Bagian 9: Wasiat Aneh

421 95 1
                                    

FERA melempar kerikil kecil dengan kencang ke permukaan air sungai. Wajahnya terlihat kesal.

"Apa-apaan!" sergahnya kasar. Entah sudah berapa kerikil yang ia lempar ke sungai.

Wira duduk di sebelahnya tak tahu harus menenangkan gadis itu dengan apa. Baru kali ini ia melihat Fera sangat kesal.

Matahari terlihat bersiap terbenam di ufuk barat. Sesuai rencana, mereka benar-benar melihat sunset bersama.

Kejadian tadi siang entah kenapa membuat Fera sangat terpukul. Ia bergegas pergi saat surat wasiat soal pernikahan itu ditunjukkan padanya.

"Ini surat wasiat dari ibuku. Beliau menyuruhku mencari calon suami yang baik. Tapi jika aku bertemu dengan prajurit yang telah menyelamatkan ibuku di pasar beberapa tahun lalu, maka aku harus menikah dengannya; walau dia sudah beristri."

Kata-kata Ningsih kembali terngiang di kepala Fera. Ia tak terima jika Wira harus menikahi Ningsih. Pasalnya, wasiat itu terdengar sangat egois; tanpa mementingkan pendapat pihak ketiga.

"Wira! Kamu nggak kesel apa? Seenak jidat mereka maksa kamu nikah," seru Fera. Ia akhirnya mengambil posisi duduk di samping pria itu.

"Fera, tenanglah. Aku tak tahu kenapa kamu kesal seperti ini. Aku baik-baik saja. Lagipula, sepertinya jarak antara rumahku dan desa ini tak begitu jauh. Wajar ibu Ningsih memberikan wasiat itu."

"Tapi tahu dari mana ibunya kalau kau tinggal di dekat sini?"

Wira tersenyum. "Kalau itu, aku tidak tahu."

Mulut Fera setengah terbuka. Ia merasa ada yang aneh dari peristiwa ini. Sorot matanya berubah serius. "Wira, bagaimana pendapatmu tentang wasiat itu?"

Wira menghela napas. Ia terdiam sebentar, lalu menjawab, "Aku akan segera kembali ke masa lalu. Itu berarti, usiaku jika bertemu dengan Ningsih sudah terbilang jauh di masa sekarang.

"Mungkin aku di masa lalu, setelah aku kembali dari sini, akan ada kejadian yang membuat ibu Ningsih menulis wasiat seperti itu."

Fera menelan ludah. Benar juga, batinnya.

Ia juga berasal dari masa depan. Usianya dengan Wira berarti akan sangat jauh dibandingkan pertemuan sekarang. Bahkan mungkin pria itu sudah mati jika Fera ingin menemuinya di masa depan.

Fera menelan ludah. Matanya kini beralih ke ufuk barat. Semburat kemerahan menghipnotisnya agar diam.

"Fera, boleh aku bertanya sesuatu?"

Suara jangkrik terdengar bersahutan. Sebentar lagi matahari terbenam, dan tak ada pilihan lain selain kembali ke rumah Ningsih atau menunggu di pinggir sungai ini hingga malam tiba dan kembali ke masa lalu.

Fera hanya bergumam sebagai jawaban.

"Kenapa kamu kesal hanya karena surat wasiat aneh itu? Bukankah seharusnya aku yang kesal?" tanya Wira.

Mata Fera membulat. Benar juga, tak ada alasan berarti kenapa ia begitu kesal. Gadis itu menggeleng. "Aku juga nggak tahu."

Fera melipat kakinya. Dagunya menempel lelah di atas lutut. "Aku kesel aja sama surat wasiat itu. Nikah sama Wira? Jangan ngaco, deh."

Mata Wira mengerjap-ngerjap. "Memangnya kenapa jika aku menikah, Fera? Bukankah itu hal yang wajar?"

Fera mendelik ke arah Wira. "Masalahnya jangan menikah sama orang lain," sahut Fera.

Wira memiringkan kepalanya. "Lalu aku harus menikah dengan siapa?"

Deg!

Fera tersadar. Ia melupakan fakta itu. Fakta Wira berbeda masa dengannya. "Ng-nggak tahu," lirihnya. Wajahnya memanas.

Wira mengacak rambut gadis itu. "Fera, tenang saja. Apapun yang terjadi, aku akan menjadi suami yang mencintai istrinya dengan sepenuh hati."

Pupil gadis itu bergetar. Matanya berkaca-kaca. Ia tak tahu harus bereaksi bagaimana. Yang ada di kepalanya hanyalah, tak ingin pergi dari sisi Wira. Fera meninju pelan lengan pria itu. "Bego."

Tanpa disadari, rembulan sudah menggantikan mentari. Fera dan Wira tak ada pilihan lain selain kembali ke rumah Ningsih yang penuh kehangatan. Gadis belia itu sudah menunggu di depan rumah. Ia terlihat sangat khawatir dengan kedua tamunya. Sejak tadi suasana terbilang ramai karena orang-orang sudah mulai menyebarkan pamflet atau media apapun untuk mengumumkan Indonesia telah merdeka.

Fera tertegun saat mengetahui Ningsih mengkhawatirkannya. Bahkan gadis belia itu tak segan meminjamkan pakaian lain dan merapikan tempat tidurnya. Makanan sudah tersaji di atas meja.

"Soal surat wasiat itu, aku tak yakin." Ningsih membuka suara saat denting sendok memenuhi langit-langit ruang makan.

"Kenapa?" Fera mengernyit.

"Mbak Fera kan tunangan Mas Wira. Aku nggak mau jadi yang kedua," jelas Ningsih.

Fera dan Wira saling bertukar pandang. Mereka lupa kalau sekarang sedang berperan sebagai sepasang kekasih.

"Ningsih, kalau kalian jodoh, pasti bakal bersatu kok," ujar Fera dengan wajah tulus. Ia tak tega mengingat kebaikan gadis itu. Tak seharusnya Fera kesal karena alasan kekanakan. Usianya sudah lebih dari cukup untuk mengerti.

Wira menghela napas. "Fera, Ningsih. Bisa kalian membahas hal lain? Lagipula aku akan pergi malam ini. Kemungkinan aku tak akan bertemu dengan Ningsih lagi. Jadi, ia bisa menikah dengan pria lain."

Fera menelan ludah. Ia kembali melanjutkan makannya.

Ningsih mengangguk. "Itu benar."

Makan malam berlangsung hangat. Mereka kini membahas tokoh-tokoh proklamasi atau cerita tentang penjajahan Jepang.

Hingga tanpa sadar, malam kian larut. Fera dan Ningsih pamit tidur setelah mencuci piring.

Wira memutuskan menunda tidurnya. Ia duduk di kursi teras rumah sambil memikirkan banyak hal.

Alasan apa yang membuatnya dikirim kemari? Misinya hanya mendokumentasikan proklamasi dan mengingatkan Burhanuddin soal naskah? Itu terlalu mudah.

Wira hampir dibuat tak habis pikir kenapa harus sampai di kirim ke masa depan. Terlebih, kenapa harus Fera? Juga, siapa yang sudah mengirimnya ke masa ini? Apa teknologi masa depan bisa membuat prajurit itu menjelajah waktu dan menjadi kelinci percobaan?

Apapun itu, pertanyaan terbesar Wira adalah, kenapa dia dikirim ke sini dengan Fera?

Suara binatang malam menjadi orkestra tersendiri malam itu. Di kamar, Fera tak bisa memejamkan matanya. Sudah pukul 7 malam. Tengah malam nanti, ia akan dikirim kembali ke masa depan, sementara Wira ke masa lalu.

Gadis itu tak peduli kenapa ia berada di masa ini. Yang ia pikirkan adalah, ia pasti akan merindukan pria itu. Fera tak menyangka bahwa Wira akan menjadi sosok yang berarti di hidupnya. Selama ini, gadis itu terkenal sangat egois dan acuh. Hampir ia tak memiliki teman selain Vino—pacarnya. Hanya Vino yang menerima Fera apa adanya. Tapi, sosok Wira lah yang sudah mengubah dirinya tanpa sadar.

Fera teringat, selama ini ... tak pernah ia jumpai sosok setenang Wira. Masa remajanya dihabiskan hanya untuk bersenang-senang bersama Vino. Tak ada hal berarti di antara mereka.

Kata-kata Wira selama perjalanan kembali memaksa Fera agar tersadar.

"Kemerdekaan ini, adalah bukti bahwa negeri ini sudah berjuang. Di dunia ini tidak ada yang instan. Masa depan negeri ini, ditentukan oleh perjuangan para pemuda dan pemudinya. Jangan rusak dirimu, dan anak muda di masa sekarang atau depan dengan kegiatan tak berguna. Negeri ini tak akan tegak tanpa perjuangan."

Apa perjuangan Fera di masa depan untuk negeri ini?

***
Bersambung
.
(1058 Kata)
.
(Minggu, 4 Agustus 2020)

24 Jam |✓Where stories live. Discover now