1.3

897 172 9
                                    

Jangan lupa vote and comment.










"Kalian gak papa SMP-nya beda?" tanya bubun kepada kedua anak kembarnya. Mereka bertiga sedang bersantai di coffee shop milik bubun sembari menunggu kakak Jasmin selesai les Piano. Si kembar tahun ini sudah SMP jadi mereka sudah boleh memilih sekolah impian mereka tidak seperti SD yang masih harus diatur bubun dan yayah.

Jaden memilih untuk sekolah di Labschool yang merupakan sekolah swasta bergengsi sedangkan Jeo memilih untuk di sekolah negeri. Mereka berdua sepakat untuk tidak satu sekolah karena tidak ingin pengalaman semasa SD terulang lagi. Mereka berdua sering dibandingkan dalam berbagai hal sehingga sama-sama merasa tidak adil dan takut jika hal itu membuat mereka saling cemburu dan akhirnya bertengkar.

"Gak papa kok bun, bubun gimana kalau jemput kitanya?"

"Ya tinggal jemput lah, deket juga. Kan kalian sekolahnya jaraknya gak kayak Jakarta-Surabaya."

"Bang, percaya gak bubun lulusan Leiden?" Maklum saja jika Jeo sedikit tengil. Sedari kecil teman bermainnya adalah Aena—anak Lucas dan dia juga lebih sering menghabiskan waktu di rumah Lucas.

"Enggak sih dek kalau denger cara bubun ngomong barusan."

"Iya sama, aku mah percayanya yayah doang yang lulusan Belgia karena kita kan di akte kelahiran lahir di sana."

"Coba deh ngomong lagi. Bubun kutuk jadi Malin kundang tau rasa kalian."

"Ih ambekan, kalau bubun suka ngambek gak disayang yayah loh."

"Siapa coba yang berani bilang yayah gak sayang bubun?" tanya yayah yang tiba-tiba saja datang dan duduk di sebelah bubun. Hari ini yayah mendapat libur dan sesuai janji mereka akan liburan bersama ke Bandung selama dua hari. Mereka akan berangkat setelah kakak Jasmin selesai les Piano.

"Abang tuh yah," lapor Jeo pada yayah.

"Berani banget ya kamu bang? Yayah tuh mana bisa sih gak sayang sama bubun?"

"Saatnya bilang apa dek?"-Jaden

"E to yuh ..... eyuuuuuh," ujar mereka berbarengan. Bubun hanya bisa tertawa melihat si kembar yang mengejek yayah.

"Bun, anak kamu nih," keluh yayah yang sudah tidak habis pikir dengan si kembar.

"Loh gak mau ngakuin? Jadi mereka anak aku doang? Okay, Bang, dek ayo kita cari yayah baru."

"Ayo bun." Ujar Jaden dan Jeo kompak yang membuat yayah semakin kesal.

"Yah, kata kak Aena sekolah adek itu basket putrinya bagus banget. Adek boleh ikutan gak?"

"Ngapain sih dek ikut gituan? Belajar aja udah biar bisa kayak abang." Jeo jelas saja sedih dengan respon yayah. Dia baru saja menemukan sesuatu yang sesuai dengan bidangnya dan ingin menekuni lebih dalam tapi yayah justru tidak menyetujuinya.

"Yah, anaknya kan itu mau coba nekunin hobi bolehin dong." Bubun jelas membela anaknya. Jeo sudah pernah bercerita ke bubun sebelumnya dan dia kelihatan sangat bersemangat. Jelas saja jika bubun tidak suka dengan respon yayah yang terlihat seperti mematahkan semangat Jeo.

"Aduh bun, nanti waktu belajar dia kesita banget, udahlah fokus ke pelajaran aja. Nanti kita cari tempat les yang bagus buat adek."

"Gak gitu yah, anak-anak kan beda. Mana bisa disamain. Minat dan bakat mereka beda dan masa iya kamu larang mereka kembangin kemampuan mereka sih?"

"Bun, persaingan sekarang tuh makin ketat. Aku gak mau sampe adek juga ketinggalan jauh."

Perdebatan yayah dan bubun jelas berdampak pada Jeo dan Jaden. Bukan pertama kalinya mereka berdua melihat yayah dan bubun berdebat. Penyebabnya juga selalu sama yakni Jeo. Terkadang Jaden juga kasihan melihat Jeo yang sepertinya selalu disepelekan oleh yayah.








*******














Kegiatan belajar di SMP sudah dimulai sejak dua minggu lalu tapi Jaden belum juga menemukan satu temanpun. Jaden memiliki kepribadian introvert ditambah hobi belajarnya membuat dia tidak bisa memulai pertemanan dengan baik sejak SD. Saat SD semua temannya adalah teman-teman Jeo yang mau tidak mau harus berteman dengan Jaden karena Jaden dan Jeo selalu bersama.

Kali ini tidak ada sosok Jeo yang bisa membantu Jaden. Jaden harus memulai pertemanan dengan kepercayaan dirinya sendiri. Sulit memang, tapi dia harus mencoba atau dia akan melewati masa SMP lebih buruk dibanding masa SD.

Sudah jam istirahat dan kebanyakan anak-anak di kelas Jaden sudah berkumpul sesuai dengan circle pertemanan mereka. Hanya Jaden yang duduk diam di bangkunya dan memperhatikan mereka. Jujur saya Jaden ingin seperti mereka. Bisa bercanda bersama teman-temannya tidak sendirian seperti Jaden.

Ingin rasanya mendekati mereka dan mengajak berkenalan tapi Jaden masih ragu. Rasanya malu dan takut untuk berkenalan dengan mereka. Jaden takut jika nantinya dia akan diabaikan oleh mereka. Beginilah resiko menjadi anak introvert.

"Jaden, kok kamu gak main sama yang lain?" Jaden sudah sangat senang rasanya saat ada anak laki-laki yang datang ke mejanya untuk menyapa.

"Enggak papa kok."

"Ayo main sama yang lain. Kamu selalu dikira sombong loh karena gak mau main sama yang lain."

Jaden mengernyit bingung. Sombong? Demi apapun Jaden tidak pernah merasa menyombongkan dirinya. Dia tidak pernah berpikir jika dirinya adalah yang terbaik sehingga tidak etis jika berteman dengan yang lain. Selama ini dia tidak bermain dan berkumpul bersama mereka karena rasa rendah dirinya bukan karena kesombongannya.

"Aku gak sombong kok."

"Tapi kamu suka sendirian gak mau gabung sama yang lain. Anak-anak bilang kamu takut temen kamu gak selevel sama kamu." Jaden ingin rasanya meluruskan semua kesalahapahaman itu tapi dia juga merasa malu dan takut sehingga dia memilih untuk diam untuk menanggapi semua tuduhan itu.

"Maaf ya."

"Oh iya, kamu udah ngerjain PR Matematika belom?"

"Sudah, aku kerjain semuanya di rumah."

"Aku boleh pinjem gak? Tadi malem di rumah mati lampu jadi aku gak sempet ngerjain."

Jaden ingin menolak permintaan itu tapi dia teringat saat SD dulu dia dijauhi teman-temannya karena dikenal sebagai anak yang pelit. Jaden tidak suka membagi jawaban PR ataupun memberikan contekan saat ujian sehingga teman-temannya banyak yang membenci Jaden. Mereka selalu bilang Jaden adalah anak yang pelit dan mau menang sendiri. Ya maklum saja dia selalu yang terbaik dalam semua mata pelajaran kecuali olahraga.

"Iya boleh." Pada akhirnya Jaden memberikan buku PR-nya pada anak laki-laki itu. Anak laki-laki itu jelas senang dan dengan cepat menyalin jawaban milik Jaden.

Itu adalah pertama kalinya Jaden memiliki teman di SMP karena anak itu sering menemani Jaden dengan imbalan jawaban tugas dan PR. Masa awal SMP Jaden tidak sebagus yang dia harapkan. Semua teman yang mendekatinya hanya ingin memanfaatkan Jaden.

Mereka hanya datang saat mereka butuh bantuan Jaden dalam mengerjakan tugas ataupun menyalin jawaban milik Jaden dan setelah itu Jaden akan dianggap seperti tidak ada. Jaden memang terlihat sebagai anak yang sempurna dan selalu menjadi kebanggan yayah dan para guru tapi siapa sangka jika Jaden juga lelah dengan kehidupannya. Semua kelebihan yang dia miliki membuat dia sulit bersosialisasi dan orang-orang datang hanya untuk memanfaatkannya.















Hallo, apa kabar? Maaf ya aku suka lama update tapi kemungkinan untuk satu minggu ini aku sedikit lebih senggang tapi ya tetep aja tanggungan cerita aku cukup banyak jadi aku harus nyicil dikit-dikit buat namatin salah satu dari mereka.

Btw aku adalah Jaden di masa SMP. Aku dulu introvert banget waktu SMP jadi aku gak punya banyak temen, aku juga suka berakhir seperti Jaden yang jadi bandar jawaban wkwkwk. Tapi ya sudahlah itu pengalamanku di masa lalu. Aku saat SMA udah mulai lebih terbuka sih ke pertemanan walau pada akhirnya aku harus selektif untuk melabeli teman yang bisa aku jadikan sahabat dekat.

Kalian ada yang mau disampein ke aku secara anonim atau mau cerita sesuatu mungkin? Cek link di bio aku ya, ada link secreto. Aku lagi pengen baca cerita dan keluhan kalian terhadap aku atau apapun. Curhat juga boleh.

Makasih yang udah baca cerita aku. Pokoknya kalian itu gak cuma readers tapi temen aku juga. Sayang kalian semua💚💚💚💚💚

Aatreya & Ezekiel || JJH (COMPLETED)Kde žijí příběhy. Začni objevovat