Aku menutup pintu rumah dengan dorongan yang cukup kuat. Air mata yang tadi kutahan agar tidak jatuh, akhirnya mengalir dengan derasnya di pipiku. Aku sudah bertekad untuk tidak selemah ini, tetapi sakit di hatiku tidak mau menyembunyikan dirinya.
Perasaanku sudah tidak enak ketika tadi Arvin dengan percaya dirinya menemuiku ke toko. Aku tidak ke toko, tetapi telepon panik dari Lucy membuatku mau tidak mau harus ke toko. Arvin membuat kegaduhan di sana dan memaksa untuk bertemu denganku. Hatiku sudah setengah percaya ketika dia mengatakan Gio ada affair dengan Nadine. Setelah beberapa menit dia memaksa untuk mengajakku ke suatu tempat, akhirnya kuiyakan dengan syarat aku naik taksi online di belakang mobilnya. Aku tidak sudi berada di mobil yang sama dengannya. Dan kemudian apa yang aku lihat di depan mataku adalah kenyataan yang tidak bisa kupingkiri.
Penjelasan Gio satupun tidak bisa diterima otakku. Yang aku tahu adalah dia menyakitiku. Jawaban yang dia berikan juga hanya pendukung bahwa dia menjadikanku pelariannya sejak awal. Dia hanya ingin tidak terlihat mengenaskan karena wanita yang dia puja sejak dulu kala, telah menemukan orang lain selain dia. Gio memang sekejam itu.
"Kak," panggil Gavin dan menghampiriku yang masih berdiam di pintu. Aku bur-buru menghapus air mataku.
"Gio?" tanyanya sambil memberikan tatapan penuh pengertian.
Aku mengangguk. "Lo jangan kasih tau papa mama ya. Biar gue yang jelasin ke mereka," pintaku padanya dan dia memberikan pandangan tidak setuju.
"Gue hajar dia buat lo, ya," aku menggelengkan kepalaku.
"Dia tetap lebih tua dari lo dan lo perlu hormatin dia, dek. Ini masalah gue sama dia. Gue sama dia memang gak cocok dan bukan karena yang lain."
"Tapi, kak," selanya dan aku memberikan senyumku.
"Dia baik kok, dek. Cuma ada hal-hal yang susah disatuin antara gue dan dia," jelasku. "Papa sama mama dimana?" tanyaku lagi.
"Udah istirahat di kamar. Aman lo gak bakal ditanya-tanya, kak. Istirahat sana," katanya sambil mendorong pelan badanku.
Sesampainya di kamar, aku langsung mandi dan membersihkan badanku sebersih yang aku bisa. Salah satu kebiasaan aneh yang sejak dulu kulakukan. Jika menghadapi masalah, aku akan menggosok badanku sedikit lebih kuat dari biasanya, berharap bahwa masalah dan beban pikiranku akan ikut terbersihkan. Selesai mandi, aku memandangi wajahku di cermin. Mataku sudah mulai bengkak karena aku mandi diiiringi tangisan. Ada banyak hal yang ada pikiranku yang ingin aku lakukan segera. Aku ingin hubunganku dan Gio benar-benar selesai sampai di sini. Meskipun aku masih sangat mencintainya, tetapi aku juga tidak akan bisa berdiri di sampingnya tanpa merasa sakit hati.
Aku mengambil ponselku dan yang pertama aku lakukan adalah memblok kembali nomor Gio yang tadi sudah sempat aku buka. Dan yang kedua adalah mencari kontak Nadine yang pernah dikirimkan Axel padaku.
Setelah menimbang-nimbang hampir sepuluh menit, akhirnya kukirim sebuah pesan singkat pada Nadine.
'Nadine, ini aku Flora. Kita bisa ketemu besok sewaktu jam makan siang? Kamu yang tentuin tempatnya. Jangan kasih tau Gio'
Dan tidak sampai lima menit, belasan dari Nadine pun tiba. Dia mengajakku bertemu di salah satu coffee shop dekat kantornya. Aku menarik napas untuk melegakan sedikit perasaan tidak nyaman di hatiku. Tekadku adalah setelah semua ini aku harus kembali baik-baik saja.
Keesokan harinya, aku menjadi yang pertama tiba dibandingkan Nadine. Meskipun dalam hati aku deg-deg an, tetapi aku berusaha menampilkan ekspresi seolah tidak terjadi apa-apa. Aku tidak boleh terlihat lemah di saat-saat seperti ini. Aku bisa jadi memang harus yang mengalah tetapi aku tidak akan membiarkan diriku dipandang rendah.

BẠN ĐANG ĐỌC
Begin Again [COMPLETED]
Lãng mạnMaybe sometimes love needs a second chance because it wasn't ready the first time around