Bagian 3: Segulung Kertas

706 135 7
                                    

SUARA tembakan itu berangsur menghilang. Fera mengembuskan napas lega. Saat telapak tangan Wira menutup rapat mulut gadis itu agar tak berteriak, ia merasakan sesak napas dan sakit di area mulutnya karena terlalu ditekan.

Ia menyadari ini bukan mimpi. Gadis itu benar-benar terlempar ke suatu tempat. Apa Wira bilang tadi?  Kita sedang di masa yang lain.

Fera menelan ludah. Ia beralih menatap Wira yang kini waspada di balik semak. Pria itu tampak siap jika sesuatu terjadi.

Gadis itu memperbaiki posisi duduknya. Ia terus memikirkan banyak kemungkinan kenapa dia bisa berada di tempat asing ini.

"Ngomong-ngomong, kita di mana?" Fera bergegas mematikan senter gawainya. Beruntung benda tipis itu tak lepas dari tangan Fera.

Wira berbalik. Ia mengembuskan napas sebentar, lalu menatap Fera.

"Ketahuilah, aku dari masa lalu. Saat itu aku sedang melawan para penjajah di tahun 1942. Saat Jepang baru-baru itu menduduki Indonesia," jelas Wira.

Fera tak mengangguk, tak juga menggeleng. Ia tak tahu apapun tentang sejarah. Dan sekarang pria aneh di depannya mengatakan hal itu seolah baru kemarin sore ia mengalami itu.

"Jadi kita di mana?" tanya Fera lagi. Ia memperhatikan sekeliling, tapi tetap saja suasana terlihat gelap gulita. Udara dingin juga membuat gadis berseragam itu melipat tangannya di dada.

"Sayangnya, aku tidak tahu, Nona. Tapi melihat simbol-simbol yang sempat kulihat dari para penembak tadi, ini pastilah masih di sekitar tahun yang sama di mana aku berasal."

Fera memainkan gawainya. Ia membolak-balik benda tipis itu sambil menunduk dalam.

"Kalau kamu bener dari masa lalu, kenapa bisa ke tahun 20-an?"

Wira melipat kakinya, duduk bersila menghadap Fera. Ia menatap gadis itu juga penuh tanda tanya. "Sayangnya, aku juga tidak tahu. Saat itu aku sedang berusaha menyelamatkan pribumi dari serangan. Tiba-tiba, aku seperti melihat sebuah kain merah putih berkibar dan menutup tubuhku. Lalu tanpa sadar, aku sudah terjatuh di tempat asing."

Fera menelan ludah untuk kesekian kalinya. "Jadi kamu dateng ke kotaku juga nggak tahu apa-apa?"

Wira mengangguk. Bahasa yang digunakan gadis di hadapannya sedikit aneh, namun dia cukup mengerti.

"Ngomong-ngomong, apa negara ini sudah merdeka di masamu?" Wira balik bertanya.

Fera mengangguk. "Iya. Indonesia udah merdeka sejak tahun 1945."

"Sungguh?" Mata Wira membulat; berbinar dalam gelap. Lalu, air matanya lancang mengalir keluar.

Fera mengangguk mantap. "Nggak percaya?" selidiknya.

Wira buru-buru menggeleng. "Aku percaya," ungkapnya serak.

Fera teringat sesuatu. Ia segera menghidupkan ponselnya.

"Benda apa itu?" Wira mengusap hidungnya yang kedat. Mendekat pada Fera dengan rasa penasaran.

Fera tersenyum miring. "Ini namanya smartphone. Kita bisa menelpon orang pakai ini. Membaca, dengerin musik, nonton film. Sama memotret," celoteh Fera sambil mengecek apakah ada sinyal di daerah sini.

"Bentar, ini di mana? Tahun berapa?" Fera celingak-celinguk mencari tahu.

Wira menggeleng. "Sudah kubilang, aku tidak tahu, Nona. Tapi aku menduga ini di tahun antara 1943 atau 1944." Ia berhitung akan situasi.

Fera mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia kembali fokus pada gawainya. Tidak ada jaringan internet. Tentu saja.

Fera sibuk mencari cara untuk mengetahui tahun berapa sekarang, sementara Wira dari tadi terkagum-kagum dengan benda kecil itu.

"Ini benda ajaib," gumamnya.

Sontak Fera tertawa. Tapi buru-buru menutup mulutnya karena teringat suara tembakan tadi.

"Kenapa bisa berwarna?" gumam Wira lagi. Kali ini jarinya takut-takut menyentuh layar gawai milik Fera.

"Apa ini mengalirkan listrik?" tanya pria itu sedikit ragu.

Fera menahan senyum. Ia menggeleng. "Tenang saja, Om. Eh, Wira. Ini nggak nyetrum." Gadis itu mengarahkan jari Wira yang besar ke layar ponsel miliknya. Mendiktenya agar menggulir layar.

Tanpa sengaja, ujung jari Wira menyentuh icon galeri. Muncul foto-foto Fera yang ber-selfie memenuhi album.

Wajah Fera merah padam. Ia segera mengalihkan layar ke menu utama.

Wira terkekeh. "Kenapa? Tadi itu cantik sekali," ujarnya senang.

"Ha-Hah?" Wajah gadis itu tambah panas. Segera ia menyimpan gawai itu ke dalam saku.

Ekspresi Wira sedikit kecewa. Ia masih ingin bermain dengan benda tipis tadi.

"Sekarang kita harus gimana?" Fera mengalihkan  ke topik yang lebih penting.

Air muka Wira berubah serius. Ia mencoba berdiri untuk melihat sekitar lebih jelas.

"Sepertinya ki—" kalimat pria itu terpotong saat menyadari ada gulungan kertas di tengah lapangan berumput di depannya.

Pria itu melangkah hati-hati untuk mengambil benda itu.

***

Ditulis untuk kalian berdua.

Wira sang Prajurit dan Fera sang Murid. Kalian telah terkirim ke masa kemerdekaan Indonesia. Tercatat tahun 1945.

Tanggal 17 Agustus pukul 01.00

Alasan kami mengirim kalian ke masa itu adalah untuk mengabadikan momen proklamasi dan menemui B.M Diah agar menyimpan naskah proklamasi yang sudah dibuang ke tempat sampah.

Kalian akan kembali dalam waktu 24 Jam. Jangan sampai nama kalian tercatat dalam sejarah atau kalian tidak akan kembali ke masa kalian selamanya.

Tertanda: CodeX2442

Fera menutup mulutnya tak percaya. Wira yang sudah menjelajahi 2 masa mengangguk-angguk.

"Kita harus bergegas." Wira bangkit berdiri.

"Tunggu, memang kamu tahu siapa orangnya?" Fera ikut berdiri.

"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya kamu tahu," ungkap Wira percaya.

Fera ragu. Gadis metropolitan itu tak tahu menahu soal sejarah. Bahkan ia lupa siapa saja yang terlibat dalam perumusan naskah proklamasi.

"Sebenernya, aku nggak tahu," lirih Fera seraya menunduk.

Mata Wira melebar. "Kenapa tidak tahu?"

"Karena aku nggak serius belajar sejarah," gumam Fera takut.

Wira mengusap wajahnya yang kebas. "Nona, kau seorang pelajar. Pelajar yang hidup setelah negeri ini merdeka."

Fera menunduk lesu. "Maaf."

***
Bersambung
.
(870 kata)
.
Sabtu, 25 Juli 2020









24 Jam |✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang