7. Berharga

1.8K 227 12
                                    

Hari ini Muthe ingin merusuh Ara dengan mengajaknya mencari hadiah untuk ulang tahun neneknya besok, tapi setibanya ia di kelas Ara waktu pulang sekolah, teman sekelas gadis itu bilang Ara sudah terlebih dahulu pergi bersama Fiony. Muthe mengerucutkan bibir kesal ketika ia kalah cepat.

Apa Muthe meminta bantuan Zee saja?

Muthe menggeleng dan segera menepis opsi itu dari kepalanya. Zee memang baik, tapi dia selalu perhitungan pada Muthe. Ia jadi malas. Tapi Muthe tidak punya pilihan lain, ia akhirnya melangkah ke gedung olahraga dan berharap bertemu Zee di sana. Benar, Muthe bertemu Zee, tapi gadis itu duduk bersandar di luar gedung.

"Heh, ngapain lo?"

"Sstt!" Zee menempelkan telunjuk pada bibirnya. Ia lalu menepuk tempat di sebelahnya. "Sini, jangan berisik."

"Ngapain?" Muthe menurut karena penasaran.

Zee mengarahkan jempolnya ke dalam gedung. "Ada orang berantem."

"Hah? Siapa? Kok lo biarin aja, sih?" Muthe mengerutkan kening tak habis pikir. Bisa-bisanya Zee membiarkan sebuah pertengkaran terjadi dan malah bersembunyi di sini.

"Mau gue lerai, tapi gue takut. Soalnya yang berantem Kak Eve sama Kak Zara."

"Lo buntutin mereka?"

"Enggak, weh." Zee melirik malas. "Gue tadi anterin Kak Eve ambil sepatu basketnya. Kemarin ketinggalan. Terus tiba-tiba Kak Zara samperin kita, terus mereka berantem gak jelas gitu. Gue tungguin di sini aja deh daripada ganggu."

Muthe mengangguk mengerti. "Bijak juga lo. Tapi, daripada bosen di sini, mending lo anterin gue aja. Mau nggak?"

"Males. Mending gue melerai mereka aja." Zee berdiri, menepuk belakang roknya yang kotor. Ia urung melangkah ketika melihat Christy menghampiri gedung olahraga. Kebetulan sekali. "Nah itu, lo minta tolong bucin lo aja. Christy! Christy!"

"Eh, jangang dong! Kasihan itu anak orang lagi sakit. Mending sama lo aja, deh." Muthe menahan tangan Zee dan menarik-nariknya seperti anak kecil yang merajuk.

"Heh, kalo dia sanggup sekolah berarti dia baik-baik aja." Zee menarik tangannya dan tersenyum lebar pada Christy yang sudah dekat. "Mau ngapain, Chris?"

"Deker aku kayanya ketinggalan kemarin, Kak. Aku mau cek dulu."

"Gue cariin. Sekarang mending lo temenin Muthe, ya. Besok kalau ada, gue anterin ke kelas lo."

"Tapi-"

"Enggak ngerepotin, kok. Santai." Zee menepuk punggung Christy beberapa kali sambil tersenyum lebar. "Kalau gitu, gue cari dulu yaa. Jangan aneh-anehin anak orang lo."

Muthe menghentakkan kaki kesal, membuat Zee segera berlari masuk. Ketika Zee sudah hilang, Muthe menatap Christy malu-malu.

"Kamu emang nggak apa-apa?"

Christy menatap tangannya sebentar lalu mengangguk. "Udah nggak terlalu sakit, kok. Kata orang yang obati aku kemarin juga besok udah bisa dilepas. Kakak emangnya mau ke mana?"

"Aku mau cari kado buat nenek aku." jawab Muthe pelan. "Eh, Christy. Kira-kira, nenek zaman sekarang sukanya apa, ya?"

Christy diam sebentar, berpikir. "Entah. Gimana kalau kita ke toko barang antik aja? Siapa tahu nenek kamu pingin nostalgia sama barang-barang zaman dulu."

"Ah, iya. Boleh." Muthe tersenyum senang. Ia tidak tahu akan pergi dengan Christy hari ini, bukankah kejadian ini juga bisa disebut kencan terselubung? Ah, Muthe masa bodoh apapun itu namanya, yang penting ia pergi berdua dengan Christy.

Toko barang antik ada tak jauh dari sekolah, di ujung jalan dekat persimpangan, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Dengan iseng Muthe mengikat tangannya pada jari-jari Christy dan terkekeh tanpa dosa saat ditatap heran.

Christy membuang pandangan dan mengerutkan kening. Kenapa ia ikut senang padahal mereka hanya bergandengan?

Sesampainya di toko barang antik, kedua gadis itu segera melihat-lihat. Christy menunjuk benda yang memutar piringan hitam, entah apa namanya ia lupa.

"Nenek kamu suka itu? Kayanya semua orang dulu suka itu."

Muthe mengangguk membenarkan. "Iya, nenek aku suka. Tapi dia udah punya." lalu bibirnya melengkung ke bawah.

"Kalau ini?" Christy mengambil salah satu gelas di bagian koleksi peralatan makan.

"Gelas nenek aku juga udah banyak, kok. Dia malah sering ngumpulin piring cantik juga."

"Kalau lampu tidur?"

"Radio?"

"Gantungan kunci?"

"Celengan ayam?"

"Karpet cantik?"

"Rol rambut?"

"Sepeda?"

"TV?"

"Pot bunga keramik?"

"Catur?"

Muthe merosot turun, menyerah. Ia merasa buruk karena tidak tahu apa yang menjadi kesukaan neneknya. Selama ini, Muthe pikir ia cukup dekat dengan sang nenek karena ketika kecil mereka selalu menghabiskan sore bersama.

Muthe menutup wajah dengan tangan saat ia merasakan air matanya meluap. Bagaimana jika besok neneknya kecewa melihat Muthe tak membawa apapun? Memang tak wajib memberikan kado pada sang nenek, tapi Muthe ingin sekali membuat neneknya itu selalu mengingatnya.

"Kak?" Christy berlutut di sebelah Muthe dan mengusap punggungnya. "Bilang aja, Kakak maunya cari kado yang gimana?"

"A-aku pingin kasih nenek aku sesuatu yang orang lain nggak punya, Christy." Muthe mengusap air matanya sambil sesenggukan. "Tapi aku nggak tahu. Nenek aku sultan, dia udah punya semua. Aku nggak tahu harus kasih dia kado apa."

"Sesuatu yang orang lain nggak punya," gumam Christy berpikir. Sebuah ingatan tiba-tiba timbul dalam ingatan Christy. Ia segera menepuk pundak Muthe dan tersenyum senang. "Kamu."

"A-apa?"

"Sesuatu yang orang lain nggak punya, ya kamu. Cuma nenek kamu yang punya kamu, Kak. Kakak tahu apa yang paling disukai kakek sama nenek kita?" tanya Christy, tapi Muthe menggeleng tidak mengerti. Ia tidak pandai main tebak-tebakan seperti ini. "Mereka suka menghabiskan waktu bareng cucunya. Kado paling berharga buat mereka adalah bisa main bareng cucunya. Itu yang dibilang nenek aku sebelum dia meninggal di Jepang."

Muthe menatap Christy tidak percaya. "Aku berharga di mata nenek aku?"

Christy mengangguk membenarkan. Muthe merenung sebentar. Ia kemudian tersentak. "Ah, jadi kado ulang tahun nenek aku itu aku?"

"Iya, Kak."

"Ih, Christy, makasih banget!" Muthe memeluk Christy sampai gadis itu jatuh karena posisinya yang tadi berlutut. Christy tersenyum tipis dan membalas pelukan Muthe. Sepertinya, Christy mulai terbiasa dengan dekapan Muthe, karena lama kelamaan ia merasa nyaman.


 Sepertinya, Christy mulai terbiasa dengan dekapan Muthe, karena lama kelamaan ia merasa nyaman

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bersambung

Btw guys, partnya tinggal dikit hehew.

❤️❤️❤️❤️

ChristyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang