CHAPTER II : Goro-Takezaki Suenaga

1.1K 76 104
                                    




Selarik cahaya menembus dari sela jendela yang terbuka sedikit. Kukerjapkan kelopak mataku. Sebuah bayang wajah tak jelas merupakan pemandangan pertama yang bisa kunikmati. Bayangan itu kabur. Beberapa kali aku mengerjap. Bayangan itu semakin jelas saat seluruh kelopak mataku terbuka sempurna.

                Wajah di depanku menunjukkan bahwa aku terlahir kembali di dunia lain yang hanya dihuni manusia tua. Perempuan itu penuh keriput di seluruh kulit wajahnya. Rambut panjangnya kusut dibiarkan terurai hingga bahu. Wajahnya mengingatkan pada sosok hantu penunggu rumah kosong di drama yang sering dipentaskan di kota Dadu, ibu kota kekaisaran Mongol.

          Kedua tangan yang penuh kerut ketuaan itu berkali-kali meraba tubuhku, membalur sekujur luka yang kuderita. Mungkinkah aku telah mati dan dibangkitkan kembali bersama nenek tua?! Kalau memang betul seperti itu, aku memilih kembali mati dalam pelukan dewi Aphro-Thena yang bahkan belum kukenal namanya walaupun itu hanya dalam mimpi.

Baju yang kupakai telah berganti yukata tipis. Sedikit kumal, tapi masih layak pakai. Aku mencoba menggerakkan tangan dan kaki. Diam tak bisa digerakkan. Sekali lagi. Membatu, tak mau menurut perintah otakku. Kucoba membuka mulut menyapa wanita tua yang duduk menatapku. Namun, hanya erangan dan konsonan tak jelas yang keluar.

               Aku merasa benar-benar hidup saat sayup-sayup telingaku menangkap teriakan anak kecil yang berlari menjauh.

"Gaijin-san okita. Gaijin-san okita."

Aku mencoba lagi. Hasilnya tetap sama. Tidak ada gerakan tubuh, tidak kata yang terucap. Hidungku tergelitik aroma ramuan obat dari dedaunan yang menyengat. Saat kesadaran mulai meresap dalam ragaku, rasa sakit tak tertahankan menghentak jantungku. Organ-organ tubuhku menjerit dari ujung kaki hingga ujung kepala, seolah berpuluh pasukan menghantamkan gagang pedang mereka bersamaan ke kepalaku. Bibirku terasa kering dan pecah, tenggorokanku tercekat. Sekujur tubuhku seakan merintih, menggeliat memohon ampun.

                Tak tahan dengan siksaan yang mendera, aku membuka mulut berteriak. Yang keluar hanyalah erangan tanpa arti.

"Jangan banyak bergerak. Luka Tuan akan kembali terbuka." Suara wanita itu parau. Dia mengelus pundakku yang terbalut rempah bercampur obat herbal.

"Tubuh Tuan kuat sekali. Untuk ukuran orang biasa, Tuan akan tewas dengan luka seperti ini," tambahnya. Suara parau wanita tua itu kembali terdengar, "Aku sudah memberi obat terbaik yang kupunya. Masa kritis Tuan sudah terlewati. Tinggal istirahat dan menunggu penyembuhan."

Kukutuk diriku yang terbiasa dengan wajah cantik wanita. Wanita tua ini telah menyelamatkan nyawaku, tak elok menyamakan dia dengan hantu penunggu rumah kosong. Kukedipkan kelopak mataku, berterima kasih sekaligus permintaan maaf.

"Be—ra pa ... lama sa—ya ... di sini?" kataku terengah-engah.

"Dua mingguan."

"Di ... mana ... ini?"

"Iki."

Aku tersentak. Pulau Iki? Gelombang terlalu jauh membawaku ke tempat ini. Yang kuingat adalah kapal belum juga jauh meninggalkan Pulau Kyushu. Kepalaku pusing tujuh keliling manakala kupaksa berpikir. Aku tak ingin mengajukan pertanyaan lagi. Diam sembari menunggu tenaga pulih adalah obat terbaik.

"Minum ramuan ini."

Dokter wanita itu mengangkat kepalaku dengan tangan kiri, tangan kanannya menyorongkan sendok kayu berisi ramuan herbal ke mulut. Perlahan kupaksa mulutku membuka. Sakit. Kutahan. Setetes demi setetes cairan pahit bau bangkai menusuk hidung, menyelusuri tengorokan. Aku berusaha berontak, tapi sekujur tubuhku serasa kaku, sakit menggigit hingga tulang. Coba kumuntahkan, tapi Dokter tua itu membekap mulutku hingga seluruh obat masuk menggelontor tenggorokanku, bersarang sebentar di perut, kemudian berpendar ke seluruh tubuh.

SAMURAIWhere stories live. Discover now