BAB 6

9.1K 665 16
                                    

PINTU rumah dikatup. Bersama sisa lelah yang memeluk diri, dia melangkah masuk. Sudah beberapa kali akhir-akhir ini, dia selalu pulang ketika malam sudah ingin meninggalkan tirainya. Usah ditanya seberapa besar rasanya ingin berbaring lena di atas katil. Menutup mata, kemudian menggamit ketenangan meresap ke dalam raga. Sudah lama dia tidak merasakan lelap yang panjang.

Namun, keadaan memaksanya untuk tidak mengenal rehat. Bahkan, masanya yang dihabiskan untuk berkerja buatkan dia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan dunia saat itu. Dia hanya berhadapan dengan begitu banyak ragam manusia. Hinggakan cacian mereka sudah biasa ditadah.

"Kanaya, udah pulang? Kok ibu nggak ngeh?"

Kanaya menangkap suara seorang wanita yang berusia dalam lingkungan 50-an dari arah pintu bilik. Dia berpaling, membalas tatapan kuyu itu. Sebelum melabuhkan duduk di atas kerusi kayu. Mencari posisi duduk yang selesa untuk meregangkan otot-otot yang pegal.

"Baru aja pulang, buk. Hari ini lembur, soalnya orang-orang lagi pada rame di kafe." Kanaya kembali membuang pandang ke kiri dan kanan, seperti mencari-cari seseorang.

"Amara udah tidur, ya?" soalnya.

"Udah. Tadinya mau nungguin kamu, tapi dianya capek banget. Lagian hari ini dagangan kita lancar."

Mendengar itu, Kanaya sekadar mengangguk kecil. Tangannya naik mengurut pelan belakang tengkuk. Habis seluruh badan dirasakan nyeri.

"Bagus deh."

"Kamu udah makan? Kalo belum, yuk, makan dulu. Tapi yang ada cuman tempe goreng, sisa makan tadi siang." Puan Suhita, ibu kepada Mahendra memandang redup wajah karar Kanaya. Jelas terpancar kelelahan pada raut anggun gadis itu.

"Udah, buk. Kanaya udah makan tadi di kafe. Ibu belum makan? Ya udah, ibu makan aja. Aku temenin," balas Kanaya. Merenung wajah tua Puan Suhita bersama perasaan kasih.

Sudah bertahun-tahun lamanya dia tinggal bersama keluarga Mahendra. Sehingga detik di mana Mahendra meninggal dunia, dia terpaksa membawa mereka tinggal di Malaysia untuk melangsungkan kehidupan. Dia dirawat tidak tumpah seperti darah daging sendiri. Sudah masanya untuk dia membalas jasa mereka. Jasa Puan Suhita dan Amara, adik perempuan Mahendra. Dia sendiri sudah tiada orang lain selain mereka.

Orang-orang seperti mereka yang tinggal di dunia sekejam itu sama sekali tidak memiliki pilihan. Ada masanya mereka sekadar memujuk hati sendiri. Sehingga mereka sendiri terbiasa dengan kehidupan seperti itu. Bukan hidup untuk bertahan. Melainkan bertahan untuk hidup.

"Kalo misalnya Kanaya udah capek banget, Kanaya bilang sama ibuk, ya? Biar Amara yang gantiin kamu kerja di kafe. Lagian Kanaya udah banyak berkorban. Ibu jadi nggak enakan." Ada sejuta kelembutan yang terbias pada bait bicara Puan Suhita. Jemari runcing Kanaya diusap pelan.

Bertahun-tahun itu juga, Kanaya tidak pernah menceritakan di mana dia berkerja. Yang mereka tahu, Kanaya berkerja di sebuah Kafe. Bila mereka bertanya di mana tempatnya, Kanaya mencari seribu alasan untuk menghindar.

"Buk, aku nggak capek kok. Di kafe kerjaanku lebih gampang. Jadi lebih enjoy. Toh di kafe juga ada Hessa. Dia baik banget sama aku," bidas Kanaya. Sekadar memujuk.

Sejurus kemudian, dia mendengar keluhan terlepas pada bibir Puan Suhita.

"Kamu masih terlalu muda, nak. Orang muda seperti kamu masih ada banyak hal yang harusnya dinikmatin. Bukannya malah berhadapan dengan beban." Apa yang keluar daripada mulut Puan Suhita itu berjaya membuat Kanaya tersenyum kelat.

𝐊𝐇𝐀𝐈𝐑Where stories live. Discover now