CHAPTER V : Mutiara Yang Hilang

1K 60 81
                                    


       "Bunuh mereka semua!" Teriakan kasar dan parau yang pernah kudengar di kapal berkumandang lagi. Teriakan pemimpin bajak laut tengkorak emas dari tengah kumpulan perompak yang mengepung kami.

        Teriakan itu dibalas sorak sorai membahana oleh anak buahnya. Ujung semua senjata tajam teracung ke atas. Pembantaian segera akan dimulai. Tidak lama lagi air bah akan datang menggulung kami. Di saat penentuan kehidupan kami selanjutnya dipertaruhkan, sebuah suara melengking tinggi diikuti kelebat bayangan melompat dari gerombolan penyerang.

        "Tahan! Tahan!"

        Gerakannya ringan. Ia berdiri tepat membelakangi kami, berhadapan satu meter dari pihak penyerang. Pedang panjang dan pedang pendek terhunus di kedua tangannya. Celana hakama sutra merah dipadu kimono putih dan baju haori merah yang dipakainya menandakan lelaki pemilik suara melengking itu dari golongan samurai kaya. Sandal jeraminya terlihat masih baru.

        Belum juga keterkejutan kami selesai, seolah pasukan penyelemat yang dikirim Dewa Hachiman dari langit, puluhan bayangan merah ikut melompat dari gerombolan penyerang. Celana Hakama sutra warna merah yang dikenakan puluhan bayangan itu terlihat seperti hujan strawberry dari langit. Kuhitung ada tiga belas samurai dan dua puluh samurai dengan tombak panjang berkeliling paling luar menjadi pembatas dinding pelindung kami dari amukan para bajak laut. Tombak panjang tanpa sarung yang diacungkan ke arah para bajak laut membuat mereka mengundurkan langkah. Kami berlima plus tiga pengawal Shiraishi Michiyasu terkurung dalam dua lingkaran. Satu lingkaran dalam berisi tiga belas samurai berpedang dan lingkaran luar berisi puluhan samurai bertombak panjang. Jantungku berdetak normal kembali melihat bala bantuan yang datang.

        "Tahan serangan!" teriak pemimpin tengkorak emas dari tengah barisan. Suara parau itu mendekat.

        Gerombolan bajak laut tersibak memberi jalan. Sebuah tubuh tinggi besar melangkah membelah gerombolan. Rambutnya panjang terurai awut-awutan. Pemimpin bajak laut tengkorak emas itu memakai celana hakama dan kimono haori khas samurai. Warnanya kuning mencolok bersaing dengan gigi palsunya yang terbuat dari emas kala wajah mengerikan itu membuka mulutnya lebar. Golok besar dipanggul di bahu kanan. Di belakangnya berturut-turut tiga pria bertubuh dempal mengikuti. Haori warna merah, biru, hijau beserta gambar tengkorak dengan warna yang sama menunjukkan identitas mereka. Ke tiganya berpenampilan samurai dengan pedang panjang dan pendek. Empat pimpinan bajak laut tidak ingin ditinggal dalam pesta pertempuran yang akan terjadi.

        Ketua bajak laut emas berteriak menggelegar. "Apa-apaan ini Hiki Tomomune? Jangan ikut campur! Mereka telah banyak membunuh anak buah kami!"

       Samurai penyelamat itu mengerang marah. Wajahnya tak nampak karena dia membelakangi kami. Namun kala namanya disebut, jantungku berdetak secepat dengus napas kuda arab yang berlari kencang.

      "Jangan sebut namaku di depan mereka, Jinbo!" balas samurai itu.

      Terlambat. Goro berteriak terkejut. "Ha? Tuan Hiki?!"

      "Tuan Hiki?" Michiyasu tak kalah kaget.

      Sebelum kami menyadari apa yang akan terjadi, lingkaran pertama dan lingkaran ke dua bergabung. Puluhan pedang panjang dan puluhan tombak berbalik arah mengarah tepat ke dada, perut, dan kepala kami. Bayang lepas dari kematian menguap. Klan Hiki terlihat akrab dengan Jinbo, sang pemimpin bajak laut emas.

       Hiki Tomomune menghadapi kami. Pria setengah baya berwajah pucat dengan tulang pipi menonjol itu menatap kami dengan pandangan berubah-ubah aneh. "Buang senjata kalian!" perintahnya.

SAMURAIWhere stories live. Discover now