CHAPTER III : Bushido

1K 75 85
                                    

             Trang!"

             Terdengar suara benturan dua logam keras beradu, kemudian diikuti teriakan dan gumam penonton. Tanpa sadar bibirku menyungging senyuman; pose terbaik saat kepalaku akan dipertotonkan. Mulutku meracau. Terima kasih Tuhan, cara matiku spesial. Tanpa rasa sakit, dan diiringi dentingan dua logam. Bahkan, sorakan dan gerutuan ikut mengiringi arwahku terpisah dari tubuh.

             "Berhenti!"

            Suara berat dan parau membuat nyawa yang tadi sempat melayang kembali menghuni tubuhku. Aku masih hidup, helaku. Perasaan aneh menyergap.

            Algojo berteriak mengerang. Dia marah tugasnya terganggu. Kubuka mata, berusaha mengangkat leher yang masih melekat di tubuhku. Dalam posisi tertelengkup, tidak jelas siapa yang datang menyelamatkan nyawaku.

Sebuah lompatan kaki dari bawah pentas bergerak ringan seperti burung sriti terbang rendah. kedua kakinya menapak tepat di sebelah tubuhku. Sandal jerami lusuh melilit kakinya. Pecahan batu gunung berserak di sekeliling. Dia menghajar mata kapak hanya dengan lemparan batu? Sebelum menyadari apa yang terjadi, tenaga dahsyat menarik tubuhku berdiri.

            Di depanku, berdiri seorang pendeta zen dengan topi jerami bercaping lebar menutup kepala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

            Di depanku, berdiri seorang pendeta zen dengan topi jerami bercaping lebar menutup kepala. Bajunya terusan kain berwarna hitam, khas baju pendeta zen, berkibar saat angin bertiup kencang. Tangan kanannya menggenggam tongkat kecil sepanjang tiga puluh senti berujung rumbai bulu. Tangan kirinya diletakkan di depan dada, telapak tangannya terbuka. Tubuhnya kurus, pendek. Separuh wajahnya tertutup caping petani. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya.

Aku diam termangu tanpa tahu harus berbuat apa. Kekagetan dan kegumunan masih melingkupi hatiku. Aku masih tidak yakin pendeta ini yang membelokkan mata kapak dengan lontaran batu. Pun, aku juga tidak yakin dia sanggup mengangkat tubuhku dengan satu tangan. Tapi, tidak ada orang lain di pentas kecuali kami bertiga yang masih bernafas dan empat tubuh tanpa kepala. Teriakan penonton dan hardikan puluhan samurai menyadarkanku.

            Harga diri yang tercerabut membuat algojo itu kalap. Membabi buta, tubuh besar itu mengerahkan semua tenaganya. Lengan tangan sebesar pohon kelapa bergerak memukul dengan tenaga penuh ke arah kepala sang pendeta.

           "Tahan!" teriak sebuah suara.

            Pukulan tak bisa ditarik. Udara di dekatku berdesir dari hawa pukulan. Jangankan kepala manusia, tembok kokoh pasti hancur terkena pukulan itu. Tepat saat kepalan sang algojo mendekat, pendeta itu hanya menundukkan kepalanya. Pukulan lewat di atasnya. Layaknya ayah yang marah pada anaknya, sang pendeta menggerakan tongkat yang dibawanya, memukul tubuh algojo dengan ujung tongkat berbulu.

Kumpulan bulu menyerupai ekor kucing terurai dengan panjang separuh panjang gagangnya mengenai punggung algojo. Pendeta zen itu mengibaskan tongkat ujung bulu tanpa tenaga yang berarti, layaknya membersihkan debu di meja. Namun, tubuh sang algojo seperti mendapat dorongan tenaga gajah. Pukulan mengenai udara kosong dibarengi kibasan tongkat membuat tubuhnya tersungkur. Dia tak bisa menguasai keseimbangan, jatuh berdebum dari atas pentas. Penonton tertawa lucu. Sang algojo berteriak kesetanan.

SAMURAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang