Bagian 5: Tidur

516 110 4
                                    

SANG pemilik rumah kembali dengan dua gelas berisi teh panas. Menyajikannya untuk kedua tamunya yang baginya berpenampilan sangat aneh.

Wira tersenyum. "Terima kasih."

Fera tanpa basa-basi sudah meminum teh tersebut karena udara semakin dingin. Wira yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepalanya heran. Sikunya kemudian menyenggol lengan Fera.

Gadis itu mendongak. Bertanya lewat tatapan mata, "Kenapa?"

Wira memberi kode agar berterima kasih pada sang tuan rumah. Fera menyadari hal itu. Ia segera tersenyum ke gadis yang usianya mungkin di bawahnya itu. "Terima kasih," ucapnya sedikit terpaksa.

Sang gadis balas tersenyum. Sedikit canggung kenapa tatapan Fera sangat aneh.

"Kalian dari mana?" tanya gadis itu memecah lengang. Ia tidak pandai bercakap-cakap dengan orang asing. Tapi demi tamu pertamanya, gadis itu memberanikan diri.

Wira dan Fera saling tatap. "Kami dari kota sebelah, Nona," jawab pria itu kemudian menyesap minumannya.

"Namaku Wira. Dan ini ad—"

"Aku tunangannya, Fera."

Wira tak bisa untuk tidak menatap Fera penuh tanda tanya. Tunangan? Apa-apaan itu?

Fera. Gadis itu bahkan tak tahu kenapa mulutnya lancang mengatakan hal itu. Mungkin dia tak mau membuat sang gadis salah paham karena wajah Wira dan dirinya sama sekali tak mirip.

Gadis pemilik rumah itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Namaku Ningsih."

Wira mengangguk, disusul Fera. Mereka kini kembali bertengkar lewat tatapan.

Sementara kedua tamunya beradu tatapan yang ia kira adalah percakapan sesama pasangan, ia memperhatikan lamat-lamat penampilan Wira dan Fera.

Pria itu mengenakan pakaian seperti seragam prajurit penjaga perbatasan. Cukup aneh karena sekarang Nippon sedang tak mengurus Indonesia.

Sementara Fera, gadis itu mengenakan rok panjang abu-abu dengan baju atasan putih yang modelnya tak pernah ia lihat.

"Boleh saya bertanya?" Ningsih memotong adu telepati tamunya.

Wira mengangguk. "Silakan."

"Kenapa pakaian kalian sangat aneh?"

Wira dan Fera menelan ludah. Pria itu tak tahu harus menjawab apa. Tapi sepertinya Fera memiliki ide yang lebih baik untuk menjawabnya.

"Aku dan Wira kabur dari rumah orangtuaku. Aku tak sempat memakai baju yang sesuai. Sementara Wira baru saja pulang dari menjalankan tugas setelah sekian lama ditekan Nippon," jawab Fera lugas.

Ningsih tiba-tiba merasa sungkan. Dilihat-lihat dari tampilan Fera yang terawat, pastilah gadis itu dari keluarga yang berada. Dan mengingat kenekatan dua pasangan itu membuat Ningsih tak tahu harus menanggapi apa.

"Kami kabur karena orangtuaku menyuruh kami untuk pergi meninggalkan rumah karena suasana kota mencekam. Banyak rumah-rumah yang dirampas," tambah Fera seolah 'kerusuhan' itu benar adanya.

Ningsih tak tahu tentang hal itu. Ia hanya mengangguk-angguk seperti burung.

"Kami berencana menemui kerabat kami, Burhanuddin Mohammad Diah untuk meminta pertolongan." Fera lagi-lagi berbohong. Bahkan Wira di sampingnya sampai lupa menikmati teh miliknya. Ia sangat kagum dengan kemampuan berbohong Fera.

"Ah, begitu." Ningsih tentu saja mengenal siapa itu Burhanuddin. Namanya cukup tersohor di kampungnya. Tapi gadis itu sama sekali tak tahu betul siapa sosok yang tengah dicari kedua tamunya tersebut.

"Maafkan saya. Saya hanyalah seorang anak dari keluarga miskin yang tak tahu menahu tentang keadaan luar," jelas Ningsih tak enak hati. Pasalnya, tamunya mengharapkan jawaban yang membantu. Namun sebaliknya, Ningsih tak tahu menahu soal Burhanuddin karena memanglah dia hanya mendengar namanya saja.

"Kalau begitu, bung Karno. Apa kamu tahu di mana rumahnya?" Fera bertanya.

Ningsih mengangguk. "Kami sering melewati rumahnya dulu."

"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar ibumu?" Wira mengalihkan topik. Sepertinya ia sangat ingin tahu soal itu.

Tatapan Ningsih berubah layu. Ia merasakan lidahnya kelu saat itu juga. Ditatapnya Wira dengan sendu. "Ibu berpulang seminggu yang lalu."

Wira dan Fera saling bertukar pandang. Sedikit merasa bersalah telah menanyakan hal itu. "Maafkan saya sudah menanyakan hal tersebut," ungkap Wira menyesal.

Ningsih menggeleng. Ini bukan salah pemuda itu. Melainkan memang sudah takdirnya sang ibu meninggal.

"Sudah larut. Besok kami harus segera menuju kediaman bung Karno. Bolehkah kami menginap di sini sampai terbit matahari?" Wira beranjak berdiri.

Ningsih mengangguk. "Silakan. Ini sudah larut dan tak baik jika kalian berdua terus-terusan berada di luar hingga pagi."

Fera menghela napas lega. Hilang sudah hawa dingin dan gigitan nyamuk dari bayangannya.

"Tapi kami hanya memiliki 2 kamar. Mbak Fera mau tidur dengan saya atau...." Ningsih melirik Wira ragu.

"Tentu saja Fera akan tidur bersamamu, Nona." Wira mencoba menghilangkan jauh-jauh pikiran Ningsih. Walau mereka mengaku bertunangan, tak sepantasnya mereka tidur bersama karena belum menikah.

Ningsih mengangguk. Ia segera menunjukkan di mana letak kamarnya. Rumah itu kecil. Jadi tak butuh waktu lama hingga mereka sudah berada di kamar masing-masing.

"Maaf agak berantakan, Mbak." Ningsih buru-buru merapikan tempat tidurnya.

Fera segera menggeleng. "Nggak pa-pa kok. Lagian yang penting nggak kedinginan aja."

Ningsih tersenyum. Ia sedikit tak mengerti cara bicara tamunya itu.

Fera segera membaringkan tubuhnya—menyusul Ningsih di sebelahnya. Mereka beradu punggung dan berusaha menutup mata agar bisa bangun segar esok harinya.

Fera teringat kalimat Wira sebelum gadis itu masuk ke kamar. "Segeralah tidur. Nanti kita harus berangkat sangat pagi agar tak terlambat saat proklamasi."

Fera mengingat-ingat kapan terakhir ia mengenang sejarah proklamasi. Sudah lama agaknya. Namun gadis itu tahu betul, ini kesempatan sekali seumur hidup baginya bisa melihat secara langsung saat Indonesia dinyatakan merdeka untuk pertama kalinya.

Lalu pikirannya jahil mengorek kejadian tadi. Saat Fera memotong kalimat Wira soal hubungan mereka. Kenapa bisa-bisanya gadis itu lancang mengaku sebagai tunangan Wira?

Wajah Fera memerah seketika. Ia merapatkan selimut ke tubuhnya. Udara memang terasa dingin. Tapi kenapa wajahnya terasa panas?

Lalu tanpa sadar gadis itu terlelap.

Sementara Wira, kepalanya dipenuhi banyak hal. Pertanyaan kenapa dirinya bisa sampai di tempat ini. Mengapa harus Fera yang menemaninya menjalankan misi entah berantah ini?

Dan kenapa gadis itu mengaku sebagai tunangannya di depan Ningsih?

Wira sebenarnya cukup lega karena ada teman senasib dengannya. Ia bahkan tak bisa menepis kenyataan bahwa dirinya senang Fera adalah kawan seperjalanannya di waktu yang berbeda ini.

Senyum Fera, juga ekspresi gadis itu yang beragam. Keberanian dan ketakutan gadis itu. Cara dia berbohong. Semua itu ... Wira tak habis pikir. Selama ini hampir setengah hidupnya dihabiskan dengan berlatih dan berlatih agar menjadi seorang pejuang tanpa memikirkan kisah kasih. Bahkan baginya, seorang perempuan adalah beban untuknya. Tapi melihat Fera dengan pribadinya yang kadang acuh kadang peduli, membuat Wira tersenyum lepas.

***
Bersambung
.
(1000 Kata)
.
(Selasa, 28 Juli 2020)

24 Jam |✓Where stories live. Discover now