Aku menatap taksi yang ditumpangi Gio dalam diam. Air mataku dengan murahannya sudah menetes. Aku masih kebingungan apa yang terjadi dan Gio meninggalkanku sendiri di sini. Nadine. Lagi-lagi ada nama itu. Kali ini apalagi yang terjadi pada Nadine sehingga perhatian Gio teralihkan total kepadanya. Bahkan dengan mudahnya Gio meninggalkanku sendirian dan tanpa penjelasan seperti ini. Aku tahu bahwa Gio adalah sahabatnya. Tetapi kan ada Axel juga? Kenapa bukan Axel yang ditelepon oleh Nadine. Apakah memang se-urgent dan hanya Gio yang bisa menyelesaikan masalah yang dialami Nadine. Nadine tahu kan kalau Gio sudah punya aku? Aku tidak pernah mengusik hubungan siapapu, tetapi kenapa rasanya hubunganku dengan Gio harus terusik seperti ini?
"Bu..ini jadi mau berangkat?"
Aku mengusap air mataku dan menoleh kepada supir taksi yang ternyata sedari tadi menungguku. Aku menatap koperku dan kemudian sebuah ide terlintas.
"Maaf, pak. Saya gak jadi. Maaf ya," kataku tetapi kemudian mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetku. Aku tidak ingin mematahkan harapan supir taksi yang sudah menungguku dari tadi. Cukup Gio yang melakukannya padaku.
Aku berjalan dengan lemas ke pintu masuk. Biarlah liburan ini tetap kulanjutkan. Meskipun hanya sendiri, tidak masalah. Gio pasti akan sibuk dengan urusannya bersama Nadine dan dia akan kembali tidak menghubungiku seperti yang sudah-sudah. Setidaknya pantai di Lombok akan bisa membuatku tenang. Setidaknya di Lombok tidak akan ada keluargaku yang bertanya kenapa liburanku gagal. Setidaknya di Lombok aku akan berlatih mandiri selama beberapa hari tanpa Gio. Anggap saja, anggap saja itu latihan ketika nanti hubunganku akan berakhir. Karena feelingku mengatakan bahwa akulah yang akan mengalah di antara kami bertiga.
Sesampainya aku di ruang boarding, syukurnya panggilan untuk masuk pesawat sudah terdengar. Aku masuk dan kemudian tertawa miris melihat kursi di sebelahku yang pasti akan kosong. Kepalaku terasa panas karena dipenuhi kecemburuan, kemarahan, dan kesedihan di saat yang sama. Setelah memasangkan sabuk pengaman, aku duduk dan menoleh ke luar jendela. Aku mengabaikan semua kesibukan orang di sekitarku dan tanpa bisa kutahan air mataku kembali menetes. Kesimpulan yang bisa kutangkap pada akhirnya adalah perasaan Gio belum berubah sejak dulu. Dia masih mencintai Nadine, sama seperti dulu. Pernyataan cintanya beberapa hari yang lalu adalah bohong. Kalau dia mencintaiku pasti dia tidak akan meninggalkanku seperti ini, minimal dia akan mengantarku ke rumah terlebih dahulu dan memberikan penjelasan. Shit, kenapa dia bisa setega ini padaku?
Berkali-kali aku mengusap air mataku yang terus turun. Hatiku benar-benar sakit dan sekarang kepalaku juga ikut sakit. Tiba-tiba sebuah tangan terulur sambil menyodorkan sapu tangan kepadaku. Aku menoleh ke samping dan melihat seorang laki-laki duduk di kursi yang seharusnya ditempati Gio. Dia tersenyum dan mengangkat sapu tangan yang tadi sodorkan kepadaku. Wajahnya terlihat sangat familiar.
"Sapu tangannya bersih kok, Flo. Baru saya ambil tadi dari lemari."
Bagaimana bisa dia tahu namaku?
"Kamu lupa? Aku Randy." katanya sambil mengusap air mata di pipiku dengan sapu tangannya. Sontak, aku memundurkan wajahku. Dia sedikit terlalu lancang dan lagi aku masih belum bisa mengingat siapa dia.
"Mawar putih, ingat?" katanya lagi dengan ringan dan tidak tersinggung dengan perlakuanku barusan. Oke, sekarang aku mengingatnya. Dia Randy yang muncul ketika aku bertengkar dengan Gio.
Aku mengangguk. "Syukurlah, kamu ingat," katanya terlihat lega. "Ini pakai," katanya sambil sekali lagi menyodorkan sapu tangannya. Orang ini sepertinya keras kepala.
"Aku bawa tissue. Thankyou" jawabku menolak dan segera mengeluarkan tissue dari dalam tas.
"Malam yang buruk?" tanyanya dan aku hanya tersenyum simpul.

KAMU SEDANG MEMBACA
Begin Again [COMPLETED]
RomansaMaybe sometimes love needs a second chance because it wasn't ready the first time around