prolog

7.1K 479 37
                                    

Rumah sederhana berwarna monokrom itu tampak lebih ramai dari hari biasa. Para kerabat dekat juga beberapa teman sekolah diundang untuk merayakan hari jadi si nona kecil.

Acara berlangsung khidmat. Tidak banyak rentetan acara. Hanya bernanyi dan potong kue. Setelah melakukan dua hal itu para tamu dipersilakan menikmati hidangan yang tersedia.

Para tamu berpencar. Ada yang menikmati makanan, ada yang berbincang, dan ada pula yang karaoke di tempat yang sudah disediakan.

Ketika hampir semua manusia yang ada di sini diselimuti kebahagiaan, ada satu orang yang bersedih.

Dia adalah si gadis pemilik acara. Entah kenapa sejak manusia-manusia datang untuk merayakan pestanya, sejak itu pula kesedihan datang menghampirinya.

Mengetahui ada yang berbeda dengan si anak, Sindu-nama ayah gadis itu- mendekat.

"Hai," sapa Sindu tidak langsung ke inti.

Gadis yang memakai gaun berwarna putih itu menyunginggkan senyum ala kadar. "Hallo," jawabnya seadanya.

"Boleh Ayah duduk di sebelah Sera?" tanya Sindu meminta izin.

Tentu saja gadis itu mengangguk. Sindu duduk di samping Sera.

Dia mencari sesuatu yang berbeda. Dan ketemu! Dalam manik Sera ada sesuatu yang terpancar jelas. Bukan kebahagiaan melainkan kesedihan.

Tangan Sindu terulur untuk mendongkakan wajah si bocah.

"Sera kenapa?" tanya Sindu.

Gadis bernama lengkap Seraphina Btari Kafabi itu tak langsung menjawab pertanyaan si Ayah. Ia turun dari kursi untuk bisa berdiri di hadapan Sindu.

"Boleh nggak acaranya diakhiri sekarang?" tanyanya.

Sindu menaikkan satu alisnya. "Kenapa?"

"Sera nggak suka," jawab si gadis jujur.

Sejak awal Sera tidak menginginkan pesta ulangtahunnya dirayakan. Ia bukan gadis kecil yang menyukai balon, kue warna-warni, dan kebahagiaan saat merayakan pesta. Sera tidak menyukai hal yang biasanya disukai anak kecil. Ia berbeda.

Pesta ini bisa terlaksana karena Vina alias neneknya. Vina selalu ingin merayakan pesta si cucu. Keinginan itu berbanding terbalik dengan Sera. Gadis kecil itu tidak mau berakting bahagia di hadapan para tamu. Ia benci memasang wajah ceria dihadapan semua orang. Lihatlah. Bahkan usianya baru menginjak tujuh tahun. Tapi ia sudah bisa memasang wajah fake.

Sindu merasakan keanehan si putri. Hanya dalam hitungan beberapa detik saja ekspresi Sera berubah. Air mata yang tadi ditahan seakan tak mampu dibendungnya.

Tak mau orang lain melihat dan bertanya Sindu mengajak Seraphina menjauh. Begitu sudah menjauh air mata sang putri langsung luluh. Seraphina menangis pedih.

"Hei, Sera kenapa?" tanya Sindu hati-hati.

Seraphina tumbuh tidak seperti anak kebanyakan. Ia tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ibu. Mungkin karena itu emosi Sera terkadang tak bisa dikendalikan. Kadang bisa sih. Gadis itu lebih sering memendam segala sesutunya sendirian daripada mengungkapkan.

Tapi kalau sudah meluap jangan ditanya. Air mata kesedihan akan menghiasi wajah cantiknya. Membuat siapapun yang melihat akan merasakan kesedihanannya juga.

"Sera nggak mau dirayain ulangtahunnya."

"Sera nggak suka kue? Nggak suka kumpul sama teman-teman dan saudara Sera?" Tanya Sindu,

Sera kembali menggeleng.

Sindu membawa putri semata wayangnya masuk ke dalam dekapan. "Kenapa nggak mau?"

"Sera boleh nanya sesuatu?"

Perasaan Sindu mendadak tidak enak. Jantungnya berhenti berdetak sejenak. "Nanya apa?"

"Kenapa Ibu nggak pernah datang di pesta perayaan ulangtahun Sera?"

Pertanyaan itu selalu muncul sejak Seraphina bisa bertanya. Anaknya selalu bertanya di mana keberadaan si Ibu.

Sialnya, Sindu tidak pernah bisa menjawabnya. Ia selalu mengalihkan topik saat Sera bertanya tentang keberadaan Ibunya.

"Ibu sayang sama Sera apa nggak sih, Yah? Kenapa Ibu nggak pernah datang temuin Sera?"

Dada Sindu terasa sesak. Sejak Sera tahu arti seorang Ibu ia selalu bertanya pada Sindu. Sera bertanya siapa ibunya, mana keberadaanya, dan kenapa wanita yang seharusnya dipanggil Ibu itu tidak pernah hadir di sekitarnya.

"Kenapa Ayah selalu diam saat Sera tanya tentang Ibu?" lagi, Sera kembali menyurakan isi hatinya.

"Nanti kalau Sera sudah besar Ayah kasih tahu semua," jawab Sindu mengelus rambut Sera.

"Kenapa harus nunggu besar. Bukankah sekarang Sera sudah besar?"

"Tunggu lebih besar lagi."

Sera mendongkakkan wajahnya untuk menatap manik si Ayah. "Sebesar apa?"

"Kalau Sera sudah masuk SMA. Kalau usianya sudah tujuh belas tahun."

Gadis kecil itu diam sejenak.

"Kalau begitu setelah ini Sera nggak mau ngerayain ulangtahun lagi. Kalau Sera ulangtahun Ayah, Oma, Opa, Papa Sandi, dan Mama nggak usah ngasih kado. Sera nggak mau dirayain ultahnya dan nggak mau diberi kado hingga usia Sera tujuh belas."

"Sera mau merayakan ultah dan mau dikasih kado saat berumur tujuh belas. Karena itu acara spesial; Sera mau dikasih kado kehadiran Ibu."

Dengarlah harapan mulia itu.

"Boleh kan, Yah? Ayah mau mengabulkan keinginan Sera kan?"

Meski tak yakin bisa mengabulkan permintaan Sera, tapi Sindu tetap menjawabnya dengan anggukan.

"Iya. Ayah akan berusaha."

Semoga saja. Semoga saja ia berhasil mewujudkan keinginan mulia putrinya.

Tbc.

#sasaji.

Bertaut Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang