nggak apa. Ini masih anget, kok. Kamu bawa aja nanti abis latihan baru dimakan."

Christy akhirnya mengangguk. Ibunya pernah bilang untuk tidak boleh menyakiti hati orang lain dengan menolak pemberiannya, jadi Christy menerima dengan senang hati.

"Omong-omong, besok kamu tanding jam berapa?" tanya Muthe sambil mengemas lagi bekalnya untuk dibawa Christy.

"Sekitar jam satu."

"Yah, masih sekolah dong." Muthe mendesah kecewa.

"Tapi kalau menang, kami main lagi jam empat."

"Ih, harus menang." Muthe meraih tangan Christy untuk ia genggam penuh kepercayaan. "Aku mau nonton kamu, kalian pokoknya harus menang."

Christy mengangguk asal. "Doain, ya."

•••

Muthe melirik jam sekilas, atensinya lalu kembali teralih pada soal ulangan harian bahasa Inggris Bu Gracia. Sekarang adalah hari pertandingan Christy, Muthe tadi mendengar kabar burung bahwa sekolah mereka menang di pertandingan pertama, jadi dia harus menepati janjinya untuk menonton.

Sebentar lagi pukul tiga. Muthe bisa merasakan keringat mengalir di kulit kepalanya karena gugup. Rasanya seolah dikejar waktu. Jantung Muthe tambah berpacu ketika melihat teman-temannya mulai mengumpulkan hasil ujian mereka. Muthe menggigit bibir bawah cemas, tinggal dua soal lagi, tapi kenapa sulit sekali?

Bu Gracia mengerutkan kening bingung melihat wajah Muthe jadi merah padam. Biasanya gadis itu adalah yang paling santai di ujiannya, tapi kenapa hari ini berbeda?

"Mut-"

Bel pulang sekolah berdering, memotong ucapan Bu Gracia dan memunculkan pekikan histeris dari murid-murid yang belum selesai. Bu Gracia membuang napas dan kembali duduk di kursinya.

"Saya hitung sampai lima, tidak mengumpulkan saya anggap tidak ikut ulangan."

Muthe mengerang pasrah dan segera pergi mengumpulkan sebelum Bu Gracia mulai menghitung. Gadis itu kembali dengan lemah dan menunggu sampai Bu Gracia membubarkan kelas.

"Muthe!" seru Ara dari ambang pintu ketika kelas sudah bubar. Muthe yang melihat itu segera bergegas mengingat untuk sampai pada tempat pertandingan membutuhkan waktu lama.

"Ayo, Ra. Mana pacar lo?"

"Gak ik-" Ara mengerutka kening. "Pacar gue siapa?"

"Ah, kelamaan, deh. Ayo!"

Muthe segera menarik Ara menuju parkiran kemudian segera pergi ke tempat pertandingan. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai karena ternyata jalan sedang sangat macet.

Mereka tiba di tujuan dan segera masuk untuk mencari tempat.

"Aduh, ini ke mana?" Muthe panik melihat perempatan lorong.

"Kanan." jawab Ara sambil berlari tergesa, disusul Muthe.

Mereka melihat pintu di ujung, itu pasti lapangannya. Dan benar saja, sudah banyak orang menonton di tribun. Tapi untungnya tidak terlalu ramai, karena belum final orang-orang tidak terlalu tertarik.

"Oi, Momo TWICE." sapa seseorang. Muthe segera mengalihkan pandangan dan mengerutkan kening melihat Sisca dan Lala di tribun dekat pintu masuk. Muthe dan Ara berpandangan sejenak sebelum memutuskan untuk ikut bergabung dengan mereka.

"Kak Lala sama Kak Sisca juga di sini?" tanya Ara basa-basi.

Lala dan Sisca dulu adalah kakak kelas mereka juga, sekarang sudah kuliah.

Sisca bergumam membenarkan. "Sebenernya gue males sih, tapi dipaksa aja sama ini orang."

Lala melirik meminta penjelasan. Apa yang dikatakan Sisca sekarang berbeda dengan apa yang tadi ia katakan sebelum berangkat. "Bukannya lo juga mau nonton Eve?"

"Si-siapa bilang?"

Lala melengos, membiarkan Sisca terus berpura-pura. Sementara itu Muthe memperhatikan mereka tidak mengerti, pembicaraan orang dewasa memang merepotkan.

"Denger-denger kalian mau ikut kompetisi dance bulan depan, ya?" tanya Lala.

Ara mengangguk membenarkan. Lala tahu informasi macam itu karena dulu ia juga mantan anggota ekstrakurikuler dance dan dia selalu update. "Yang lomba kali ini kita disuruh buat gerakan sendiri, Kak."

"Oh, gitu? Bisa tapi kan?"

"Bisa kok." Ara mengangguk, lalu membuang napas. "Semoga."

Beberapa menit kemudian, sekitar pukul empat lebih delapan menit, pertandingan di mulai. Tim sekolah Muthe, SMA Taiyou, mengenakan kaus warna biru muda dan putih. Sementara musuh mereka mengenakan kaus hitam dengan garis ungu, SMA Renai.

Lala dan Sisca kompak meringis melihat pemain dari tim musuh yang tampak tinggi dan garang.

"Bisa menang nggak, ya?" gumam Lala.

"Tenang, selama ada nomer sembilan," Sisca menunjuk ke lapangan. Muthe mengikuti arah pandang Sisca dan menemukan Christy dengan nomer punggung sembilan. "Kita pasti menang."

"Apa maksudnya, Kak?" tanya Muthe tidak mengerti.

"Tadi di pertandingan pertama mereka hampir kalah, terus nomer sembilan itu masuk ke lapangan dan tiba-tiba mereka lancar serang baliknya."

Lala mengangguk membenarkan. "Kayanya dia pengamat yang baik. Aku lihat selama dia di kursi cadangan, dia fokus banget nonton pertandingan. Terus waktu dia gantiin pemain lain, dia udah siap pakai strategi yang dia dapat dari hasil pengamatan tadi dan bagiin informasi yang dia dapat ke yang lain."

Muthe menggigit bibir bawah senang. Ternyata memang benar ada yang berbeda dari Christy, gadis itu ternyata pintar.



Bersambung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Bersambung

Aku ga ngerti nulis apa itu :v

❤️❤️❤️❤️.

ChristyWhere stories live. Discover now