Hitam

26 0 0
                                    


Pernahkah kau merasa tiba-tiba berada dalam sebuah lorong gelap tanpa ujung?

Sesaat aku sempat merasakan setitik semangat untuk memulai kembali kehidupanku

Sekejap rasa itu hilang berganti rasa kecewa dan keputusasaan.


'Nay... bangun sudah siang' 

Mama menggoyang-goyangkan badanku, berusaha membuatku terjaga. 

Aku memicingkan mata, berusaha melihat jam beker yang bertengger di meja kecil sebelah ranjangku. Oh... pantaslah Mama nampak sedikit gusar. Aku nampaknya sudah menjelma menjadi seorang puteri penidur. Sekarang sudah jam 9 pagi... Seharusnya selepas sholat subuh aku bangun dan membantu pekerjaan rumah.

'Hoaaammm... aku ngantuk sekali. Tadi malam aku tidak bisa tidur, Ma. Aku baru bisa tidur setelah subuh...'

Mama menghela napas, raut muka gusarnya berganti. Mama terlihat khawatir mendengar 'Kenapa? Mimpi buruk kah? Atau ada yang kerasa sakit di kepala?'

Aku menggelengkan kepala. 'Engga kok... memang aku tidak bisa tidur. Mungkin karena siangnya aku sempat ketiduran.'

Mama menyentuh lalu meremas pundakku, 'Kalau ada apa-apa... ada Mama.... Kamu ga perlu khawatir Nay...'

Aku berusaha tersenyum dan menjelaskan sekali lagi kalau aku tidak apa-apa. Mama menatapku khawatir tapi tidak berbuat banyak. Akhirnya mama beringsut meninggalkanku setelah aku berjanji akan turun dan bergabung bersamanya di ruang makan. 

Aku meraih handuk dan menuju kamar mandi. Siraman air hangat dari pancuran membuatku merasa nyaman. Sekian detik aku menikmati kehangatan yang menjalari tubuhku dari ujung kepala hingga kaki. Saat kumatikan pancuran, aku sedikit merasa limbung. Seakan kembali ke ralita merupakan hal yang menyakitkan.

Setelah memakai setelan katun favoritku, aku menyusul Mama ke ruang makan dan menyambut uluran setangkup roti isi buatanya dengan hangat.  Seharusnya aku yang menyiapkan sarapan tapi Mama berbaik hati membuatkannya untukku.

'Supaya kamu semangat. Mama oles selai cokelat yang banyak.'

Aku tersenyum mendengar ucapan Mama lalu menghabiskan rotinya dalam sekejab. Sarapanku lalu ditutup dengan segelas teh hangat. Ah... nikmat sekali. Mama memang paling tahu cara memotivasiku. 

'Kalau ada hal yang mengganjal dan membuatmu sedih... kamu bisa cerita lo ke mama, Nay...'

Seandainya ma... seandainya semudah itu...

' Nay ga tau Ma.... Nay ga tau harus gimana. Ada hal yang ingin Nay lakukan tapi ga bisa. Tapi Nay sendiri masih belum ingat.' jawabku setengah berbohong.

' Ga perlu terburu-buru Nay. Kamu bisa sakit lagi kalau terus memaksakan diri mengingat semuanya.' 

Aku mengangguk. Hanya untuk menghentikan percakapan ini. Aku membereskan piring dan membawanya ke tempat cuci piring. Aku tahu Mama menatap punggungku dengan khawatir. Namun aku berusaha menghindarinya. 

Setelah itu aku berjalan menuju halaman belakang dan mendudukkan diri di kursi kayu. 

Tidak lama, terdengar nada panggil dari Blackberryku. Tentu saja itu dari Reina.

'Hallo, Nay... lagi apa? Kamu ga apa-apa kan?' tanya Reina

'Ga taulah Rei... Jujur saja aku galau.'

Helaan napas disebrang sana terdengar jelas. Aku kemudian berkata, 'Seandainya aku tau nomor Arman.... Aku ingin menemuinya Rei.'

'Kamu yakin? Terus kalau ketemu kamu mau ngapain?'

'Pengen ketemu aja, Rei... Kamu tau atau bisa bantu aku kah?'

Nampaknya permintaanku membuatnya kesulitan menjawab. Dia akhirnya berkata, 'Aku ga janji ya Nay.... Kalau ada yang tahu soal Arman, aku akan meneruskan beritanya sama kamu."

Aku meyakinkan gadis itu bahwa aku dengan senang hati menerima berita apa pun soal Arman. Aku merasa inilah hal yang dapat membuatku bersemangat lagi menjalani hidup. Selama ini aku merasa terperangkap di sebuah labirin tanpa ujung. Kunci dari segala kebingungan dan penantian ini adalah Arman. Aku tidak berani berharap apa-apa. Yang jelas, dengan menemui Arman setidaknya ada setitik cahaya di lorong gelap yang sedang mencengkeramku ini.

                                                                       ***

Aku lupa kopi kesukaanmu

Aku lupa rokok yang biasa kau beli

Aku lupa caramu berbicara

Aku lupa caramu menatapku dengan penuh cinta seperti yang kutulis di buku harian

Aku lupa caramu memeluk dan menciumku

Apakah kamu pun seperti itu?

Sudahkah kau melupakanku, Arman?

Jeritan-jeritan itu terus bergaung dalam kepalaku. Aku sungguh tidak ingin nama Arman berlalu begitu saja. Mungkin yang dikatakan kiamat bagiku adalah disaat aku menyadari Arman tidak menjadi lagi bagian hidupku. 

'Don't they know... it's the end of the world.... it's ended when you say goodbye....'





You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 14, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Loving You - MencintaimuWhere stories live. Discover now