MT. SINDORO #3

32 0 0
                                    

(part 3)

     Adzan subuh berkumandang, aku bersama kawan-kawan segera bangun dan menunaikan ibadah sholat subuh. Bima dan Ucup sholat di mushola, sedangkan Aku dan Resta di rumah Ucup. Pagi ini ibunya Ucup memasakan nasi liwet ditemani sayur yang enak banget. Kami sarapan di rumah Ucup. Jujur, kami merasa tidak enak hati karena sudah merepotkan, tapi mau bagaimana lagi, ini sudah kami rencanakan. Toh, semoga saja ini jadi amal baik dari Ucup sekeluarga. Aamiin.

     Kami otw Basecamp Sindoro pukul 05.30 WIB. Udara dingin menerpa tubuh kami. Sengaja kami tidak melewati jalanan Kota Magelang agar bisa menikmati indahnya alam perdesaan. Kami disuguhkan pemandangan Gunung Sindoro Sumbing yang begitu jelas. Aku berfikir, dari bawah saja sudah indah, lalu bagaimana jika dari puncaknya. Ah mungkin terlalu indah untuk diungkapkan dengan kata-kata.

      Kami bertemu Haqi dan Mala di Secang. Usai melewati jalanan dengan pemandangan yang luar biasa indahnya, akhirnya sampailah kami di basecamp pendakian Gunung Sindoro. Sesuai dengan protokol kesehatan, kami melewati penyemprotan disinfektan lalu memarkirkan motor. Mala dan Haqi kembali pergi mencari puskesmas untuk meminta surat keterangan sehat. Kami berempat duduk, ngobrol sana sini sembari menunggu. Kami bingung kenapa Haqi dan Mala lama sekali. Akhirnya aku telfon mereka,
“masih lama tidak? ini waktu keburu siang,"
“sebentar lagi kembali kok."kata Haqi

     Udara makin panas, mentari kian meninggi. Kami melakukan registrasi dan mengecekan barang sebelum memulai mendaki. Pendakian Sindoro memang terkenal lumayan ketat, jadi buat kalian yang ingin mendaki tapi asal-asal saja mendingan tidak usah sekalian. Jam tangan Bima menunjukan pukul 10.50 WIB dan kami harus mulai melangkah menuju sunrise camp.
“sebelum berangkat, berdoa dulu yuk.” Ajakku
“oke, berdoa menurut keyakinan masing-masing, mulai.” Pimpin Haqi
Kami lalu melangkah, pelan tapi pasti. Jalanan terus menanjak. Kakiku seolah terlalu kecil untuk mampu sampai ke puncak. Bagaimana tidak, tubuhku saja hanya berberat 35 kg dengan tinggi badan 149 cm. belum lama berjalan, Mala sudah beberapa kali berhenti. Mungkin dia pusing karena memang mentari di atas kepala kami. Belum sampai pos 1, kami berhenti untuk menunggui Mala makan bekal yang dia bawa.

     Perjalanan menuju post 1 memakan waktu 1,5 jam. Karena sudah memasuki waktu dzuhur, akhirnya kami sholat di post 1 dengan cara tayamum. 1 jam kami disitu, tidak terasa karena memang tubuh kami yang sudah lumayan lelah. Setelah post 1, kami mulai memasuki pintu rimba. Jalanan yang dahulu tertata rapi kini berubah menjadi tanah yang bercampur dengan batu kerikil. Semangat kami masih berkobar, ada mimpi yang harus diwujudkan dan ada hati yang harus ditaati.

     Dari post 1, Mala mulai kelelahan. Maklum, mungkin karena dia petama kali mendaki dan gunung yang ia daki saat ini termasuk memiliki trek yang menantang. Memberikan support telah kami lakukan. Tuhan memang selalu berpihak pada manusia yang sedang membutuhkan. . Kami memang banyak berhenti karena memikirkan jika ada yang sakit seperti ini. Tiba-tiba saja ada ojek yang lewat sebanyak 3 motor. Akhirnya Aku, Mala, dan Resta menerima tawaran tukang ojek itu, gratis pula. Alhamdulillah semoga tukang ojek itu dapet pahala dan ojeknya makin laris, aamiin. Belum lama kita duduk di pos ojek, kawan-kawan yang laki-laki sudah nampak, sungguh cepat sekali.

      Perjalanan kami teruskan. Didepan post ojek, aku terjatuh karena sepatu yang aku gunakan salah. Aku meminta Bima untuk berhenti karena sepatu gantiku ada di carier dia. Ia pun nurut dan menemaniku, sedangkan kawan yang lain berjalan duluan. Pelan-pelan kami berjalan dan sampailah di post 2. Disana kami menemukan warung dan istirahat sejenak untuk mengurai rasa lelah.
“gimana mal? Masih kuat?” tanyaku padanya
“Insyaallah, bismillah." jawabnya

      Sampai di tengah post 2 aku disuruh untuk berjalan duluan. Hingga aku, Resta, dan Ucup sudah naik. Tiba-tiba Bima mendekati kami bertiga dengan kondisinya yang sudah mengendong 2 tas carier sekaligus. Disini aku merasa kasian dengannya. Entah seperti ingin bilang “aku gak rela kamu kaya gini”. Tapi aku sadar, rasa egois yang aku punya akan memberatkan kawanku jika aku terus seperti itu. Cemburu? Ah kurasa tidak. Kalau boleh jujur, aku pernah suka sama dia, tapi itu dulu ketika kita masih sama-sama kecil. Ada yang beda dari sikap Bima ke Mala, entah karena Mala sakit, atau karena dia suka. Aku tidak tahu kenapa rasanya ingin jalan duluan supaya tidak bisa melihat aksi mereka yang menyakitkan. Aku menutupi semua itu agar semua baik-baik saja. Disini aku hanya ingin menangis, hanya tak sanggup saja.

     Post 3 sudah di depan mata. Kami duduk sambil menatap semesta. Aku dan Bima duduk berjejer. Kami berenam makan roti dengan susu coklat ditengahnya.
“aku gak tau kenapa mendaki menjadi candu, padahal melelahkan.” Kata Bima
Aku hanya diam karena aku juga tidak alasan ku kenapa kembali mendaki. Di samping dia, aku merasa nyaman. Menatapnya seakan menenangkan. Tapi kondisi itu berubah ketika wanita itu hadir. Lelah mulai mereda, kami sepakat melanjutkan perjalanan menuju sunrise camp. Lebih baik aku yang membawa carier Mala agar Bima tidak keberatan. Akhirnya, aku dan Mala bertukar carier.

     Bima dan Ucup berjalan duluan. Aku berjalan sendiri karena mood masih belum beraturan. Sampai di sunrise camp, aku membantu anak laki-laki mendirikan tenda. Mala dan Resta hanya duduk saja. Aku tidak masalah, karena mungkin mereka benar-benar lelah. Usai merapikan tenda kami memasak untuk makan malam. Kami memasak nasi, nugget, kubis goreng, dan sambal terasi. Beberapa diantara kami lupa membawa alat makan. Perut sudah sangat lapar, hingga untuk menunggu bergantian alat makan saja sudah tidak sabar. Aku dan Haqi makan bersama di depan tenda dengan sepiring berdua. Hanya sepiring bukan seperasaan, hehehe.

      Usai makan malam, kami ngobrol di depan tenda. Melihat malam yang begitu indah. Gemerlap bintang bersama bulan lengkap menemani canda tawa kami. Senyum indah terukir pada diri masing-masing. Aku berpesan pada malam untuk menyimpan saja rasa ini, jangan menjadi saksi akan sakit hati ini. Mengapa sakit? Karena aku mencintai orang yang ia tidak kembali mencintaiku. Aku yakin, suatu saat nanti semesta akan kirimkan dia yang lebih menghargai kelebihanku dan memperbaiki kekuranganku.

      Aku mengajak kawan-kawan untuk tidak tidur terlalu malam, karena besok pagi kami akan summit dan mendaki yang sebenarnya. Perjuangan kami baru setengah dan tidak akan menyerah. Allah hadir untuk membantu hambanya yang benar-benar bersungguh-sungguh. Aku yakin mereka sungguh ingin mencapai puncak. Aku juga percaya mereka mampu karena Allah.

     Rasa ngantuk kini datang. Aku mulai prepare untuk tidur. Memakai kaos kaki double, memakai kaos tangan, dan masuk kedalam sleeping bag hangat ku. Mungkin aku merasa ini itu bukan tidur, karena hanya memejamkan mata. Yang terpenting disini bukan tidur tapi istirahat. Suara berisik tenda sebelah membuatku ingin tertawa. Tapi aku malu untuk tertawa sendiri dimalam hari seperti ini. Jadi, aku memutuskan untuk diam dan menahan saja.

.
.
.
.
.
Jangan lupa dikasih bintang dan komentar. Terimaksih. Maaf, masih terdapat banyak kesalahan. Ditunggu ya "JEJAK LANGKAH 3"

JEJAK LANGKAHWhere stories live. Discover now