part 10 : Identitas

11 0 0
                                        


Aku pernah menolak keras, identitasku sebagai darah batak. Aku membenci segala sesuatu yang mengalir dalam darahku

Kristine

Horas, salam kenal untuk kalian yang sedang membaca ini sekarang. Perkenalkan nama lengkap ku Nova Kristina Ambarita. Yah Ambarita. Satu identitas yang sudah disematkan bagi diriku sejak aku dilahirkan di dunia ini. Satu marga darah batak yang sudah mendarah daging sebagai identitas ku.

Aku sengaja menulis ini sebagai sarana menyampaikan apa yang pernah aku rasakan dan sebagai referensi juga tentunya untuk kalian yang pernah merasakan hal yang sama.

Tahun ini aku akan genap berumur 22 tahun. Yap, umur yang bisa dibilang masa transisi dari masa main-main dan mulai fokus dengan tujuan hidup masa depan. Tapi lupakan itu, bukan itu yang mau aku sampaikan di tulisan kali ini.

Aku mau jujur, jauh sebelum aku menulis ini adalah masa- masa yang bisa aku bilang cukup berat. Berat secara pribadi. Pernah gak sih? Kamu menolak identitas dirimu sendiri saat kamu dilahirkan? Sama halnya dengan apa yang aku alami, aku pernah berasa di masa dimana aku menolak darah batak yang mengalir dalam darah ku ini. Menolak Ambarita yang tersemat di belakang namaku.

Bukan perkara mudah sampai aku memutuskan berdiri di posisi sekarang ini, menerima dengan lapang dada dan berdamai dengan apa yang mereka sebut identitas.

Sejak aku berumur 18 tahun aku sudah meninggalkan tempat asal ku dilahirkan dan tingal jauh dari kedua orangtua. Kurang lebih sih yah, mereka yang terlahir di tanah batak sudah biasa dengan hal- hal semacam ini.

Ada pepatah yang pernah aku dengar mengatakan seperti ini "orang batak itu layaknya cicak, di setiap ruma ada". Tidak peduli itu rumah megah, rumah yang besar, rumah kecil, pasti setidaknya kalian akan menemukan 1 ekor cicak kan.

Siapa di sini anak perantauan? Boleh kalian komen di kolom komentar dan tuliskan tempat perantuan kalian.

Back to topic.

Memang dari dulu sih aku memiliki cita- cita yang sangat jauh berbeda dengan saudara- saudara ku. Ketika mereka pengennya nikah sama orang sesama batak aku justru sebaliknya. Aku bercita- cita menikah dengan nonbatak, semenjak dari dulu. Aku malah pengen berjodoh degan pria yang non batak.

Hal ini sudah tertanam dari dulu dalam diriku dan tetap kokoh di sana sampai aku menginjakkan kaki di tanah orang ini. Jujur saja, semenjak 2016 aku berada di sini, jauh dari kampung halaman belum pernah sekalipun aku dekat dengan pria batak. Bahkan bisa dibilang aku menghindari dekat dengan pria batak.

Dan aku jarang menyematkan marga Ambarita ketika kenalan dengan orang lain. Intinya bagaimana caranya supaya orang gatau kalau aku ini orang batak. Bukan hanya itu, secara tidak langsung gaya bicara, logat ku pun terpengaruh. Aku dengan sengaja belajar mengubah logat berbicara dan mengikuti gaya orang- orang disini. Tidak jarang orang mengira aku ini orang jawa karena logat Bahasa dan sebagainya. Dan aku justru jauh lebih bahagia ketika orang mengatakan aku mirip orang jawa daripada orang tahu aku berdarah batak.

Aku membenci segala sesuatu yang berhubungan dengan "batak" itu sendiri. Ketika di tempat kerja aku dengar orang berbicara dengan Bahasa batak maka aku bertingkah seolah- olah aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Beracting layaknya aku ini juga bukan orang batak.

Terkesan jahat banget yah, but it was me.

Berbicara tentang asmara,

Oke jujur saja, semenjak 2016 (tahun pertama aku menginjakkan kaki di sini) aku tidak pernah dekat dengan pria batak dan tidak pernah mau.

INSECUREWhere stories live. Discover now