Bagian 6: Pagi

449 106 6
                                    

NINGSIH menyiapkan sarapan seadanya. Kedua tamunya juga tampak tak keberatan akan hal itu. Setelah selesai bersiap, pagi itu Wira dan Fera pamit meninggalkan rumah Ningsih.

Wira dan Fera mengenakan pakaian yang dipinjamkan Ningsih. Sementara pakaian mereka sebelumnya, dimasukkan ke dalam tas kain yang kini digendong Wira.

Sinar hangat mentari membuat Fera sedikit semangat menjalani paginya. Pasalnya, gadis itu sama sekali tak pernah bangun sepagi itu. Ini semua karena Wira memaksa dirinya agar segera bertolak menuju tempat dibacakannya naskah proklamasi.

Mereka berjalan kaki sesuai petunjuk Ningsih sebelumnya. Beberapa tatapan dari warga sekitar mereka dapatkan. Fera agak takut kenapa banyak orang yang menatap mereka. Apa karena berjalan dengan laki-laki adalah hal tabu?

Sayangnya gadis itu tak menyadari. Satu-satunya alasan mengapa orang-orang menatapnya adalah karena ia sangat cantik. Ayolah, siapa pribumi di sini yang bisa mengalahkan kecantikan Fera? Begitu pikir Wira.

"Fera. Genggam tanganku." Wira tanpa permisi langsung menautkan jari-jarinya ke telapak tangan gadis itu.

Fera hampir saja memukul pria itu. Tapi dengan cepat ia menyadari keadaan—ini tempat umum.

"Apa yang kamu lakukan?" bisik Fera. Ia masih melangkahkan kakinya—berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Wira.

"Kita ini pasangan. Itu yang orang-orang harus sadari," bisik pria itu.

Fera mengangguk patah. Benar juga. Kalau mereka mengira Wira adalah pasangannya, berjalan berdua seperti ini tak mungkin membuat orang lain berprasangka buruk.

Fera merasakan kehangatan. Kali pertama ia menggenggam tangan pria lain selain Vino—pacarnya.

"Masih jauh?" tanya Fera. Ia melihat ke sekeliling. Ia pernah ke jalan Merdeka. Tapi dengan masa yang berbeda ini, Fera tak tahu persis di mana mereka.

Wira menggeleng. "Sepertinya sebentar lagi."

Mereka terus berjalan dengan bergandengan tangan. Sesekali pria itu menyapa beberapa orang yang dilewati mereka.

"Umurmu berapa?" Fera teringat sesuatu. Ia sedikit mendongak untuk melihat wajah lawan bicaranya.

Wira menoleh sebentar. Lalu tatapannya tampak menerawang jauh. "Menurutmu berapa, Nona?"

Gadis itu tampak berpikir. Langkah mereka mulai melambat karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Dua puluh lima?" tebak Fera.

Wira terkekeh, lalu menggeleng. "Umurku 28 tahun, Fera."

Mulut Fera menganga. Langkahnya terhenti.

"Kenapa?" Wira mau tak mau ikut menghentikan gerakan kakinya.

Tersadar, Fera menggelengkan kepalanya. "Nggak pa-pa."

Gadis itu menarik Wira agar kembali melangkah. Sepertinya telapak tangan mereka sudah terkena lem gaib.

"Kukira kamu masih muda. Tahunya udah mau om-om," gumam Fera sedikit kecewa.

Wira tertawa. "Apa wajahku terlihat muda? Tapi 28 tahun itu termasuk muda, Nona," kelakar pria itu.

Fera menggeleng. "Dua puluh delapan tahun tuh kayak omku," balas gadis itu.

Wira terkekeh. Tangan bebasnya mengusap puncak kepala Fera gemas. "Kalau begitu kamu seperti keponakanku," timpalnya.

Fera tersenyum kecut. Ia tak terima dianggap keponakan oleh Wira. Setelah merapikan rambutnya yang sedikit berantakan—karena usapan Wira—gadis itu berbisik, "Kamu tahu? Kita ini tunangan."

Tawa Wira kembali terdengar. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Benar sekali, Nona. Kita ini sepasang kekasih," balas Wira sambil mengedipkan mata. Kali ini gantian Fera yang tertawa.

***

Jalan Pegangsaan Timur ramai oleh orang-orang yang sibuk menyiapkan acara. Wira dan Fera tiba di sana pukul sembilan lebih 50 menit.

Dua orang itu sekarang menyamar menjadi warga yang tinggal di sekitar. Menunggu acara pembacaan naskah proklamasi dimulai 10 menit lagi.

Beberapa tukang sound sibuk memastikan mik bekerja dengan baik. Beberapa menyiapkan bendera merah putih hasil jahitan Ibu Fatmawati.

Fera menelan ludah. Ia memperhatikan kesibukan di depannya dengan antusias.

Hingga saat-saat yang ditunggu tiba. Setelah semua berbaris rapi, terlihat Bung Karno berjalan menuju podium.

Misi Fera adalah mengabadikan momen itu. Ia diam-diam menyiapkan gawainya untuk merekam sang Presiden membacakan naskah.

"Saudara-saudara sekalian," Bung Karno mulai berpidato, "Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita.

"Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang, untuk kemerdekaan tanah air kita bahkan telah beratus-ratus tahun!

"Gelombang aksi kita untuk mencapai kemerdekaan kita itu ada naiknya dan ada turunnya, tetapi jiwa kita tetap menuju ke arah cita-cita.

"Juga di dalam zaman Jepang, usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-hentinya. Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka, tetapi pada hakekatnya, tetap kita menyusun tenaga sendiri, tetapi kita percaya kepada kekuatan sendiri.

"Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil sikap nasib bangsa dan nasib tanah air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.

"Maka kami, tadi malam telah mengadakan musyawarat dengan pemuka-pemuka rakyat Indonesia dari seluruh Indonesia. Permusyawaratan itu seia sekata berpendapat bahwa sekaranglah datang saatnya untuk menyatakan kemerdekaan kita.

"Saudara-saudara! Dengan ini kami menyatakan kebulatan tekad itu. Dengarkanlah proklamasi kami:

"PROKLAMASI.

"Kami bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia.

"Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

"Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun '05. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno/Hatta."

Sorakan demi sorakan mulai terdengar. Fera hampir saja lupa caranya bernapas. Ia segera memasukkan gawainya sebelum orang-orang melihat.

Misi mereka selanjutnya adalah menemui Bapak Burhanuddin untuk mengingatkan soal naskah proklamasi yang asli.

Wira terlihat mengusap air matanya yang berair. Saat lagu Indonesia Raya dinyanyikan— bersamaan dengan ditariknya bendera merah putih—Fera ikut bernyanyi.

Lagu itu. Lagu yang selama ini ia nyanyikan setiap hari Senin. Yang mungkin bisa dikatakan, gadis itu bebal akan lagu itu, sekarang ia menyanyikannya dengan hati.

Belum selesai Fera menikmati momen itu, Wira sudah menarik lengannya agar menjauh dari keramaian.

"Ada apa?" Fera tampak kebingungan.

Pria itu menunjuk salah seorang di antara kerumunan. "Itu orang yang kita cari," ujarnya.

Fera menelan ludah. Ia buru-buru mengeluarkan ponselnya. Mengecek klip video tentang kemerdekaan yang ia buat saat masih di tahun asalnya.

Benar, wajah Burhanuddin Mohammad Diah terlihat jelas. Mirip dengan orang yang kini terlihat bersalaman dengan Bung Karno.

"Ayo temui dia," ucap Wira bersiap menarik lengan Fera.

"Wira. Nanti dulu," cegah gadis itu.

Pria itu bergumam. "Kenapa nanti?"

Fera menepuk dahi. Tentu saja mereka tak bisa menemui sang Penyimpan Naskah jika suasana sedang ramai-ramainya.

"Dengar, Wira. Kita harus menunggu sampai acara selesai dan bisa mengajak beliau bicara," jelas Fera gemas.

***
Bersambung
.
(1002 kata)
.
(Kamis, 30 Juli 2020)




24 Jam |✓Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon