Chapter 10

1.1K 96 10
                                    


"Sudah berapa kali aku peringatkan kau untuk tidak melakukan aktivitas berat?"

Dokter Tadashi memandang BoBoiBoy yang duduk di pinggir ranjang pasien. Bocah itu baru saja selesai melakukan kemoterapi.

Dokter Tadashi tengah mengomel kepada BoBoiBoy. Ya, BoBoiBoy harus menerima itu semua seusai latihan sepak bola. Selalu.

"Main bola tidaklah berat, Dok. Itukan hobiku," balas BoBoiBoy seraya senyum.

"Hah, terserah kau. Tapi kuperingatkan kau karena alzheimer itu semakin kuat, BoBoiBoy," ucap dr. Tadashi sambil mendorong troli yang berisi bermacam-macam alat kesehatan.

"Iya. Aku tahu itu," balas BoBoiBoy lemas. Ia menundukkan kepala dan mengayunkan kedua kakinya secara bergantian. Mata karamelnya memandang keramik putih di bawahnya.

Setelah meletakkan troli di pojok ruangan, dr. Tadashi menepuk pundak BoBoiBoy.

"Jangan sepelekan hal itu, BoBoiBoy. Kau harus melihat ini."

Dokter Tadashi menyodorkan sebuah kertas berisi tulisan dan beberapa gambar yang BoBoiBoy sama sekali tidak mengerti. Anak itu mengambil kertas dan dr. Tadashi duduk di sampingnya.

"Ini gambar perbandingan otak normal dengan otak alzheimer," jelas dr. Tadashi sembari menyentuh gambar yang dimaksud.

BoBoiBoy hanya memandang lesu terhadap gambar itu. Sudah terlihat jelas sekali perbedaan antara kedua gambar otak manusia bagian dalam itu.

"Ya, aku tahu, Dok. Otakku sekarang cacat, 'kan?" ucap BoBoiBoy lalu menghela napas. Bau obat-obatan menyeruak masuk ke indra penciuman begitu BoBoiBoy menghirup napas.

"Sel-sel yang berada di otakmu lama-kelamaan berkurang, BoBoiBoy. Diikuti dengan penghapusan memori dalam otak. Maaf jika aku hanya memberimu obat pencegah," sesal dr. Tadashi lalu membetulkan letak stetoskopnya.

"Hahaha. Tak usah minta maaf segala, Dok. Obat yang diberikan malahan sangat membantuku," balas BoBoiBoy lalu tersenyum, matanya masih memandang keramik putih.

"Tapi aku akan terus membantumu, BoBoiBoy. Bertahanlah."

"Akan kuusahakan, Dok. Apapun akan kulakukan demi perlombaan itu. Ah, aku tidak sabar sekali jika aku akan menang nantinya," ucap BoBoiBoy. Anak itu mengadahkan kepalanya ke atas, matanya melihat langit-langit ruangan yang berwarna putih, kemudian tersenyum. Membayangkan semua itu terjadi di benaknya.

BoBoiBoy mengayunkan kakinya bergantian. Ia sudah tidak sabar untuk bertanding sepak bola nanti. Mewakili sekolahnya dan ditonton ribuan orang. Menyoraki namanya yang lebih populer dari Fang. Ups, untung tidak ada Fang di sini. BoBoiBoy terkekeh geli.

"BoBoiBoy, aku mendapat kabar bahwa sebentar lagi ayahmu akan datang menjemputmu," ucap dr. Tadashi yang memecah imajinasi bocah elemental itu.

Kepala BoBoiBoy menunduk sebentar, kemudian ia menatap dr. Tadashi.

"Dok, tolong katakan saja kepada ayahku kalau... uhm... aku baik-baik saja... Jangan beri hasil ronsen otakku tadi," ucap BoBoiBoy pelan.

"Kenapa?" Dokter Tadashi mengerutkan keningnya.

"Uhm, otakku semakin parah, Dok. Aku tidak mau selalu dikhawatirkan orang-orang."

"Alasanmu selalu sa—"

Ucapan dr. Tadashi berhenti begitu pintu di ruangannya terbuka. Menampilkan sosok ayah BoBoiBoy yang mengenakan kemeja dan dasi orang kantoran serta menenteng jas di tangannya.

"Hai, BoBoiBoy. Bagaimana kemoterapinya?" ucap Ayah lalu mencium puncak kepala anaknya.

"Baik-baik saja, Yah. Baru pulang kantor?" balas BoBoiBoy sedikit berbasa-basi.

Do I Remember You?Where stories live. Discover now