Aku berkesempatan kuliah di Korea Selatan untuk student exchange selama satu semester. Suatu hari, aku butuh senior yang mau bantu kasih buku referensi selama di kampus. Temanku memberikan kontaknya. Begonya, dia salah ngasih nomor.
Nomor yang dia k...
"Kau... menyukaiku?" Aku menunjuk diri sendiri. Rasanya mustahil ada seorang idol yang menyukai remahan rempeyek sepertiku.
INI BUKAN CERITA WATTPAD DAN AKU BUKAN Y/N HOI.
Belum sempat mendapatkan kejelasan, Manajer Sejin datang bersama sopir, membuat Yoongi menutup mulut dan mengalihkan perhatian.
"Kau sudah bangun?" tanya Manajer Sejin.
Aku mengangguk segan. "Maaf sudah merepotkan."
"Kenapa kau tidak minta maaf padaku? Jelas-jelas aku yang paling repot," gerutu Yoongi.
Sudut bibirku mengerucut kesal. Bukankah ia baru saja bilang menyukaiku? Sekarang kenapa jadi berengsek lagi?
Mobil melaju di jalanan Seoul yang lengang. Sepanjang perjalanan, Yoongi hanya memejamkan mata, entah tidur betulan atau pura-pura, sengaja menghindari pertanyaanku. Sepanjang itu pula hatiku dibuat gelisah.
*
Aku tak bisa tidur lagi, memikirkan ucapan sialan itu. Yang kulakukan hanyalah diam di kamar, menatap langit-langit, berguling ke kanan dan kiri. Ucapannya berputar di kepalaku. Aku menggeleng kuat.
Itu seperti yang diucapkan Jungkook, tapi kenapa efeknya berbeda? Jantungku berdebar setiap mengingatnya.
Ponselku sejak tadi diam. Tidak ada pesan darinya. Haha. Apa yang aku harapkan? Aku membuka galeriku untuk mengganti foto di Instagram. Mataku membeliak begitu mendapati satu foto baru—YANG ENTAH KENAPA—ada di barisan terakhir.
Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.
Sialan. Ia diam-diam mengambil foto dari ponselku selama aku tidur?
Aku ingin mengirim pesan untuknya, eh, jangan. Jangan dulu.
Apa aku hapus saja fotonya?
Ketika kupandangi lagi foto itu, jantungku berdebar tiba-tiba.
"Omo, omo. Sadar." Aku menampar pipiku berkali-kali untuk menyadarkan diri.
Detik itu pula aku mengingat Jimin. Ia pernah menawarkan diri untuk menjadi tempat curcol. Selama aku mengenalnya—walau belum lama—, Jimin memang menjadi orang nomor satu yang selalu menghampiriku dan bertanya apakah aku baik-baik saja saat duduk sendirian.
Aku mengangguk dan segera menekan nomor Jimin. Jam menunjuk angka satu waktu itu. Aku baru sadar sudah tengah malam. Jimin pasti butuh istirahat. Ah....
Saat hendak kututup, panggilanku dijawab.
"Halo?" Suara lembut Jimin terdengar.
Aku buru-buru membalas. "Jimin-ah. Kau mau tidur?"