I Don't Know What I Feel About You, Too

2.1K 320 845
                                    

*Calum's POV*

Perayaan ulang tahun tadi membuat perutku mual. Jadi aku memutuskan untuk keluar dari sana setelah Luke selesai menyanyikan lagu dan sekali lagi aku memberikan selamat kepada Ganis.

Aku membasuh wajahku dengan asal seakan hal itu dapat menghilangkan rasa mualku. Bayanganku yang menatap di cermin kembali mengingatkanku saat tadi Ganis dengan tegas dan sangat jelas menatapku. Entah kapan terakhir kali aku mendapatkan tatapannya yang seperti itu, yang jelas, setelah pernikahannya dengan Luke, ia selalu membuang pandangannya dariku. Dan bisa dibilang, aku juga selalu melakukan hal yang sama. Benar, kejadian tadi adalah alasan mengapa aku merasa mual.

Satu botol air mineral kuhabiskan dalam sekejap karena ternyata membasuh wajah tidak begitu berpengaruh pada jantungku yang masih saja berdebar hebat.

Entahlah. Aku tidak akan mengatakan jika reaksi tubuhku ini dikarenakan masih adanya perasaanku terhadap Ganis. Yang jelas, sampai saat ini aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadapnya. Kebersamaan kami sudah lama berakhir, tapi entah mengapa kami berdua tidak dapat berteman dengan normal.

Dentingan bel kamarku berbunyi, membuyarkan semua pikiranku yang tidak karuan di kepala.

Aku mendekatkan mataku kepada lubang intip untuk melihat siapa yang berada di balik pintu.

Ganis. Ganis yang berada di balik pintu dan hal itu tentu saja membuat jantungku berdebar lebih hebat lagi. Apakah aku harus membuka pintunya? Aku mempunyai perdebatan dengan diriku sendiri mengenai hal itu. Namun, jika aku tidak membukakan pintu, apakah hal itu terasa janggal?

Tanpa pikir panjang aku lalu membuka pintu kamarku, menyuguhkan Ganis yang berdiri dengan kikuk dengan jari-jari tangannya yang saling menggapai satu sama lain.

Apa yang ia lakukan? Apa yang Luke lakukan sehingga ia membiarkan istrinya menemuiku? Atau memang Ganis yang tidak memberitahu Luke jika ia akan menemuiku? Tunggu, mungkin saja ia ke sini untuk meminjam sesuatu, atau mengembalikan sesuatu milikku yang tertinggal.

"Can I, come in?" Nada bicaranya selalu begitu. Seakan tidak yakin. Ia selalu tidak yakin.

Aku menepikan diri sehingga membuka jalan untuk Ganis masuk. Mulutku tidak mudah terbuka di hadapannya. Selalu hanya otak dan hatiku yang berdebat tentang apa yang harus kulakukan.

Ganis terduduk di bibir ranjangku, menghadap ke jendela yang terbuka dan menyuguhkan hiruk pikuk sorenya Paris. Setidaknya, sedikit bising dapat membalut hening di antara kami.

Dada Ganis terlihat naik turun, sama seperti yang terjadi kepadaku beberapa menit lalu sebelum membukakannya pintu dan berlagak tidak terjadi apapun sebelumnya. Rambutnya diikat naik secara acak dengan beberapa helai menjuntai di sisi wajahnya. Baiklah, untuk apa kuperhatikan?

Ia mungkin juga bergelut sendiri dalam hati, namun ia sudah tiba di kamarku, mana mungkin ia kembali tanpa mengatakan apa-apa?

Yang kulakukan akhirnya adalah memberikannya air minum, sehingga ia dapat lebih tenang.

"I don't know what I was doing", secara kilat ia menolehkan wajahnya padaku. "I don't know what happened to me". Nadanya sedikit merengek, seperti sedang meminta pertolongan kepadaku.

Aku menyalakan rokok alih-alih bereaksi kepada kalimat Ganis, berjalan menuju jendela yang terbuka sehingga tiupan anginnya dapat membawa asap dari rokokku tanpa mengganggu Ganis. Aku benar-benar tidak tau apa yang harus kukatakan kepadanya.

"You still have the ring?" Ganis menatap ke kelingkingku, di mana cincin senar yang dulu miliknya, melingkar.

Aku lalu menyentuh cincin senar di kelingkingku, "it won't go off", aku mencoba untuk mencopotnya secara pura-pura. Jika aku berkata aku masih mengenakan cincin ini karena aku masih memikirkannya, maka aku akan terdengar sangat bodoh dan payah.

AUSTRALIANS 3 [5SOS] (slow update)Where stories live. Discover now