7. Cemburu?

9 2 0
                                    

Aku masih kepikiran dengan mas-mas kasir kemarin yang mengantarku pulang. Sampai sekarang aku nggak tahu namanya. Kemarin mau tanya, tapi dia keburu pulang.

Eh, omong-omong, mas-mas kasir itu manis banget. Nggak ganteng, tapi ramah dan suka senyum. Pokoknya aku merasa adem dan santai kalau sama mas itu.

Selama perjalanan kemarin, kita sempat ngobrol-ngobrol sedikit. Ternyata dia lulusan tahun kemarin. Dia kuliah sambil kerja. Kuliah jurusan bisnis, universitas B. Aku baru pertama kali dengar, tapi entah kenapa terdengar keren kalau mas-mas itu ngobrolin tentang dunia kampus.

Aku ingat banget apa yang dia tanya ke aku waktu itu. Dan kata-katanya mengena.

"Menurut kamu penting mana? Masuk ke universitas terkenal jurusan yang nggak kamu kenal, atau ke universitas nggak terkenal tapi jurusannya yang kamu mau?"

Aku bergidik. Sepertinya dia tahu apa yang kupikirkan tentang universitasnya. Dia seperti cenayang saja.

Aku berpikir sejenak. Itu pilihan yang sulit.

"Aku milih univ terkenal jurusan nggak aku kenal. Soalnya lama-lama aku bisa kenal sendiri jurusannya. Terus kalo univ-nya terkenal cari kerja lebih gampang. Salah ya, kayaknya?"

"Nggak ada jawaban yang salah. Opini orang itu nggak bisa disamain. Semua punya keputusan dengan caranya sendiri. Aku juga begitu. Lebih milih universitas nggak terkenal karena aku lebih suka dengan jurusannya. Aku percaya, dari suka yang menjadi cinta, nanti bakal lebih mudah memahami materi. Setelah itu, pekerjaan pasti datang kepada siapapun yang tulus."

Oh, aku baru tahu kalau kita juga bisa berpikir seperti itu. Selama ini, aku hanya pasrah menerima semuanya. Tidak ada satu mapel yang tidak aku sukai, apalagi kalau berhubungan dengan nilai untuk masuk universitas. Semua aku lahap sampai habis, sampai aku benar-benar mengerti.

Tapi aku nggak sadar apa yang aku sukai. Nggak sadar sama apa yang aku mau. Bahkan, aku merasa nggak tahu aku ahli dalam bidang apa. Aku terdiam sampai akhirnya mas-mas kasir itu tertawa.

"Jangan terlalu dipikir, ini cuma omongan random, kok."

Aku tahu mas-mas ini berusaha membuatku sedikit relaks karena topik yang dibicarakan terlalu berat untuk diobrolkan. Tapi aku merasa obrolan ini bukan cuma random. Obrolan ini bisa kupertimbangkan untuk masuk universitas nanti.

"Maaf ya kalo sampe canggung."

"Ng-nggak gitu! Cuma, aku baru sadar apa yang harus aku cari. Makasih ya, Mas."

"Iya."

Mas-mas itu rasanya terlalu keren. Perasaan waktu aku beli belanjaan di supermarket itu, mas-mas kasir bersikap biasa saja. Maksudku, akrab dan ramah seperti biasanya. Kenapa waktu itu rasanya sangat ramah dan baik, ya?

Aku 'kan takut bawa perasaan kalau dikasih perhatian sampai segitunya. Harusnya kemarin cukup pinjami aku ponselnya saja, nggak perlu diantar pulang.

Tunggu, berpikir positif. Mungkin saja ponselnya ketinggalan atau masih di-charger atau ponselnya jadul, makanya dia nggak bisa pinjami ke aku. TAPI KAN BISA MINTA TOLONG PINJEM KE TEMENNYA DARIPADA ANTER AKU PULANG, TAMBAH REPOT.

Ah, nggak tahulah. Pusing. Sumpah, ngapain sih aku mikir beginian? Buang-buang waktu dan energi, asli.

"Puput, maju."

Aku langsung mendongak, melihat papan tulis. Lah, sudah masuk jam pelajaran peminatan? Fisika? Hell!

Aku menoleh pada Mega, teman sebangkuku. Ia belum mengerjakan soal itu, tetapi sudah mencatat rumus sebelumnya. Aku meraih buku itu dan mengerjakannya di papan tulis.

"Lain kali kalo aku nerangin itu disimak, malah diem ae kayak orang pekok. Awas gitu lagi, tak suruh Dateng ke rumahku buat bersih-bersih kamu."

"Iya, Pak. Maaf."

"Yaudah, sana duduk!"

Pak Supriyadi, biasa dipanggil pak Pri adalah guru Fisika yang paling nyeleneh. Bahasanya nggak baku seperti guru lainnya. Prinsipnya, anak cowok cukup datang ke sekolah, nggak bolos mapel. Sedangkan anak cewek harus belajar giat.

Namun, yang kusuka dari pak Pri adalah pribadinya yang blak-blakkan. Aku sangat suka dengan orang yang nggak sok baik atau sok judes agar diperhatikan muridnya. Pak Pri juga baik kalau memberikan nilai bagus kepada murid-muridnya walaupun kebanyakan kurang bisa mengerjakan soal.

Yah, namanya anak IPS. Dicekoki rumus bejibun, tentu saja kaget. Kecuali aku. Tapi aku pura-pura nggak tahu saja karena aku nggak suka direpotin orang. Ingat, aku itu pemalas.

"Untung kamu bisa jawab, kalo enggak kamu bakal dibawa pulang."

"Kalo aku dibawa pulang, ntar aku minta rumah gede."

"Lambemu."

***

Aku tertidur di kelas. Bangun-bangun, semua sudah bersiap untuk pulang. Aku tersenyum senang. Berarti sejak pelajaran Fisika selesai, jam kosong? Waha!

"Tumben masih di kelas?"

Senyumanku hilang seketika saat mendengar suara Bulan menusuk telinga. Kenapa sih dia muncul terus?

"Ngapain ke sini sih?"

"Pulang bareng!" serunya dengan senyum sumringah.

"Gak, aku dijemput."

"Sama om? Apa tante?"

Aku tersenyum sendiri membayangkan siapa yang nanti akan menjemput. Ya, kalau beneran tambah bagus sih. "Sama calon."

"Sama calon? Calon apa?" tanyanya dengan raut penasaran.

"Pacar! Dah, awas minggir! Ngalangin jalan!"

Sebelum aku keluar dari ruang kelas, Bulan menarik tanganku. Aku menoleh, berniat membentaknya. Namun hilang ketika ia menunjukkan raut terluka.

"Aku ... aku boleh cemburu?"

A Little Bit About YouWhere stories live. Discover now