1. Temu Nggak Kangen

20 2 0
                                    

Senin. Kalau semua orang membenci hari Senin,  maka aku itu sangat-sangat benci hari Senin. Aku nggak masalah berdiri berjam-jam di bawah sinar mentari dengan semangat '45 membakar manusia-manusia yang sedang melaksanakan upacara. Namun kebisingan para siswa saat pelaksanaan upacara membuat telingaku berdenging. Aku paling benci ini.

Ugh, ingin rasanya aku mati. Tapi nggak ada cara mati yang nggak menyakitkan, nggak ribet, dan nggak menguras tenaga. Jadi aku milih hidup sederhana, simpel, dan berharap nggak akan pernah mendapatkan cobaan seumur hidup.

"Loh, Dek Puput?"

Aku melotot sempurna.

Loh he?!

Aku mendongak untuk memastikan ... ternyata benar dia tetangga baru! Lah, kok dia bisa ada di barisan sebelah kelasku?!

"Kamu kelas 11 SMA?" tanyanya dengan wajah terkejut.

Sumpah, aku merasa terhina. Mentang-mentang aku tingginya cuma 150 cm, dia ngira aku anak TK? Eh, emang anak TK segitu tingginya? Tahu, ah!

"Aku kira malah udah kuliah."

"Setua itu wajahku ternyata." Ia terkekeh sembari memegang tengkuknya.

Anjir, masa' bilang jujur kalau aku mengira dia anak kuliahan karena dia terlalu keren dianggap sebagai anak SMA kelas 11?! Ogah amat!

Yang kulakukan hanya bisa tersenyum kikuk.

"Untungnya kamu nggak marah waktu aku manggil Dek."

Berengsek, pasti karena tinggi badanku. Menyebalkan!

"Haha." Hanya itu yang keluar dari mulutku. Belum lagi wajahku yang datar karena sebenarnya tidak ada yang lucu untuk ditertawakan.

"Oh ya, namaku Susanto," katanya tiba-tiba membuatku syok.

"Hahh??"

"Bercanda, namaku Bulan," jawabnya sambil tersenyum lebar.

***

Sejak tadi yang ada di pikiranku hanyalah nama lelaki tampan itu. Padahal ada banyak nama yang bisa digunakan untuk anak laki-laki, tetapi kenapa harus Bulan? 'Kan aneh gitu kalau cowok namanya Bulan? Hell, Bulan? Dipikir terus menerus tetap saja aneh dan janggal.

Tunggu. Ngapain aku mikirin cowok itu? Kaya' nggak ada kerjaan aja!

"Puput!" Sintianying, nama sebenarnya Chintya. Tapi karena dia sekarang menyebalkan karena tiba-tiba merusak indra pendengaranku yang super tajam, aku memanggilnya begitu.

"Paan?" jawabku ogah-ogahan. Pasti kalau bukan pr mungkin curhat atau mungkin juga ke kantin. Atau ... entahlah. Ada beribu alasan dia datang menghampiriku.

"Pe-er dong. Muehehe." Aku memutar bola mata. Sudah kuduga. Tapi tetap saja aku merasa jengkel.

"Si anying, masih pagi," ketusku, lalu mengambil buku pr yang sudah selesai kerjakan semalam sembari rebahan.

"Mumpung masih pagi, keburu gurunya nongol."

"Makanya kalo malem tuh dibuat nugas bukan buat telponan sama bebeb."

"Yeee, kalo kamu dah punya cowok juga bakal gitu tauk!" Aku melotot sempurna.

Mana ada yang mau denganku? Cewek super pemalas yang saking malasnya bisa mandi sehari sekali saat weekend atau holiday dan betah rebahan di kamar sampai lumutan.

"Dih, ogah amat."

Aku juga tidak berminat mencari cowok. Besok kalau butuh pasti Tuhan mengirimkannya lebih cepat melebihi JEN atau apalah itu nama jasa yang digunakan orang-orang saat belanja online.

A Little Bit About YouWhere stories live. Discover now