Di saat-saat seperti ini aku sungguh ingin memercayai apapun ucapan Gio, seperti yang aku lakukan selama ini. Kemarahan karena dia yang menghilang seharian mereda ketika melihat dia yang terluka. Tetapi ketakutan dan kekhawatiranku tentang terjadi sesuatu antara dia dan Nadine malah semakin menjadi. Bukannya aku lebih berpihak pada Arvin, tetapi menurutku tidak mungkin Arvin memukul tanpa sebab. Apa mungkin Arvin mengetahui sesuatu yang aku sendiri tidak ketahui?
"Kamu lama banget buat minumnya," suara Gio dari belakang tubuhku langsung membuyarkanku dari lamunanku. Aku buru-buru berbalik dan memasang senyum terbaikku padanya.
"Ini udah selesai," kataku sambil menyodorkan gelas berisi teh melati kesukaannya.
Gio menggeleng dan mengambil gelas dari tanganku. Dia meletakkannya di atas kitchen island. Gio kemudian memerangkapku dengan kedua tangannya hingga aku terpojok karena di belakangku adalah meja.
"Gio...kamu mau ngapain?" tanyaku grogi karena sekarang Gio memosisikan wajahnya sangat dekat dengan wajahku.
"Aku sayang banget sama kamu, Flo," bisiknya dan membuat wajahku memerah.
Aku mengangguk pelan dan Gio semakin mendekatkan wajahnya. Dia kemudian mencium bibirku lembut dan terasa sangat berhati-hati. Jika biasanya ciuman kami hanya terasa sebagai ciuman kasual, maka ciuman ini terasa seperti Gio ingin menyampaikan sesuatu kepadaku. Tetapi, apapun arti dari ciuman ini, aku sangat menyukainya.
Aku membalas ciuman Gio sama perlahannya dengan yang dia lakukan. Tak lama kemudian, ciuman Gio berubah menjadi sedikit lebih menggebu. Aku merangkulkan tanganku ke lehernya dan baru akan meresponnya ketika Gio meringis. Oh tidak. Aku dan Gio sepertinya sama-sama lupa kalau Gio memiliki luka di sudut bibirnya. Aku buru-buru melepaskan ciumanku dan memeriksa lukanya. Tidak ada darah tetapi melihat Gio meringis ketika kusentuh pelan, aku tahu bahwa luka itu masih terasa perih. Aku tertawa geli.
"Kamu sih main nyosor aja. Gak ingat kondisi bibir," cibirku.
Gio mendecak kesal. "Berdarah enggak?" tanyanya.
"Enggak sih, tapi ini robek sedikit. Arvin mukul kamu kenceng banget ya semalam?"
"Enggak tahu, ah. Jangan ngomongin dia di sini deh, Flo. Mending kamu temenin aku aja. Aku mau lanjut tidur lagi."
Gio menarik salah satu tanganku dan tangan satunya membawa teh yang tadi aku sudah buatkan. Dia kemudian meletakkan teh itu di nakas samping tempat tidur.
"Aku mau mandi dulu, deh. Kamu mau join?" tanyanya menaik-turunkan alisnya, usil. Aku melemparkan bantal ke arahnya dan Gio malah terbahak. Dia langsung masuk ke kamar mandi. Selama Gio melaksanakan ritual mandinya, aku memutuskan untuk mengganti sprei tempat tidur Gio yang berantakan.
Aku membuka lemari Gio untuk mencari sprei dan bedcover yang bersih. Sebenarnya aku merasa sedikit tidak sopan karena aku belum pernah membuka lemari pakaian Gio, meskipun sudah sering berada di sini. Kalaupun menginap, biasanya aku memilih membiarkan perlengkapanku tetap di dalam tas selama bukan Gio yang menawarkan kepadaku untuk meletakkannya di lemarinya.
"Flo...ambilin baju aku dong," teriakan Gio dari dalam kamar mandi membuatku menghentikan kegiatan mengambil sprei dan segera membuka lemari bagian pakaian Gio. Aku memilih-milih baju kaos mana yang akan digunakan oleh Gio dan kemudian aku menemukan kejanggalan dari tumpukan baju ini. Kenapa ada kaos perempuan di sini? Aku menarik kaos itu dan mengamatinya. Tidak, aku tidak memiliki kaos seperti ini. Napasku memburu cepat. Apa yang akan menjadi penjelasan Gio untuk ini? Gio tidak memiliki saudara perempuan. Dan ini bukan tipe kaos yang akan dikenakan oleh ibu-ibu.
"Flo, bajunya mana?" Aku tersentak dan menoleh ke arah Gio yang sudah keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk. Dia mungkin sudah menungguku terlalu lama.
"Flo...kamu....," aku menatapnya dan mengarahkan baju yang aku pegang ke hadapannya.
"Mungkin kamu mau jelasin sesuatu dengan baju ini, Gio," ucapku sambil berusaha keras menahan air mata yang daritadi sudah mendesak ingin turun. Aku sudah mengenal Gio hampir setahun tetapi entah kenapa hari ini aku merasa tidak mengetahui apapun tentang kehidupannya.
"Ini baju Nadine," jawabnya pelan dan rasanya ada yang memaksa jantungku untuk berhenti berdetak.
"Flo..kamu jangan salah paham dulu..Ini.."
"Kamu sama Nadine memang benar-benar sahabat kan, Gio? Atau enggak? Atau ternyata aku malah orang ketiga di antara kalian?" desakku. Air mataku sudah berhasil turun dan otakku sibuk merangkai-rangkai antara kejadian hilangnya Gio setelah mengantar Nadine, Arvin memukul Gio, dan baju Nadine di lemari Gio. Ya Tuhan, ini terasa sangat menyesakkan.
Karena Gio tidak kunjung menjawab, aku memutuskan untuk meletakkan kaos yang aku temukan di atas tempat tidur.
"Tadi aku lepas sprei kamu karena udah kotor, kamu tinggal pasang aja. Habis ini kamu istirahat ya. Aku balik dulu," kataku sambil berlalu dari hadapan Gio.
"Flo," tangan Gio menahan tanganku cepat. "Nadine pernah nginap di sini beberapa kali kalau dia sendirian di rumah. Tapi itu dulu banget, sebelum kita kenal. Aku belum sempat-sempat balikin ini ke Nadine."
Ya ampun, Gio. Ucapan kamu malah buat hati aku makin terasa sakit. Mengatahui ada perempuan lain yang pernah diajak menginap di sini olehnya dan meninggalkan barang-barangnya di sini, meskipun itu sudah beberapa waktu yang lalu, tetap saja membuat hatiku sakit. Lagipula bagaimana mungkin tidak sempat mengembalikan padahal mereka beberapa kali bertemu sejak aku dan Gio saling mengenal.
"Aku balik dulu, ya" kataku sambil melepaskan genggaman tangan Gio. Gio baru akan bergerak mendekatiku ketika aku menggeleng, berusaha memberi kode kalau aku benar-benar ingin menjauh sejenak darinya. Untungnya Gio mengerti meskipun raut wajahnya masih terlihat protes.
Dengan perasaan yang sangat berat, aku melangkah dari hadapan Gio. Tepat di pintu kamar, aku berbalik lagi.
"Gio...mungkin kita gak usah ketemu dulu beberapa hari ini. Kamu bisa pake waktunya untuk mikir apa kamu sama Nadine benar-benar hanya sahabat atau ada perasaan lain di antara kalian. Sehingga nanti kalau kita ketemu lagi, kamu gak perlu diam dulu karena bingung jawab pertanyaan aku."

ESTÁS LEYENDO
Begin Again [COMPLETED]
RomanceMaybe sometimes love needs a second chance because it wasn't ready the first time around