Epilogue

14.6K 530 31
                                    

Gio

Setelah semua ke-hectic-an persiapan pernikahan dan pertengkaran-pertengkaran kecil dengan Flora selama persiapan itu, akhirnya hari ini tiba juga. Aku tidak bisa menggambarkan perasaanku sekarang. Ada euphoria, grogi, takut, dan berbagai perasaan campur aduk lainnya di benakku. Aku melirik mama dan papa yang duduk di kursi tak jauh dari tempatku berdiri. Papa hanya tersenyum meyakinkanku dan mama sudah sibuk menghapus air matanya dengan tissue. Sejenak, aku ingin tertawa karena mama bersikap seolah-olah akan melepasku ke medan perang. Padahal kenyataannya dia sudah berhasil membujuk Flora agar mau tinggal di rumah setelah menikah karena aku sendiri bersikeras untuk tinggal di rumah yang berbeda. Flora tentu tidak akan mampu menolak permintaan mama karena mama menggunakan kata-kata selalu merasa kesepian karena sejak kuliah aku sudah tinggal sendiri. Tetapi, tidak apa-apa karena nanti pelan-pelan aku akan mengajak Flora untuk pindah rumah. Bukan karena aku tidak menyayangi orangtuaku tetapi lebih kepada aku ingin bisa benar-benar mandiri membina keluarga baruku dan juga agar Flora bisa lebih leluasa. Aku tahu mama dan Flora saling menyayangi satu sama lain tetapi tetap saja aku tahu Flora kelak akan membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri dan bisa bebas bersantai tanpa harus merasa tidak enakan pada mama dan papa.

Ketika MC mengumumkan bahwa pengantin wanita akan memasuki ruangan, rasa gugupku semakin menjadi hingga keningku berkeringat. Kegugupan itu baru perlahan-lahan mereda ketika Flora sudah berada di sampingku dan tangannya berada dalam genggamanku.

"Thank you for not running away," bisikku padanya dan Flora tertawa.

"Kalau aku ternyata kabur gimana?" balasnya bercanda dengan suara tak kalah pelan

"Aku pasti bakalan nyari kamu sampai dapat dan seret kamu ke pelaminan lagi dan lagi meskipun kamu kabur. Kamu udah aku kontrak seumur hidup, ingat?"

Flora tertawa sambil menganggukkan kepalanya. Deheman dari papa akhirnya mengembalikan fokusku dan Flora. Dan tidak sampai satu jam kemudian, aku berhasil menjadikan Flora sebagai istriku.

Flora

Aku dan Gio memutuskan membuat resepsi sederhana untuk pernikahan kami. Konsepnya modern dan juga dirancang untuk acara santai. Kami juga tidak mengundang terlalu banyak orang hanya keluarga dan beberapa teman-teman terdekat kami dan juga teman terdekat orangtua kami. Acara seperti ini membuat suasana terasa lebih hangat dan intim karena tidak terlalu menguras tenaga dan juga bisa mengobrol sambil menikmati makanan dengan santai. Gio yang dari tadi duduk di sebelahku tiba-tiba berdiri dan mendentingkan sendok pada gelas wine-nya dan meminta perhatian dari tamu-tamu yang hadir.

"Aku mau nyampein wedding speech aku spesial buat kamu," katanya pelan.

Aku menatapnya tidak percaya. Pasalnya, sebelum ini Gio selalu menolak ketiak WO mengusulkan ini. Menurut Gio, cukup orangtua dan teman-teman kami saja yang menyampaikannya kepada kami. Dan ya, ternyata dia membohongiku. Sama seperti yang lainnya, aku juga memusatkan perhatianku padanya.

Gio memulainya dengan mengucapkan terimakasih kepada orangtuanya dan juga orangtuaku dan membuat hatiku menghangat. Aku bersyukur karena aku dipertemukan dengan laki-laki yang sangat menghargai orangtuanya dan juga orangtuaku. Aku masih memandanginya kagum ketika akhirnya wedding speech-nya diarahkan kepadaku.

"Everyone, doesn't she looks stunning today? I do not really need to go on about how beautiful Flora looks tonight, though to be honest, I think she looks beautiful any day and any time. But beauty is only skin deep anyway. What counts is what you find on the inside." Gio memandangku tepat di mata dan tentu saja tatapannya masih berhasil membuatku tersipu.

"And the more I got to know you, babe, the more I fell in love with you. Now that I have you, I will kiss you every day and tell you that I love you because I never want you to forget that. I cannot believe how lucky I am to now able to call you my wife. And I can't wait to spend the rest of my life with you. Thank you for still choosing me after all of my mistakes and thank you for giving me this special opportunity to prove that no matter how hard the past, we can always begin again. I love you."

Gio mengedipkan sebelah matanya dan menarikku untuk berdiri bersamanya. Dia mengangkat gelas wine dan mengajak semua orang yang hadir untuk melakukan wedding toast.

"To my wife, my bride, and joy," serunya dan kemudian Gio menciumku. Hari ini aku telah resmi menjadi istri dari seorang Gio.

Nadine

Aku tersenyum melihat cuplikan video pernikahan Gio dan Flora yang dikirimkan Axel yang menjadi satu-satunya best man Gio. Aku tidak cemburu tetapi tidak juga berbohong bahwa ada sedikit kesedihakan di hatiku. Aku tahu ini hanya masalah waktu dimana aku akan bisa melupakan Gio sepenuhnya. Aku sendiri tidak bisa hadir karena kesehatan papa memburuk. Sudah seminggu ini aku di Malang karena papa harus rawat inap di rumah sakit.

"Kamu gak apa-apa gak bisa hadir di pernikahan Gio?"

Aku menolehkan kepalaku melihat papa yang ternyata sudah bangun. Mungkin karena volume suara ponselku membuat papa terbangun. Aku memang duduk di kursi di sebelah tempat tidur papa.

"Eh, Pa. Aku ganggu ya?" tanyaku.

Papa menggeleng lemah. "Papa sebenarnya udah bisa ditinggal kok. Kamu jangan terlalu khawatir sama papa. Sampai-sampai gak hadir di pernikahan sahabat kamu."

"Gak apa-apalah, Pa. Aku udah ucapin selamat kok tadi dan mereka juga maklum." Mana mungkin aku tega membiarkan papa sendirian dalam keadaan terbaring di rumah sakit. Hanya papa satu-satunya yang aku miliki saat ini. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku bersama papa.

"Kamu kapan menyusul?" tanya papa dan aku mengerucutkan bibirku.

"Mulai deh papa kayak orangtua rese. Gak usah ditanya-tanya gitu dong, Pa. Kan aku jadi kepikiran terus padahal aku kan pengen ngabisin waktu sama papa aja."

"Tapi kan Papa juga pengen punya mantu dan punya cucu."

"Papa sembuh dulu deh. Nanti aku langsung cari dan bawa ke depan papa. Kalau papa bilang oke, aku mau nikah hari itu juga gak apa-apa," kataku setengah bercanda.

Papa tertawa. "Jangan buat janji yang kayaknya susah ditepatin dong sama papa."

"Ck...bakalan ditepatin yang penting papa sembuh dulu. Oke?"

Papa mengangguk. "Makasih udah mau repot-repot urus papa ya, Nad."

"Gak repot, papaa...Itu kan udah kewajiban aku. Dulu papa juga repot dan banting tulang buat ngegedein aku."

Papa tidak menjawabku lagi dan kemudian mengalihkan pembicaraan kami ke hal-hal lainnya. Aku dan papa tidak pernah membawa mama ke dalam percakapan kami lagi karena kami tahu itu hanya menambah luka di hati kami. Bahkan sebenarnya, kami tidak tahu di mana mama sekarang.

Setelah papa tertidur, aku pergi ke kafetaria rumah sakit untuk membeli kopi. Di luar yang sedang hujan membuat perasaanku terasa lebih sendu dan kembali memikirkan permintaan papa tentang menantu. Aku sendiri tidak tahu apakah aku akan bisa jatuh cinta lagi dan kapan siap untuk memulai hubungan kembali. Hubungan dengan Arvin dan Gio pada dasarnya cukup meninggalkan trauma padaku. Axel bilang bahwa yang perlu aku lakukan di masa sekarang ini adalah belajar untuk mencintai diriku sendiri terlebih dahulu dan nanti pada waktunya aku akan bisa jatuh cinta lagi pada orang lain dan memulai hubungan yang sehat. Dan, Ya. Itu yang akan aku lakukan. 

Yes.. Akhirnya sudah sampai epilog. Terimakasih teman-teman sudah membaca. Aku terharu banget akhir-akhir ini banyak yg like dan juga ninggalin komen. Thankyouuu...

Setelah ini aku mau revisi dikit-dikit seluruhnya dan rencananya mau buat ekstra part di kedua cerita yang udh completed. Tungguin yaa guys. Dan akan ada beberapa cerita baru menanti yang sbnrnya udah ketebak itu cerita siapa aja.

Once again, thankyou for reading 😊

Begin Again [COMPLETED] Where stories live. Discover now