Bagian 10: Alasan

428 98 0
                                    

FERA tak bisa memejamkan matanya. Gadis itu memutuskan untuk keluar sebentar menyapa angin malam.

"Fera."

Fera menoleh. Terlihat Wira sedang duduk di salah satu kursi ditemani secangkir kopi.

"Aku nggak bisa tidur," ucap Fera seraya mengambil posisi duduk di kursi yang tersisa.

Wira mengangguk. Tentu saja mereka tidak bisa tidur, zaman ini berbeda dengan zaman seharusnya mereka berada.

"Fera, menurutmu, apa alasan mereka mengirim kita ke sini?" Wira menyamarkan suara binatang malam yang dari tadi didengar Fera.

Gadis itu menoleh. "Aku nggak tahu. Yang jelas, pasti ada alasan kenapa aku dipilih buat jalanin misi ke masa ini," jawab Fera seadanya.

Wira mengangguk. "Mari kita ambil teori. Pertama, kemungkinan teknologi masa depan bisa membuat manusia menjelajah waktu. Kedua, mereka sedang melakukan penelitian dan menggunakan misi sederhana sebagai pengalih perhatian kita. Ketiga, terpilihnya kita hanya kebetulan saja." Pria itu menghela napas. Menurutnya, hanya itu teori yang masuk akal di kepalanya.

Fera hampir tak berkedip. Kalau dipikir-pikir, benar juga, batinnya.

"Kalau gitu, kita cuma jadi kelinci percobaan?"

Wira mengangguk. "Tidak salah lagi. Kita hanya perlu menuruti kemauan mereka." Wira mengernyit. Ia bahkan tak tahu betul siapa 'mereka' yang ia maksud.

"Sepertinya sia-sia saja kita dikirim ke masa ini," gumam Wira setelah lengang beberapa jenak.

Fera mendelik. "Kata siapa? Buat aku, hari ini berharga banget," tangannya terkepal, "Kalau aku nggak kelempar ke masa ini, kemungkinan besar aku bakal terus jadi cewek cuek nggak punya semangat hidup."

"Apa maksudmu?"

Brak!

Fera memukul meja kecil di sampingnya. "Kalau bukan karena kamu juga, aku nggak akan buta lagi soal cowok. Terus, bisa lihat proklamasi ... bukannya keren?"

Wira menelan ludah. Senyum kecil terbit di wajah tegasnya. "Benar, Fera. Maafkan aku. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini."

Fera berdecih, "Kamu prajurit tapi bilang sia-sia? Apa bener kamu  prajurit?"

Wira menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yeah, kadang kita lupa pada diri sendiri."

Malam kian larut. Karena mereka sudah dipastikan tidak bisa tidur, Wira dan Fera memutuskan untuk mengobrol hingga tengah malam.

"Aku penasaran. Nanti kita baliknya gimana. Apa jangan-jangan kita nggak bisa balik?" kata Fera cemas.

Wira terkekeh. "Gulungan yang semalam kita baca, sudah menjelaskan kalau kita akan kembali, Fera. Percayalah."

Tak ada pilihan lain, Fera akhirnya mengangguk.

Wira tersenyum menatap gadis di sebelahnya. Ia teringat saat-saat pertama kali bertemu dengannya. Wajah acuh, nada bicara kasar, persis kakak perempuan Wira yang sudah lama berpulang.

Baru kali ini Wira bertemu gadis seperti Fera. Tatapan matanya yang tajam berhasil menghipnotis pria itu untuk selalu berada di sampingnya. Tawa Fera yang mengusik telinga, senyumnya yang manis, ekspresinya yang lucu saat sedang kesal, semua itu menarik perhatian Wira.

"Wira, kalau udah balik ke zaman masing-masing, nanti ingatan kita dihapus nggak ya?"

Pria itu mengernyit. "Apa maksudmu? Bukankah malah bagus kalau dibiarkan saja? Maksudku, untukku yang dari masa lalu, hal ini bisa menjadi motivasi tersendiri karena yakin bangsa ini akan merdeka," ujarnya.

Fera tersenyum miring. "Masalahnya, aku dari masa depan. Masa di mana semua informasi tersebar dengan cepat, media di mana-mana. Nggak kayak sekarang, Indonesia merdeka, tapi informasinya masih tersendat."

Wira menelan ludah. "Jelaskan padaku tentang masa depan." Sepertinya zaman Fera lebih menarik daripada topik mereka sebelumnya.

Fera mengerjapkan matanya berkali-kali. Baru kali ini ia mendapati Wira tampak sangat antusias mendengar cerita seperti anak kecil. Tatapannya yang berbinar penuh rasa ingin tahu, mengingatkan Fera tentang dirinya yang dulu.

Fera tertawa. "Oke, mau tanya apa?"

"Aku penasaran dengan kendaraan-kendaraan di sana. Bagaimana mereka bisa bergerak sangat lincah?"

Fera berpikir sebentar. Lalu dengan senang hati menjelaskan banyak hal soal kendaraan. Bahkan Wira hampir lupa caranya menutup mulut saat Fera bercerita tentang pesawat yang bisa mengangkut banyak penumpang.

"Sayang sekali, aku tak bisa melihat semua itu. Saat terlempar ke zamanmu, aku tak terlalu memperhatikan karena aku sibuk mencari tahu, ada apa denganku saat itu." Wira menghela napas. Ia memang tidak ditakdirkan lahir di zaman tersebut.

"Wira, apa kamu bakal lupain aku kalau udah balik ke masa lalu?" lirih Fera.

"Tentu saja tidak, Nona."-Pria itu menggeleng-"Aku tidak akan melupakan gadis sehebat dirimu."

"Hebat?"

Wira mengangguk. "Izinkan aku bercerita...."

Fera memperbaiki posisi duduknya. Udara malam semakin terasa dingin. Gadis itu menekuk lututnya, meringkuk di atas kursi.

"Saat aku masih seusiamu, aku dikirim ke sekolah militer. Tidak ada perempuan di sana. Tapi setiap kali pulang ke kampung, para gadis remaja menantiku di gerbang desa. Mereka selalu berusaha menarik perhatian Wira si Tampan. Jadi, bisa bersamaku seharian, berarti adalah gadis yang hebat" Wira menyisir rambutnya dengan jemari. Memasang wajah bangga.

Pipi kiri Fera berkedut ngeri. Baru kali ini ia dapati Wira bersikap alay.

Gadis itu mendengkus. "Sayang banget. Aku juga mau cerita."

"Apa? Kamu sayang?" Wajah Wira memerah.

"Hah? Apa? Itu istilah!" sergah Fera cepat. Wajahnya bersemu menyadari perkataannya yang ambigu.

Wira mengangguk. Suasana tiba-tiba canggung.

"Aku, kalau udah lewatin gerbang sekolah, cowok-cowok jadi bucin semua. Ada yang bacain puisi, ada yang kasih bunga, cokelat, jajanan, dan masih banyak lagi."

"Apa yang kekasihmu lakukan?" Wira bertanya-tanya, kenapa Vino membiarkan gadisnya dirayu oleh pria lain.

"Vino nggak peduli. Yang penting aku nggak bales perasaan mereka," jawab Fera sambil mengibas rambut.

"Seandainya aku adalah kekasihmu, tak akan kubiarkan kamu didekati pria lain. Laki-laki itu harus menjaga perempuan yang dicintainya. Aku sarankan, jangan menikah dengannya," ujar Wira mengingatkan.

Muka Fera bersemu. Di telinganya hanya terdengar kalimat "seandainya aku adalah kekasihmu".

"Ra, ada apa denganmu?" Wira melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu.

Fera tersadar. "Ah, ya?"

"Apa kamu tak suka aku berbicara yang tidak-tidak soal kekasihmu?" tanya Wira.

Gadis itu buru-buru menggeleng. Bukan itu yang sedang ia lamunkan. Melainkan, tentang kenapa jantungnya selalu berdetak lebih cepat saat berada di samping Wira. Apa itu perasaan bersemangat?

Plak!

Pipi Fera terasa panas. Baru saja ia ditampar. Perlahan, matanya melirik ke arah pria di sebelahnya. Wira baru saja menamparnya!

Mata Fera lah yang kini terasa panas. Ia tak menyangka pria yang beberapa jam terakhir sudah menjadi pengisi hatinya, menamparnya tiba-tiba. Tanpa menunggu waktu, air mata Fera tumpah.

Wira yang menyadari ada yang salah, segera memberitahu, "Fera, ma-maafkan aku. Aku tidak bermaksud. Tadi ada nyamuk di pipimu!"

Lengang.

Tangis Fera berhenti seketika. Dengan tatapan kesal, Fera balas memukul-mukul pria itu dengan tangannya. Tapi Wira selalu berhasil menghindar hingga lapangan rumput di depan rumah Ningsih menjadi arena kejar-kejaran dua orang itu.

***
Bersambung
.
(1040 kata)
.
(Rabu, 5 Agustus 2020)
.
Jadi tambh gaje(ノಥ,_」ಥ)ノ彡┻━┻

24 Jam |✓Where stories live. Discover now