18. Welcome to Paris

132 19 1
                                    

FIKRAN POV

Sore yang cukup menyenangkan dimana aku melihat wajah istriku yang awalnya muram malah terangkat bahagia.

"Welcome to Paris," kata Anggia sambil berputar di bandara kota Paris. Sepertinya Anggia belum pernah ke negri ini.

"Ayo!!!" kataku lalu memegang tangan kanan Anggia dan menariknya untuk mengikutiku

Anggia dengan sigap melepas kan peganganku. "Apaan sih, ini bukan di rumah ataupun di kantor."

"Aku tidak mau kamu hilang, nanti kalau aku sama kamu kepisah gimana?"

Anggia tampak berfikir. "Tinggal telfon."

"Aku gak mau ngangkat telfon dari kamu."

Anggia menghela nafas lalu ia memberikan tangannya padaku untuk kupegang kembali. "Gitu dong. Kan cuma pegang tangan doang," kataku tersenyum padanya. Bukan dibalas senyum aku malah dipelototin, aduh istriku walaupun kamu ngelotot sampai bola matamu keluar kau tetap yang tercantik didunia sayang.

"Selamat siang Tuan Fikran dan Nyonya Anggia," sapa seorang pria bertubuh tinggi dan berkulit gelap yang bisa kutebak dia orang Indonesia bagian Timur.

"Selamat siang," jawabku dingin.

"Ayo saya antarkan ke hotel Tuan dan Nyonya," katanya kembali ramah lalu berjalan didepan kami.

Setelah melakukan perjalanan dari bandara sekitar satu jam, aku sampai dikamar hotelku dan Anggia. Kamar ini cukup luas dan dengan desain yang elegan membuat Anggia ternganga. "Amazing, Hotel George," katanya penuh kagum. Aku tidak akan pernah merasa membuang-buang uangku jika hanya untuk menyenangkan wanita yang kini sedang bersamaku. Tak peduli aku harus mengeluarkan hingga ratusan juta uang hanya untuk mendapatkan kamar hotel di tempat ini.

"Fikran tolong cubit aku, aku merasa seperti mimpi," kata Anggia membantingkan tubuhnya diatas kasur.

"Kau tidak bermimpi sayang," kataku duduk didekatnya.

"Eh, berapa biaya menginap dihotel ini?" tanya Anggia padaku.

"Kau tidak perlu tau sayang, Nyonya Fikran hanya perlu menikmatinya saja."

Anggia mengangguk paham sambil tersenyum. "Kau senang bukan?" tanyaku.

"Ana masrur Fikran."

"Law kunta faroha, fakuntu afroh minka."

"Wau kau bisa bahasa Arab?"

"Tentu Anggia, aku menguasai tujuh bahasa yaitu bahasa Indonesia pastinya, Inggris, Arab, Jepang, Prancis, Thailand, dan korea," jelasku spontan membuat Anggia tercengang.

"Wauuuu keren. Sekarang aku percaya kalau kau jenius," katanya kagum.

"Kamu beruntung punya suami sekeren diriku sayang," aku menyeringai memperlihatkan deretan gigi putihku.

Anggia mempraktekkan kalau ia muntah dengan pujianku. "Baru aja di puji dikit udah naik jiwanya kelangit."

Aku hanya tertawa.

"Semoga ini menjadi yang terakhir kalinya aku muji kamu."

Esoknya aku dan Anggia pergi menuju menara eiffel, ini memang tempat yang paling utama yang harus dikunjungi, Aku tidak pernah melepas tangannya dengan alasan nanti dia akan tersesat. Apalagi aku bisa bahasa Prancis jadi dia akan lebih percaya. Dari tadi aku sibuk memotretnya kesana kemari, Anggia terlihat sangat bahagia, tawanya terlepas tanpa beban apapun.

"Fikran sini!!!"

Aku mendatanginya memenuhi perintah sang Ratu istanaku. Anggia mendekatkan kepalanya dibahuku dan tersenyum lebar. "Ayo foto!!!"

"Maksudnya?"

"Yaudah kalau gak mau," katanya dan menjauh dariku.

Aku menariknya kedalam pelukanku membuat Anggia terkejut menatapku tanpa melihat kamera yang sudah berbunyi "cekrek".

"Apaan sih Fikran."

"Katanya mau foto bareng."

Anggia melepas dari pelukanku. "Gak usah peluk-peluk juga kali."

Aku tertawa melihat raut wajahnya yang kesal. "Baiklah deketan dikit, kalau gak deket berarti bukan foto bareng," tuturku.

Anggia sedikit mendekat padaku, tapi tidak seperti tadi. Mungkin ia sedikit canggung padaku saat ini.

"Cekrek"

"Sudah kan disini?"

"Sudah."

"Kamu mau kemana lagi?"

"Emmm... Gimana kalau ke Grand Palais."

"Ok. Siap Ratu bebek." kataku sambil memberikannya hormat.

"Ga usah panggil Ratu Bebek," Kataku. Ia memperlihatkan wajah kesalnya padaku.

"Trus aku panggil apa?"

"Terserah."

"Ya udah. Siap sayang."

Anggia menatapku kesal. Aku hanya tersenyum tak peduli. Aku kembali menggenggam tangannya menuju mobil yang sudah lengkap dengan sopirnya untuk mengantar kami jalan-jalan setiap harinya.

Nadi Yang Menghidupkan (TAMAT) sudah terbit, Full PartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang