3. Teman Dekat?

837 153 143
                                    

---

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-
-
-

Kring ....

Suara alarm di kamar Nashwa berbunyi keras sehingga membuat Nashwa terbangun dari alam mimpinya. Malam tadi Nashwa tidak merasakan hal yang biasa ia rasakan karena ayahnya sudah pulang dari tempat kerjanya. Hal ini membuat nyali Mia menciut dan membuat Nashwa terlindungi walau hanya sesaat.

Sikap Mia berubah 180 derajat jika di hadapan Hendra. Di mata Hendra, Mia adalah seorang perempuan yang penyayang dan tidak pernah pilih kasih antara Meli anak kandungnya dan Nashwa anak tirinya. Namun, nyatanya itu hanyalah drama belaka yang Mia mainkan dengan mimik wajahnya yang pas untuk kedua sifat tersebut.

“Naswa ... bangun, Nak! Nanti kamu terlambat lagi,” ucap Mia dari luar pintu kamar Nashwa.

“Nashwa udah bangun dari tadi, gak usah drama! Ayah lagi nggak ada, 'kan? “ ucap Nashwa.

“Diam kamu! Ayahmu masih ada di meja makan,” ucap Mia sedikit mengecilkan suaranya.

“Biarkan! Biar sekalian saja Nashwa teriak, biar ayah dengar dan tahu semuanya,” ucap Nashwa seolah menantang.

“Nashwa … ibu 'kan nggak ngapa-ngapain kamu … kenapa kamu membantak ibu seperti kamu membentak temanmu sendiri? Hiks …,” ucap Mia seraya mengencangkan suaranya agar Hendra mendengar ucapannya.

Sialnya, ternyata Hendra telah pergi tanpa sepengetahuan Mia. Artinya, semua yang Mia lakukan barusan itu hanya sia-sia dan membuang energinya saja.

“Udah deh, gak usah drama lagi! Nanas mau berangkat sekolah, bye!”

Plakk!

Sebelum melangkah dari hadapan ibunya. Terlebih dahulu sarapan pagi untuk Nashwa, yaitu sebuah tamparan kasar dari ibu tirinya itu mendarat di pipi mulusnya.

Nashwa berlari seraya memegang pipinya menuju mobil yang telah ditunggu oleh supir pribadinya.

“Mang, jalan!” pinta Nashwa pada mang Asep yang merupakan sopir pribadinya.

“Tapi, Non … Meli teh bagaimana?”

“Jalan, Mang! Biarkan dia diantar ayah. Ayah hanya pergi sebentar,” ucap Nashwa seraya menahan tangisnya.

“Baik, Non.”

Ya Tuhan, kenapa Nashwa selalu merasakan hal seperti ini? Apa tidak cukup astrafobia itu yang membuat Nashwa terluka dan merasakan hal yang tak ingin ia rasakan.

Kenapa? Apa salah Nashwa?

Jika memang Nashwa bersalah, tolong jangan berikan Nashwa sesuatu yang lebih menyeramkan dari petir itu.

Nashwa berangkat disertai air matanya yang masih terus mengalir dari sudut matanya. Sudah berusaha menghentikan, tetapi air mata itu terus saja mengalir tanpa diizinkan.

Astrafobia [SUDAH TERBIT]Where stories live. Discover now