Flora- Go Home

6.7K 491 16
                                    

Aku terbangun ketika jam dinding menunjukkan pukul delapan pagi. Ketika melihat bed cover yang kemarin digunakan oleh Gio sudah terlipat rapi, aku buru-buru langsung mencarinya ke sekeliling villa. Hatiku mencelos melihat segelas jus buah dan juga roti bakar di atas piring. Aku berlari keluar dan mengetuk pintu villa Gio dan tidak ada jawaban.

"Gio baru aja berangkat, Flo. Dia balik ke Jakarta hari ini." Aku menoleh ke belakang dan menemukan Randy.

"Aku minta maaf karena gak angkat telepon kamu tadi malam," katanya lagi dan aku hanya mengangguk lemah.

"Aku balik dulu ke villa ya," ucapku tidak semangat dan Randy mengangguk sekaligus menatapku heran.

Ketika memakan sarapan yang disiapkan oleh Gio, air mataku mengalir dengan deras. Aku mendengar dengan jelas apa yang diucapkan oleh Gio. Ketika jarinya menyentuh jariku, aku terbangun dan dalam diam aku mendengarnya. Harusnya aku merasa puas karena Gio akhirnya menyerah dengan sendirinya. Harusnya aku senang karena tanpa aku perlu bersusah payah, Gio akhirnya pergi dari sini. Tetapi kenapa hatiku terasa sakit dan seolah-olah mengatakan bahwa ini salah?

Hingga tiga hari setelah Gio pergi, perasaan sedih yang kukira akan menghilang dengan sendirinya ternyata masih setia bercokol. Setiap pagi aku akan bertekad bahwa semuanya akan membaik dan seperti dulu, aku akan bisa pelan-pelan melupan Gio. Tetapi kemudian sepanjang hari kuhabiskan hanya dengan duduk memandangi villa yang sempat ditempati Gio dari balkonku. Dan malam harinya, aku akan menangis karena tidak mampu menyangkal perasaan rindu pada Gio dan juga memikirkan kalimat demi kalimat yang dia ucapkan di malam sebelum dia akhirnya dia pergi.

Dan hari ini seperti hari-hari sebelumnya, seperti tersetting otomatis aku menyeret langkahku ke balkon dan menatap villa itu dengan rasa sedih. Entah sedih untuk apa aku pun tidak tahu. Aku tidak mengenali perasaanku sendiri saat ini.

"Flo...Flora," samar-samar aku mendengar ada yang memanggil namaku dan tidak lama kemudian ponsel di tanganku bergetar. Randy.

"Aku di bawah, Flo. Aku udah bisa ketemu kamu?" tanyanya ketika aku membalas sapaannya.

"Iya," jawabku lemah dan kemudian turun ke bawah untuk membukakan pintu.

"Kamu udah sarapan?" tanya Randy dan aku menggeleng.

"Kebetulan aku tadi beli dua bungkus sarapan. Kita makan bareng ya?" tawarnya dan lagi-lagi aku hanya mengiyakan dan membantunya memindahkan sarapan kami ke piring.

Selama sarapan, aku dan Randy sama-sama tidak berniat untuk memulai pembicaraan. Begitu juga hingga kami membereskan peralatan bekas sarapan kami.

"Flo...kamu udah baik-baik aja?" tanya Randy ketika aku sedang mengelap tanganku yang basah.

Aku mengernyitkan keningku. "Aku gak kenapa-napa" jawabku dan Randy tersenyum.

"Berarti kamu belum baik-baik aja," katanya dan aku menatapnya heran.

"Kamu gak usah sok bingung gitu, Flo. Tanpa kamu bilang, muka kamu udah cerita kalau kamu lagi gak baik-baik aja dan kamu udah sempat cek mata kamu di cermin? Bengkak banget. Kamu nangis lagi kan?"

Aku menunduk dan tidak mempu menjawab semua pertanyaan Randy. Aku memilih berjalan dan duduk di sofa ruang keluarga dan Randy menyusul duduk di sampingku.

"Apa seberat itu ditinggalin sama Gio, Flo?" tanyanya dan lagi-lagi aku diam.

"Kamu bahkan sampai selalu nolak buat ketemu aku."

Aku menggeleng. "Kapan aku nolak?" tanyaku dan Randy malah terkekeh.

"Pikiran kamu benar-benar udah dipenuhin Gio ya, Flo sampai-sampai kamu gak sadar sama yang kamu lakuin? Kamu selalu nolak tiap aku ajak kamu keluar, Flo. Bilang kamu belum lapar, kamu ngantuk, atau kamu lagi gak enak badan. Aku kira aku ngelakuin salah karena kamu mendadak menghindar. Tapi, aku langsung ingat kalau kamu mulai kayak gini setelah Gio pulang ke Jakarta," jelas Randy dan aku menggeleng tidak percaya. Aku bahkan tidak ingat aku melakukan itu semua. Apa memang pikiranku sudah sekacau itu sampai-sampai bisa melakukan sesuatu tanpa aku sadari?

"Kamu masih cinta dia kan, Flo?"

Aku memalingkan wajahku ke samping dan menolak menatap Randy. Bahkan menolak untuk menjawabnya. Meskipun pikiranku semrawut, tetapi aku masih bisa mengingat bahwa Randy juga meminta kesempatan padaku.

"Kamu masih cinta dia," putus Randy dan aku terbelalak melihatnya yang begitu santai mengucapkan itu. Seolah-olah itu tidak menyakitinya.

"Aku gak tahu, Ran. Aku gak tahu gimana perasaanku aku sekarang," kataku akhirnya dan menyadar di bahu sofa.

Aku mendengar Randy menghela napas dan mengikutiku menyandar di sofa.

"Jadi...sekarang kamu mau gimana, Flo? Kamu tahu, kamu bahkan terlihat jauh lebih menyedihkan daripada awal kamu sampai di sini enam bulan lalu."

Air mataku kembali menetes tanpa bisa kuhalangi. Aku memang menyedihkan. Setelah beberapa menit kami dalam keheningan dan air mataku sudah surut, aku menegakkan punggungku dan memberanikan diri menatap Randy. Randy balas menatapku.

"Kenapa?" tanyanya pelan.

"Kamu minta kesempatan kan kemarin, Ran? Aku udah pikiri ini. Aku...aku...ayo kita mulai semuanya. Aku kasih kamu kesempatan itu. Kamu benar. Aku gak bisa ngelakuin ini sendiri. Seperti yang kamu bilang, aku malah terlihat menyedihkan. Aku gak mau kayak gini. Gio udah nyakitin aku dan dia udah seharusnya dihilangkan dari hidup aku," ucapku cepat untuk menghalau semua keraguan yang sebenarnya melanda hatiku.

Tidak kuduga, Randy malah menggeleng.

"Siapa yang berusaha kamu bohongi, Flo? Aku? Aku jelas gak bisa kamu bohongi. Diri kamu? Jangan kayak gini, Flo. Berhenti berbohong kalau ternyata itu malah buat kamu jadi seperti ini. Aku sayang sama kamu dan jelas aku memang mengharapkan kamu ngasih aku kesempatan. Tapi apa hati kamu yakin kalau kamu memang mau ngasih kesempatan ini ke aku? Bukan ke Gio? Kamu udah yakin kalau kamu memang siap akan melupakan dia untuk seumur hidup kamu? Karena kalau kamu paksa hati kamu buat ngelakuin, kamu juga akan menyakiti aku kalau kamu ternyata malah gagal untuk move on dari Gio."

Aku terhenyak mendengar jawaban Randy.

"Gio benar-benar mencintai kamu. Aku bisa lihat itu. Karena kalau dia gak cinta kamu, dia gak akan selapang dada itu buat nitipin kamu ke aku sebelum dia pulang. Dia memang ngelakuin salah, Flo tapi apa dia benar-benar gak berhak mendapatkan kesempatan kedua dari kamu?"

"Ran...kenapa kamu malah ngomong kayak gini? Kamu bukannya seharusnya senang kalau aku gak bisa ngasih kesempatan ke Gio?" tanyaku bingung.

Randy tertawa kecil.

"Aku mungkin seharusnya senang kalau aja kamu gak kayak gini, Flo. Aku sayang kamu, itu jelas tapi bukan berarti aku bisa tutup mata dengan perasaan kamu. Aku juga laki-laki, Flo dan juga sebenarnya egois. Kita bisa aja memulai hubungan ini dan kemudian aku bakalan paksa kamu biar yang ada di pikiran kamu hanya aku aja. Tapi apa menurut kamu itu pada akhirnya gak akan membuat kita saling menyakiti, Flo? Hanya ada Gio di hati kamu dan Gio juga begitu. Kenapa aku harus jadiin diri aku penghalang dan berisiko besar untuk sakit hati? Iya, kan?"

"Kenapa kamu sebaik ini, Ran?" tanyaku pelan dan Randy menggengam tanganku.

"Kamu yang ajarin aku, Flo. Kamu ingat yang kamu ucapkan waktu aku tanya kenapa malah kamu yang mengalah dan melarikan diri ke sini? Kamu jawab karena Tuhan pengen kamu membuktikan cinta kamu ke Gio dengan lepasin dia untuk orang lain. Kamu ingat, kan?"

Tentu saja aku mengingat itu semua.

"Dan itu yang sedang aku lakuin sekarang, Flo."

"Tapi kamu udah banyak bantu aku, Ran. Kamu bahkan satu-satunya temanku di sini dan juga teman yang paling tulus untuk aku," kataku.

"Itu kedengarannya lebih menyenangkan, Flo. Kurang istimewa apa coba jadi satu-satunya teman baik kamu. Iya kan?"

Aku tertawa mendengar jawaban Randy.

"Akhirnya aku bisa lihat kamu ketawa lagi" ucap Randy sambil mengusap dadanya. Aku semakin tergelak.

"Jadi...udah siap balik ke Jakarta?" katanya setelah tawa kami mereda.

Aku mengangguk. Mungkin memang ini sudah waktu yang terbaik untuk kembali ke sana. Setelah itu, aku dan Randy mengobrol santai tentang kepulangan kami ke Jakarta. Pekerjaan Randy sudah selesai di sini sehingga kami bisa kembali bersama-sama dua hari lagi. Aku tidak akan pernah bisa berhenti bersyukur dengan keberadaan Randy di sini. Jika ada hal yang patut disyukuri dari permasalahan ini selain menemukan bahwa aku memang mencintai Gio sebesar ini, adalah kehadiran Randy di sisiku.

Begin Again [COMPLETED] Where stories live. Discover now