Bagian 8: Makan Siang

435 98 3
                                    

FERA hampir saja lupa caranya bernapas. Apa Wira bilang? Fera manis? Tidak-tidak; lupakan sebutan tampan tadi. Pikirkan saja kata 'manis'-nya.

"Lo gombalin gue, 'kan?"

Alis Wira terlipat. "Lo? Gue?gombalin? Maaf, tapi aku tak mengerti apa yang kamu bicarakan."

Fera menepuk dahi. Ia lupa bahwa Wira ini berbeda zaman dengannya. "Lo itu kamu. Gue itu aku. Gombal itu...." Fera berpikir sejenak. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan kata 'gombal' tersebut.

"Kain kumal?" sahut Wira.

Fera menjentikkan jarinya. "Nah itu! Tapi gombal tuh istilahnya 'merayu'," jelas Fera akhirnya.

Wira mengangguk-angguk. Jarinya terus menggulir layar gawai milik Fera. Melihat foto-foto hasil jepretan gadis itu. Kebanyakan yang ia lihat adalah foto senja.

"Tapi kenapa merayu bisa disebut gombal?" Wira kembali bertanya.

Gawat, Fera tak tahu alasannya. Tapi demi pria di sebelahnya, gadis itu mulai membuat jawaban ngasal dibalut kebohongan.

"Alkisah, dulu ada dua pasang kekasih yang sedang duduk melihat matahari terbenam. Sang lelaki merayu si gadis yang sedang dimabuk cinta. Lalu, saat rayuan terlontar, hal pertama yang dilihat si gadis adalah kain kumal atau gombal di dekat sungai. Ia lupa mengomentari rayuan sang pria. Tapi ia lebih dulu mengomentari kenapa bisa ada gombal di sungai. Si gadis langsung berseru, 'Iih! Gombal!'. Sejak saat itulah, setiap ada rayuan ... semua itu di sebut gombal." Fera tersenyum jumawa. Bualan gadis itu memang aneh tapi mudah dipercaya.

Wira mengangguk-angguk. "Seperti cerita bualan, tapi masuk akal," komentar Wira. Ia kemudian mengembalikan gawai Fera. "Kita bisa menghabiskan hari kita di zaman ini dengan melihat sunset," ujarnya seraya berdiri. Ia meregangkan otot jemari dan lengannya.

Fera mendongak. Ia menahan tawa saat Wira menggunakan bahasa asing untuk menyingkat kata 'matahari terbenam'.

"Tapi ini masih siang." Fera menyeka peluh di dahi.

"Kita harus mengisi perut. Sepertinya Ningsih masih mau menerima kita," guman Wira sambil mengarahkan manik matanya ke salah satu rumah di seberang lapangan.

Fera mengangguk mantap. "Semoga dia mau." Perutnya sudah tak tahan lagi menahan lapar di siang bolong ini.

Setelah sepakat, Wira dan Fera melangkah beriringan menuju rumah Ningsih. Tapi setelah tiba di depan rumahnya, sesuatu yang janggal terdengar.

"Sejak kapan rumah ini ramai?" Wira bergumam.

Fera mendengar sayup-sayup suara lelaki di dalam sana. Lalu samar terdengar suara Ningsih yang gemetar.

Wira dan Fera berdiri berhadapan di ambang pintu. Mereka sepakat untuk masuk ke rumah Ningsih tanpa permisi.

Brak!

"Apa yang kalian lakukan!?" teriak Fera setelah Wira membuka pintu dengan kasar.

Semua mata kini tertuju pada dua orang tersebut.

Ningsih yang menyadari kalau Fera dan Wira salah paham, buru-buru mengajak mereka keluar dari rumah.

"Mbak Fera, maafkan aku. Mereka bukan orang jahat," ujar Ningsih.

Wira bergumam, "Tapi tampilan mereka terlihat sangat...."

"Jahat!" Fera menyahut.

"Bukan seperti itu. Tolong jangan lihat orang dari luarnya. Mereka adalah pamanku. Saudara dari ibuku yang telah meninggal," jelas Ningsih. Ia terlihat menyembunyikan wajah ketakutannya.

24 Jam |✓Where stories live. Discover now