Part 7: The First Step

21 1 0
                                        

Satu langkah pertama memang akan selalu menjadi yang terberat. Tapi langkah kedua, ketiga dan seterusnya akan selalu mengikuti. Be Brave.

Kristine


5 tahun sudah.

Setelah officially lulus dari bangku SMA, tahun 2020 ini menjadi terasa sangat berat bagiku pribadi. 5 tahun yang lewat aku selalu mampu berdiri dengan dagu terangkat, bahu yang tegas. Yah jelas, aku adalah seorang yang selalu memegang juara kelas, bahkan juara umum. Kehidupan sekolah ku semenjak SD-SMP-SMA selalu dibarengi yang namanya beasiswa. Tentu saja beasiswa berprestasi.Berbangga diri, tentu saja. Dan ada rasa sombong sedikit.

Menjadi kepercayan guru-guru, panutan, selalu menjadi no.1 jelas membuat aku menjadi besar kepala. Dan menganggap semuanya sudah cukup dan akan selalu demikian.

Ternyata aku salah, perjalanan sebenarnya belum dimulai saat itu. Perjalanan dan pertarungan sesungguhnya ternyata dimulai, tepat saat aku dinyatakan lulus.

Planning ke depan nya tentu saja, melanjut ke bangku kuliah. Sayangnya, ujian SNMPTN 2015 gagal aku dapatkan, aku tidak lolos. Tidak menyerah disitu, aku apply kuliah melalui jalur sekolah dengan jurusan D-3 Teknik Kimia, dengan mengandalkan nilai Raport, dan Yes aku lolos. Tidak berhenti disitu, aku mencoba SBMPTN kembali, masih ditahun yang sama, dan aku lolos pilihan ke-3, di UNILA (Universitas Lampung) jurusan Teknik Pertanian.

2 kemenangan 1 kali kegagalan di tahun 2015 aku dapatkan.

Senang? Sejujurnya tidak.

Walaupun lolos, aku tetap merasa "gagal". This is not what I want! Bukan lolos ini yang aku

mau, aku mau yang lain.

Sampai akhirnya, dengan segala pertimbangan aku melepaskan keduanya. Jujur saja saat ini, aku menyesal. Tetapi dengan menyesal jelas- jelas tidak akan membuat semuanya berubah,jelas tidak.

Di Januari 2016, aku memutuskan untuk berangkat ke luar Pulau. Disinilah, diriku yang lama ditempah menjadi seseorang yang baru. Jujur saja, sebenarnya alasanku pergi adalah melarikan diri dari kegagalan, dari rasa kecewa.

Tempat baru, orang baru, suasana baru, keadaan baru, jelas membuatku secara pribadi kaget. Di sini, totally berbeda dengan apa yang aku punya di asalku. Di sini aku bukan siapa- siapa, bukan apa-apa. Mau tidak mau aku harus menanggalkan gelar juara yang selama ini tersemat di dada.

Aku, ternyata tidak sehebat apa yang aku punya di sana. Istilahnya aku hanya hebat di kandanga sendiri.

Aku yang hebat disana, tidak berarti apa-apa di sini. Semuanya berbeda.

Aku menyadari sesuatu, segala gelar yang aku sandang, jelas tak mampu menjamin keadaanku di sini. Aku benar- benar kehilangan semua kebanggan yang aku punya terdahulu. Sakit, tapi sakit jenis ini jelas- jelas karena ego. Aku merasa harusnya aku tidak kesini, ketika disana aku bisa berbangga diri dengan apa yang sudah aku punya, aku raih.

Perjuanganku untuk meraih gelar juara dulu, jelas tidak bisa dianggap remeh. Aku berjuang sebisaku, berjuang tetap berada di kandidat penerima beasiswa di setiap jenjang sekolah, SD-SMP-SMA. Namaku selalu ada di sana, di list penerima beasiswa. Jelas, itu semua hasil perjuangan.

Tapi di sini, juangku yang aku pertarungkan di sana jelas belum cukup. Menjadi kebanggan di sana tak lantas menjadikanku kebanggan di sini. Aku jelas- jelas memulai semua dari nol.

Di tahun 2016, tahun pertama aku menginjakkan kaki di sini. Bekerja se-adanya, sudah cukup membuatku berbangga diri, karena sudah punya penghasilan sendiri, walaupun bukan seberapa. Hal ini jelas menunjukkan, betapa masih sempitnya cara berpikirku.

Betapa rendahnya kualitas otak yang selama ini selalu aku bangga-banggakan.

Waktu ke waktu, menunjukkan segalanya padaku. Dunia ini ternyata terlalu luas,hanya saja aku yang masih tidak membuka diri untuk explore.

Di tahun 2017, akhirnya aku mulai mendaftar kuliah lagi. Tentu saja kali ini, di swasta. Dan jelas saja, dinyatakan lolos.

Aku mendapatkan ruang baru disini, mendapatkan pola pikir baru. Mengambil jurusan yang jelas- jelas adalah pelajaran paling aku tidak bisa dan akhirnya paling aku gak suka dulu, jelas- jelas membuatku kelimpungan.

Memegang komputer di masa sekolah, rasanya bisa dihitung jari. Dan selama ini kami hanya dibekali dengan kemampuan teori tanpa praktek. Di sinilah letak kesalahan terbesar yang aku dapatkan dari metode ajar di sekolah selama ini.

Dibandingkan, teman- teman yang bersekolah di sini jelas saja, aku tidak bisa disaingkan, aku jelas kalah. Rasa rendah diri merayap pelan- pelan ke dalam hatiku. Bersarang di sana. Sampai- sampai kalimat "aku tidak bisa" selalu menjadi kalimat yang utama muncul di otakku.

Insecure.

Ditambah lagi, kegagalan- kegagalan yang datang kian berurut saat mencari kerja. Jujur saja, aku mencapai titik terendah dalam diriku. Saat-saat yang sangat berat, dan rasanya aku tidak siap dengan ini semua.

Dan seolah iblis senang dengan keadaan ini, hatikku rusak dan diganti dengan kepercayaan "Tuhan itu tidak baik. Dia jelas- jelas tidak ada, dan tidak peduli."

Perasaan itulah yang selalu menggerogoti, rasa percaya diri dan gelar yang dulu masih ada dalam diriku, sampai tidak tersisa.

Aku menyerah dengan keadaan dan selalu berdiam diri di zona nyamanku, di zona kalimat "aku tidak bisa". Sampai bertahun- tahun aku diam disana, bahkan di saat aku menulis ini masih terbersit sedikit rasa itu di sana. Belum pulih sepenuhnya.

Di tahun 2018 aku mulai bekerja di sebuah toko. Puji Tuhan selalu dipertemukan dengan BOS yang luarbiasa hebat. Merantau membuat ada jarak antara aku dan orangtuaku. Tapi dengan kehadiran BOS ku ini, aku merasa punya ibu di sini, di tanah perantauan ini.

I RESPECT TO YOU, from bottom of my heart. May God always bless you, now, tomorrow and ever.

Di sini aku belajar banyak hal, tentu saja positif. Walaupun soal salary, tidak seberapa, tapi setidaknya aku belajar untul selalu berpikir positif, selalu bersyukur dan berpikir untuk maju.

Dulu, aku selalu berdiam di zona "tidak bisaku". Berpasrah dan merasa ah sudahlah.

Tetapi di suatu saat aku sadar, aku tidak bisa seperti ini terus.

Dengan menanggung segala resiko yang mungkin akan aku alami, aku mulai melangkah. Dan langkah pertama jelas- jelas sangat susah. Aku mulai mengajari diri sendiri dan mulai mensuply kata "aku bisa" di kepalaku.

Ternyata semua itu tidak mudah.

Jangan kira aku gagal sekali dua kali dalam mencari pekerjaan. Melamar sana sini, tapi tetap saja masih saja tidak diterima. Dan aku harus katakan, kegagalan itu jelas- jelas sangat menyakitkan.

Sejujurnya keadaan lah yang mau tidak mau memaksaku untuk tetap menemukan langkah pertamaku. Aku jelas orang yang sudah muak dengan yang namanya belajar. Aku benci belajar, sungguh.

Aku membencinya setengah mati.

Tapi keadaan justru selalu memaksa diriku sebaliknya. Aku yang tidak memiliki skill computer sama sekali, mulai belajar otodidak melalui internet. Jelas saja, aku harus memaksa diriku menyukai apa yang sebenarnya aku benci. Yah walaupun sekarang ini kemampuanku masih di bawah standart,tapi setidaknya aku berhasil mengambil "langkah pertama" yang aku cari- cari.

Langkah pertama ku adalah ini, berhasil menyuply diri dari kata "aku tidak bisa" menjadi "aku bisa" dan mulai menyukai kata Komputer yang dulunya sangat tidak aku sukai.

Lalu apa langkap pertama kalian? Bisa kah kalian berbagi denganku? Mari kita berbagi langkah- langkah pertama yang kita perjuangkan di hidup kita masing- masing.

INSECUREDonde viven las historias. Descúbrelo ahora