Prolog

3.3K 183 17
                                    




  Pagi yang cerah. Matahari baru saja terbangun setelah tertidur semalaman. Suhu udara masih menyisakan dingin dini hari. Angin berdesir membawa butiran pasir, menggulung sebentar membentuk pusaran, kemudian hilang menjauh. Burung nazar terbang tinggi sambil mengepakkan sayapnya. Paruhnya terbuka mengeluarkan teriakan parau. Tidak ada yang istimewa pagi itu, kecuali tembok batu kokoh setinggi sepuluh meteran berdiri mematung dalam diam. Struktur tembok tebal itu terbuat dari bebatuan direkat dengan lem pilihan. Menantang siapa pun untuk menghancurkannya. Di tengah gurun pasir mendesir, keangkuhan tembok itu mendapat jawaban.

         Suara desingan memecah kebuntuan. Batu gunung membelah awan. Awalnya dalam jumlah puluhan, kemudian bertambah cepat menjadi ribuan. Berderap susul-menyusul membentuk jajaran burung terbang dalam formasi tidak beraturan. Langit berubah gelap. Cahaya matahari pagi tak mampu lagi menembus ribuan gulungan padas sebesar kepala kerbau yang bergerak secepat tarikan napas pelontarnya. Tembok tebal yang melingkupi area gurun pasir menjerit ketakutan. Hantaman pada tubuhnya menimbulkan suara petir bertalu-talu, memekakkan telinga. Tembok tebal itu merintih.

       "Ganti! Gunakan bola api! Gunakan bola api! Cepaat!" teriak Hulagu Khan. Ludahnya muncrat, berpacu dengan desingan batu cadas.

      Para kapten pasukan memberi instruksi bergantian meneruskan perintah sang Jendral.

     "Bola api!"

     "Bola api!" teriak pasukan artileri mengikuti perintah.

       Pasukan pelontar mengganti batu besar dengan bundaran hitam sebesar kepala manusia dewasa. Pada hitungan yang tepat, sang Jendral bak dirigen konser musik klasik, memberi perintah untuk menggubah lagu. Seruling menyayat dimainkan menjadi pukulan drum mematikan.

      Desingan kembali mengoyak. Langit sekali lagi berubah warna menjadi titik-titik polkadot membara.
Ketika ribuan noktah yang menempuh perjalanan lima ratus meter di udara menginjak sasaran, bola api berubah wujud menjadi pecahan-pecahan kecil semburat menyala. Meledak, menghanguskan apa pun yang terjilat.

     "Buum!"

      "Argghh!"

       Suara gemeletak kayu terbakar campur aduk dengan jeritan. Jerit kesakitan berbaur dengan debuman bangunan roboh. Lidah api merajalela menghanguskan, menjilat semua yang bisa direngkuhnya.
Debuman berturut turut terdengar tanpa henti. Serpihan logam terbuncah menyambar-nyambar, merobohkan ratusan tubuh tak yang terlindungi baju zirah. Bau daging terbakar diikuti lolong penderitaan. Teriakan menyayat bersahutan menangisi anggota tubuh yang terpisah. Berkelojotan menunggu Sang Pencipta mengirim malaikat-Nya untuk menyelesaikan tugas terakhirnya.

     "Serbu!"

     "Hancurkan!"

    "Bunuh semua!"

      Seperti air bah, seratus lima puluh ribu prajurit dalam berbagai bangsa yang tergabung dalam pasukan Ilkhanat kekaisaran Mongol membanjiri pintu benteng yang terbuka. Pekik kemenangan bertabur nafsu haus darah menggelegar. Tembok pertahanan hancur lebur. Puluhan ribu prajurit yang dikalahkan laiknya anai-anai bertebaran tertiup angin. Pasukan Ilkhanat kekaisaran Mongol berpesta dalam balutan kubangan darah, air mata dan harga diri sebuah bangsa yang tercabik.

       Tiga hari setelah penyerahan tanpa syarat, pasukan Ilkhanat Mongol menyerbu kota

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

       Tiga hari setelah penyerahan tanpa syarat, pasukan Ilkhanat Mongol menyerbu kota. Dimulailah pembantaian, pemerkosaan, perusakan bangunan, penghancuran yang masif. Dinasti yang dibangun dengan keperkasaan ratusan tahun itu hancur dalam waktu kurang dari satu bulan.
Ribuan dokumen dan buku ilmu pengetahuan dibakar. Rumah ibadah, rumah sakit, dihancurkan beserta isinya. Bangunan-bangunan bersejarah diratakan tanpa bekas. Tidak ada lagi kemegahan yang tersisa kecuali puing dan asap yang membumbung.
Laki-laki dibunuh tanpa ampun. Perempuan dinodai kehormatannya, setelah itu dibunuh tanpa belas kasih. Anak-anak kecil tak berdosa disembelih. Potongan anggota tubuh bertebaran di jalan-jalan kota. Permohonan ampun menyayat hati tak dihiraukan.

       Dua minggu setelah pembantaian, bau anyir dan busuk dari bangkai yang tak terkubur membuat pasukan Mongol meninggalkan kota mencari jalan melawan arah angin. Menyisakan penyakit mematikan dan sisa penduduk yang mengais sisa kehancuran.

     Aku adalah bagian dari pasukan penyerbu itu. Mataku menjadi saksi akan semua kehancuran dan penderitaan yang telah ditimbulkan dari sebuah penaklukan. Di usiaku yang belum menapak enam belas tahun, untuk pertama kali kucabut sebuah nyawa tak berdosa. Jiwa perempuan merintih meminta ampun, berakhir dalam tusukan pedangku.

Di hari itu pula, kebejatan seorang anak muda tertumpahkan. Kesucian seorang wanita muda kurengut. Tak kuhiraukan rintihannya meminta ampun. Setelah semuanya berakhir, semenjak itulah mimpi buruk itu terus menghantuiku: Mimik kesakitan, teriakan menyayat kala pedangku menembus jantungnya, delik matanya yang penuh dendam.

       Hari ini, di sebuah Negeri yang hanya terpisah sebuah selat, aku kembali mencium aroma penaklukan dan kehancuran. Khan yang agung sudah berbesar hati menungu kesediaan penguasa untuk menerima tawarannya. Empat kali surat peringatan dan rombongan ekspedisi diluncurkan untuk membujuk penguasa negeri itu agar menerima tawaran Khan menjadi bagian dari kekaisaran Mongol. Alih-alih menerima persekutuan, penguasa militer Negeri itu, pemuda culun yang dipaksa naik tahta untuk memegang kekuasaan pendahulunya, sama sekali tidak menggubris tawaran Khan. Dipikirnya, kekuasaan yang sedang diembannya hanya untuk gagah-gagahan!

       Dari geladak kapal, untuk kesekian kali kutatap pantai Hakata. Pelabuhan paling selatan sebagai pertahanan terakhir Keshogunan Kamakura itu terlihat mengecil. Kali ini, ekspedisi kami pulang dengan tangan hampa. Namun, kami akan mempersiapkan diri. Kami akan kembali dengan membawa kehancuran dan penderitaan bagi Negeri ini. Demi nyawaku yang sudah ada dalam genggaman neraka, aku yakin kekuatan prajurit Negeri ini tak akan sanggup menahan gempuran pasukan Ilkhanat. Jutaan nyawa akan melayang, ribuan wanita akan dinistakan, ratusan ribu anak akan menjadi yatim piatu.

"Shogun bodoh!" pekikku.

SAMURAIWhere stories live. Discover now