14 - First Champion

74 31 0
                                    


Alvan menunggu di lobi SMA Galaksi. Selain cowok itu malas berjalan kedalam gedung SMA Galaksi yang super duper luas, beberapa saat yang lalu Elin mengirimkan pesan singkat agar Alvan menungguinya di lobi saja. Lagi pula, disini juga terdapat Wi-fi yang super kenceng yang membuat Alvan betah berlama-lama. Lumayan buat Alvan streaming kartun shincan.

Memang dasarnya orang kaya berjiwa kere.

"Nunggu lama?"

Alvan mengangkat kepalanya, menatap gadis didepannya dengan senyum merekah. "Lumayan," jawabnya. Senyum Alvan bertambah lebar ketika melihat sebuah piala yang berada digenggaman Elin.

"Juara berapa?" Tanya Alvan antusias. Ponsel yang semula sedang menampilkan tontonan anak-anak tersebut sudah Alvan masukkan kedalam kantong celana SMA nya.

"Second," ucap Elin, gadis itu tersenyum tipis setelahnya.

"Pinter!" Ucap Alvan mengacungkan kedua jempol tangan, sedetik kemudian tangannya sudah berpindah mengacak rambut Elin.

Elin tersenyum, ada rasa yang tidak bisa Elin jabarkan ketika tangan Alvan mengusap pucuk kepalanya dengan lembut, terlebih tatapan Alvan yang selalu bisa membuat hatinya tenang.

"Mau hadiah apa dari gue?" Alvan mensejajarkan tubuhnya disamping kiri Elin. Diam-diam tangannya meraih tangan kiri Elin yang tidak sedang memegang piala. Elin tidak menolak akan perlakuan Alvan, entah mengapa.

Elin mengerutkan keningnya menatap Alvan, lalu terkekeh pelan. "Apaan sih Al, orang cuma dapet juara dua."

"Mau berapapun juara yang lo dapat, intinya lo juara pertama dihati gue," ucap Alvan dengan senyum lebar sembari menyentuh dadanya.

Elin memutar bola matanya malas, "apaan banget."

"Yuk mau kemana nih? Caffe, resto? Mall?" Tanya Alvan.

Elin menggeleng, dia bukan type yang suka berfoya-foya, "nggak usah."

"Nggak boleh gitu dong, gue udah rela bolos sekolah buat kasih hadiah buat lo," Alvan mengadu, wajahnya diperlihatkan seolah-olah dia memang sedang kecewa.

"Siapa yang suruh lo buat jemput gue?" Tanya Elin sarkastik, matanya melirik Alvan dari samping. Terlihat, cowok yang lebih tinggi darinya itu hanya mengerucutkan bibirnya.

"Yaudah kita mau kemana nih?" Alvan bertanya. Langkah kaki mereka sudah memasuki area parkir SMA Galaksi yang didominasi berjejer-jejer mobil mewah.

"Pulang lah," jawab Elin singkat.

"Ah nggak asik lo!" Alvan melepaskan tautan tangannya dengan Elin, merogoh saku celananya untuk mengambil kunci mobil mahal kepunyaannya.

"Seenggaknya kita jalan kek kemana, atau makan atau kalau nggak nonton gitu," ucap Alvan. Langkahnya semakin mendekati mobil mahal kepunyaannya.

Tidak ada sahutan dari Elin, langkah kaki Elin pun Alvan rasa tidak mengikutinya. Alvan menoleh, Elin tidak disampingnya. Menoleh lagi kebelakang, Elin sedang berdiri berhadapan dengan cowok laki-laki seumurannya.

Alvan berjalan mendekati Elin, berdiri tepat di samping Elin tanpa mengatakan apapun. Bahkan kedua anak manusia yang sedang asik mengobrol tersebut tidak menyadari keberadaan Alvan.

"Tadi selesai sesi foto, lo langsung ngilang. Gue cari gak ada," ucap cowok itu. Alvan dapat melihat keakraban diantara keduanya. Namun Alvan masih betah untuk tidak membuka suara, biarkan mereka yang menyadari keberadaannya.

Elin tertawa kecil, "maaf ya tadi gue keluar duluan."

Si cowok mengangguk. "Iya nggak papa, sekali lagi selamat ya," ucapnya sembari mengulurkan tangannya.

Elin mau tak mau membalas uluran tangan Nathan, "thanks, selamat juga buat lo juara pertama."

"U're welcome," balas cowok itu sambil tersenyum.

"Oh iya El, gue minta kontak lo boleh kan?" Tanya Nathan, cowok itu menyodorkan ponsel hitam berlogo apel kepada Elin.

Elin mengangguk kecil, sebenarnya dia bukan tipe orang yang sembarangan memberikan kontak pribadinya kepada orang yang baru dikenal. Namun, melihat sorot mata Nathan yang terlihat memohon membuatnya sedikit tidak tega. Lagian, toh dia tidak akan rugi kalau memberikan kontaknya kepada Nathan. Nathan bukan orang jahat, menurutnya.

Gerakan Alvan yang tiba-tiba meraih tangan kiri Elin membuat cewek itu kaget, sedetik kemudian ditatapnya Alvan dengan tatapan tajam.

"Ngobrolnya udah? Kita buru-buru," ucap Alvan, lebih kepada pertanyaan untuk Nathan.

Nathan menarik kembali tangannya yang memegang ponsel. "Pacar lo?" Tanyanya kepada Elin setelah menatap Alvan sekilas.

"Duluan ya, Nath!" Ucap Elin, sekarang tubuhnya tertarik mengikuti langkah panjang Alvan.

Nathan menghembuskan napas kasar. Kedua matanya menatap Elin sampai cewek itu benar-benar hilang dibalik pintu mobil sport hitam yang Nathan yakini milik Alvan.

.
.

"Si tengil mana?" Pertanyaan tersebut yang pertama kali keluar dari mulut Farel ketika anak basket SMA Buana sudah berkumpul di lapangan basket indoor.

Paham siapa yang dimaksud Farel, Fano menyahuti. "Maksud lo Alvan?" Si lawan bicara hanya bergumam menanggapinya.

"Dia punya nama, kalau memang lo gak suka sama dia gak usah lo perlihatkan didepan anak-anak," Galang berucap. Dia baru saja mengganti sepatu converesnya dengan sepatu basket.

Farel berdehem, "Baperan lo, itu panggilan khusus dari gue buat dia," Farel berucap sewot yang hanya ditanggapi dengusan malas oleh Galang.

"Dia kemana, bukannya tadi udah diumumim di grup chat?" Kini giliran Alex yang membuka suara.

"Ya mana dia tahu, dia belum lo masukkan di grup chat," jawab Fano sembari berdiri dari duduknya.

"Oh iya gue lupa," sahut Alex dengan cengiran lebar. "Gue belum punya kontak dia. Yaudah mendingan lo hubungin temen lo biar cepet kesini," ucap Alex menuntut.

"Lagian kalian berdua kan sekelas, kenapa gak kasih tau sama dia," Alex berucap lagi. Tangannya sibuk mendrible bola basket ditempat.

Zain yang duduk sembari memainkan game hanya diam mendengar perdebatan kecil antara sesama rekan satu klub basketnya itu.

"Dia udah pulang sebelum lo bilang ada latihan sore ini," sahut Fano. Cowok yang sudah sudah siap dengan jersey warna abu-abu itu mulai meregangkan tubuhnya.

"Ck, bolos? Kenapa kalian enggak ikut dia bolos aja sekalian?" Tanya Alex.

"Yakali kita ikut dia jemput Elin," jawab Fano. Hal itu membuat Farel dan Alex refleks menatap Zain, sedangkan yang ditatap refleks menghentikan aktivitasnya pada posel. Menunggu kelanjutan kalimat apa yang akan mereka katakan selanjutnya.

Namun tidak ada yang meyahuti ucapan Fano setelahnya. Mereka sama-sama diam. Seolah tahu suasana langsung berubah, Alex bersuara, "kita latihan dulu aja sambil nunggu Alvan datang."

Farel yang tadinya berdiri kini memilih duduk di samping Zain, "ganti baju sekarang, buruan," suruhnya. Farel sedang tidak ingin membuat keadaan hati Zain tambah buruk dengan membahas lebih dalam tentang ucapan Fano tadi. Jadi, dia memilih melupakannya saja.

Zain meletakkan ponselnya kedalam tas, lalu berdiri dari duduknya tanpa mengatakan satu katapun kepada Farel. Farel paham itu, selain karena keadaan hati Zain yang sudah memburuk juga sifat Zain yang memang Es.

11 Juli 2020

MiddlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang