MT. SINDORO #4

34 0 3
                                    

(part 4)

      Pukul 2 dini hari, aku bergegas bangun. Meskipun dingin dan masih mengantuk tapi aku harus bisa memaksakan untuk bangun. Aku membangunkan kawan-kawanku. Tanpa babibu, aku membuka tenda dan memasak. Kami memutuskan untuk memasak mie instan yang kilat. Disini aneka mie isntan kami campur, mungkin dari segi rasa tidak karuan tapi asal kenyang tidak masalah bagiku. Rencana kami summit jam 3 pagi failed. Kami mulai berjalan pukul setengah 4. Ditemani senter yang hanya terbatas dan cahaya bulan yang tidak begitu terang, membuat sedikit sulit bagi kami mencari jalan.

     Jalan yang begitu terjal membuat kadang ingin menyerah. Disamping jalan yang terjal dan medan yang lumayan susah, Resta merasa tidak enak badan. Kami mengesampingkan mimpi kami sampai dipuncak waktu sunrise. Justru disini, rasa kesetiakawanan diuji. Kami terus menemani Resta. Kami melihat sunrise dari atas post 4. Begitu perfect untukku. Luar biasa.

     Aku menatap mentari terbit dari sudut cakrawala. Jingga merekah, membuatku terharu pagi itu. Seperti mimpi saja jika aku bisa menikmati hal yang indah seperti ini. Tangisan itu mulai hadir, entah karena aku cengeng atau karena semesta begitu sempurna menampakan keindahannya. Tak lama kami istirahat sambil menikmati sunrise, kami melanjutkan perjalananan.

     Kami mengira puncak sebentar lagi, mungkin hanya 20 meter diatas batu yang kami pijak. Karena hal itu, Ucup dan Bima berjalan kepuncak duluan, meninggalkan kami berempat. Kami berempat istirahat. Dan aku memutuskan untuk berjalan pelan, bukan untuk meninggalkan tapi untuk menghemat tenagaku. Namun, belum lama aku berjalan, Haqi menyusulku. Resta dan Mala belum tentu naik sampai puncak, akhirnya aku naik kepuncak sendiri untuk memberi kabar kepada Ucup dan Bima. Dengan bekal minum yang menipis aku berjalan santai. Aku bertemu dengan rombongan lain dan memutuskan untuk naik berbarengan. Sampai disini, ternyata puncak masih cukup jauh mungkin 30 menit lagi baru sampai. Aku nikmati perjalanan ini karena aku yakin, aku mampu. Setelah aku melihat Ucup dan Bima di puncak, aku minta untuk rombongan lain meninggalkan ku. Usai itu, Ucup menjemputku,
“aku kebawah dan menyusul mereka. Aku akan membawa mereka sampai kesini. Kamu naik temenin Bima dulu.” ujar Ucup usai aku menceritakan apa yang terjadi
“okey”
“kasih Bima minum, dia dehidrasi.” ujar Ucup sembari meninggalkanku

     Aku melanjutkan langkah keatas. Aku duduk disamping Bima di atas batu. Kami menatap semesta berdua. Rasanya aku ingin, moment seperti ini berakhir lebih lama lagi. Ingin sekali bersandar usai melakukan perjuangan ini. Bersandar dipundakmu, mengenggam erat tanganmu, dan saling cerita tentang pahit manis dimasa lalu. Aku sadar aku pengecut, berani mencintai tapi tidak berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.  Saat aku sedang menikmati suasana ini, Bima mengajakku turun. Aku menolak, aku belum sempat berswafoto. Akhirnya, kami berfoto dulu sambil menunggu Haqi yang sedang menuju puncak. Akhirnya, dengan rasa lelah ini aku bisa menikmati semesta dengan tenang. Ramai sih iya, cuman tidak seramai dikota.

       Aku, Haqi, dan Bima duduk di Puncak sambil bercerita penggalaman masing-masing. Resta, Ucup, dan Mala mulai terlihat. Kami menunggu supaya pendakian ini sempurna sampai puncak. Foto di puncak kami abadikan, lengkap berenam. Segenap perjuangan yang aku lakukan bersama kawan-kawan telah membuahkan hasil yang maksimal. Perjuangan yang tak terduga telah terealisasikan. Senyum kami mengembang melihat samudra di atas awan.

.
.
.
.
.
Jangan lupa dikasih bintang dan komentar. Terimaksih. Maaf, masih terdapat banyak kesalahan. Ditunggu ya "JEJAK LANGKAH 3"

JEJAK LANGKAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang