CHAPTER VII : Membayar Budi

746 61 45
                                    


      Perahu bergerak perlahan mendekati pelabuhan pulau Iki. Berjam-jam menatap laut lepas dengan kelindan segala kenangan yang membawa langkahku menginjak Jepang membuat otakku mencair kembali. Jiwaku yang sempat menguap tertanam kembali di dalam tubuhku. Dunia belum berakhir untukku walau sakit di dada tak tertahankan. Aku memutuskan kembali ke tempat di mana aku ditemukan.

      Fujiwara Kaneto dan Taira no Kagetaka adalah orang-orang yang baik. Hutang emas bisa dibayar, hutang budi dibawa mati. Kewajibanku membayar hutang budi mereka. Penyerbuan pasukan Ilkhanat tidak bisa dielakkan. Hanya masalah waktu sebelum mereka meluluh-lantakkan Negeri ini. Jika ada yang bisa kuperbuat untuk membuat hidupku bermakna, adalah dengan membalas budi baik mereka. Aku tahu tidak banyak yang bisa kulakukan untuk menolong mereka dari keganasan pasukan Ilkhanat. Namun setidaknya aku bisa sedikit menyumbangkan tenaga, dan meminimalisir kerusakan yang akan ditimbulkan. Itu pun bila mereka mau menerima uluran tanganku.

      Fujiwara Kaneto menyambut baik kedatanganku. Dia menyiapkan segala makanan dan pesta kecil penyambutan. Kabar tentang sepak terjangku menyelematkan cucu Tomoe Gozen dan anak perempuan Jendral Adachi dari keganasan bajak laut telah sampai ke telinga mereka. Mereka mengelu-elukan aku laiknya pahlawan. Di malam pesta, penguasa pulau Iki datang membawa keluarga dan puluhan samurai terdekatnya. Kami larut dalam pesta semalam suntuk. Aku menjadi bintang. Mereka mendesakku menceritakan pengalamanku bagaimana menyelamatkan Aya dan Megumi. Mereka melongo manakala aku bertemu juga dengan Goro, Saburo dan dua ninja dari Koga dan Iga. Sengaja aku tidak menyebut nama Michiyasu. Menyebut namanya membuat luka di hatiku menganga. Sebelum pesta usai, aku mengutarakan keinginanku. Fujiwara Kaneto dan Taira no Kagetaka gembira mendengarnya. Taira no Kagetaka, sang penguasa pulau Iki memintaku untuk tinggal di bentengnya. Aku menolaknya dengan halus. Aku meminta ijin untuk tinggal di rumah keluarga Fujiwara. Dengan berat hati Taira no Kagetaka menyetujui. Kami berjanji untuk bertemu dua hari lagi di benteng Hizume.

      Fujiwara Kaneto mempunyai dua anak laki-laki dan tiga anak perempuan. Semua anak-anaknya sudah menikah, dan tinggal bersama dalam satu area rumah. Fujiwara Sukemitsu sebagai anak tertua lebih banyak memegang komando mewakili ayahnya. Dia bertugas sebagai tangan kanan keluarga Fujiwara dalam urusan pasukan dan keamanan. Anak kedua, Fujiwara Kagemitsu, lebih banyak mengurusi administrasi dan pengelolaan keuangan rumah tangga. Membawahi lima puluh samurai membutuhkan pengelolaan keuangan yang baik agar tidak terjadi perpecahan. Membayar gaji, menyiapkan tempat tinggal, menyiapkan bekal untuk operasi keamanan adalah tugas utama Kagemitsu.

      Sukemitsu tipikal samurai pada umumnya. Berperawakan sedang, pemberani, jujur. Yang membedakan dari samurai lain, Sukemitsu sangat menyayangi keluarganya. Dia memiliki satu anak laki-laki, Makoto. Anak laki-laki berumur tujuh tahun itu langsung akrab denganku. Dia memanggilku Gaijin-san. Teriakan Makotolah yang pertama mengisi telingaku saat itu, saat aku tersadar tujuh bulan yang lalu di pulau ini setelah berhari-hari terkatung-katung di tengah lautan. Ibu Makoto perempuan asli Iki, cantik, anak perempuan Taira no Kagetaka.

      Seperti kakaknya, Kagemitsu juga menikahi anak perempuan Taira. Sebaliknya, anak laki-laki tertua Taira no Kagetaka memperistri anak perempuan Fujiwara. Pertalian dua darah membuat pulau Iki tentram bertahun-tahun tanpa intrik. Pernikahan politik yang berakhir bahagia.

      Seperti yang dijanjikan, aku ditemani Fujiwara Kaneto, Sukemitsu, berikut dua puluh samurai pilihan berkunjung ke benteng Himezu dua hari kemudian. Kagemitsu beserta sisa samurai yang ada bertugas menjaga rumah dan keluarga. Makoto memaksa ikut serta. Semula Sukemitsu tidak mengijinkan. Dia merajuk, meminta ijin padaku. Aku menghadap kakek dan ayahnya atas permintaan Makoto. Berat hati juga dua penguasa keluarga Fujiwara itu membawa serta anak berumur tujuh tahun bersamanya. Dalam perjalanan Makoto minta berkuda denganku. Dia duduk di belakang, memeluk pinggangku, mulutnya tak berhenti bertanya macam-macam. Anak ini punya bakat pengelana. Dia banyak bertanya tentang masa kecilku, tentang keluargaku, tentang Negeri-Negeri yang selama ini kukunjungi. Semudah cerita yang bisa dicerna anak kecil, aku menuturkan perjalanan hidupku. Tanpa dibumbui kekerasan dan jalinan ruwet kisah asmara. Mulut anak kecil tujuh tahun yang masih tidur bersama adik-adiknya ini menganga mendengar ceritaku. Spontan dia bercita-cita ingin mengikuti tapak kakiku. Aku tertawa mengiyakan, sementara ayah dan kakeknya tidak berkomentar. Dalam hierarki keluarga Fujiwara, setelah Sukemitsu mengambil tanggung jawab keluarga, maka giliran Makoto sebagai pewarisnya. Sebagai anak yang diharapkan menjadi pemimpin klan Fujiwara, cita-citanya menjadi kesatria pengelana akan terbentur dengan kewajiban yang menggandoli kakinya.

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang