BAB 6 - KIARA

6K 406 5
                                    

Hampir satu jam lamanya Arini mematung seorang diri. Menatap masakan yang sudah dingin karena diabaikan oleh Romeo.

Arini tersenyum getir ketika pada akhirnya ia duduk sambil memandang makanan buatannya sendiri. Biasanya ia akan menangis, tetapi sepertinya ia sudah mulai terbiasa. Air matanya bahkan sudah mengering ketika menghadapi kelakuan Romeo yang terus menyakitinya.

Arini hanya memandang ruang yang lengang dan kosong. Di dalam kesendiriannya ia kemudian mengambil nasi dan lauk itu ke atas piring. Mulai menyendokkan makanan ke dalam mulutnya tapi sedetik kemudian ia langsung meringis begitu saja.

"Asin..." Arini menggigit ujung bawah bibirnya ketika memakan sup buatannya, meletakkan sendok dan meminum segelas air dengan sangat cepat.

"Astaga, untung saja." Arini menghela napas. Untung saja Romeo tidak menyicipi makanannya, adalah salah satu hal menyakitkan tapi mampu membuat Arini bersyukur.

Dia, memang tidak ahli dalam hal memasak. Dulu bersama dengan keluarganya, Arini satu-satunya orang yang dilarang orang tuanya untuk pergi ke dapur. Karena, ada kejadian dan trauma masa kecil yang membuatnya seperti itu. Hingga semuanya harus berubah, Arini harus berusaha keras karena sekarang, bukan kah dia adalah seorang istri? Dan Romeo, satu-satunya alasan bagi Arini untuk nekat dan mengalahkan semua rasa traumanya.

Arini memutuskan untuk membuang sup itu. Mengandalkan ayam buatannya yang menghitam karena gosong, akhirnya Arini memutuskan untuk makan makanan itu. Hanya itu satu-satunya makanan yang layak untuk dimakan.

Setelah semuanya usai, Arini segera bergegas. Setelah mencuci piring, ia mengambil sapu dan membersihkan seluruh isi rumah ini. Mengepel lantai yang sekiranya kotor hingga menyirami kebun semua Arini yang melakukan.

Arini terengah-engah, mengelap peluh yang bercucuran karena ia benar-benar kecapekan. Di rumah besar ini tidak ada pembantu yang bekerja sehingga Arini yang harus melakukan semuanya. Bahkan ketika lampu kamar mandi rusak, Arini sendiri yang membetulkannya.

Arini tidak tahu, apakah ini adalah salah bentuk Romeo ketika ingin menyiksanya, tapi yang pasti Arini tidak ingin protes. Arini bertekad untuk menjadi istri yang baik dan bisa diandalkan.

***

Puluhan panggilan keluar yang tidak dijawab benar-benar membuat Mulan khawatir, bagaimana bisa anak dan menantunya sama sekali tidak menjawab telefonnya.

Apa mereka baik-baik saja? Apa mereka dalam keadaan bahaya?

Adalah beberapa pertanyaan yang terus dipikirkan Mulan saat ini. Tadi, dia dihubungi oleh Zaki, sahabat dekatnya ketika mengatakan bahwa Romeo tidak ada di kantor, membuat suasana kacau balau hingga Mulan sedikit syok oleh perkataannya.

Dan sekarang, ketika ia menghubungi menantunya, Arini juga tidak menjawab panggilan itu sama sekali. Membuat Mulan langsung menyuruh sopir untuk mendatangi rumah Romeo dan Arini.

Bel pertama, kedua dan ketiga tidak dijawab. Mulan mengetok-etok pintu rumah itu tetapi masih juga tidak dijawab.

"Romeo...? Arini?" Mulan memekik keras tetapi masih belum ada sahutan sama sekali. Hingga akhirnya Mulan mengambil kunci cadangan dari dalam tasnya dan membuka pintu itu.

Di dalam rumah tampak lengang. Tidak ada satu orang pun di sini. Suasana rumah cukup terang hingga akhirnya Mulan berjalan ke segala penjuru.

"Romeo? Arini?" Mulan mencoba. Dan yang membuat Mulan syok adalah, ketika pada akhirnya ia menemukan sosok Arini jauh di sana, terbaring di atas sofa dengan wajah yang sangat pusat.

"Astaga, Arini?" Cepat-cepat Mulan menuju tempat di mana Arini berada. Sebuah gumaman kecil dari mulutnya membuat Arini tampak seperti orang yang tidak baik-baik saja.

Mulan membungkuk, menggunakan punggung tangannya Mulan menempelkan pada dahi milik Arini. Dan benar saja, Mulan dapat merasakan suhu badan Arini naik hingga terasa sangat panas sekali.

"Astaga Arini, kau sakit?"

Merasakan ada sesuatu yang menempel di dahinya Arini kaget bukan kepalang. Melihat Mama mertuanya ternyata sudah ada di samping Arini yang bahkan Arini tidak sadar akan kedatangannya.

"Mama?"

"Astaga, Arini kau sakit? Di mana Romeo?"

Pelan-pelan Arini mencoba duduk, dibantu dengan Mulan meski pun ia masih berusaha sangat keras agar ia tetap terjaga.

Panik benar-benar menyerang Mulan saat ini. Melihat wajah pucat Arini yang sangat ketara dan bibirnya yang berubah menjadi biru. "Sayang, ayo kita ke rumah sakit."

Arini menggeleng. "Ah, tidak Ma."

"Ya ampun, di mana Romeo! Bagaimana dia bisa meninggalkanmu disaat kondisimu seperti ini?!" Mulan mengambil ponselnya lagi, berusaha ingin menghubungi Romeo meski pun ia tahu itu tidak akan berhasil. Tadi puluhan panggilan bahkan diabaikan oleh Romeo.

"Jangan, Ma. Tidak perlu. Aku baik-baik saja."

"Apanya yang baik-baik saja. Tubuhmu panas sekali."

Benar saja, panggilan itu masih diabaikan oleh Romeo dan bahkan sekarang telefonnya mati tidak bisa dihubungi. Membuat Mulan mengeram, merasa tidak percaya melihat kelakuan anak satu-satunya itu.

Lalu di sana, tiba-tiba Arini merasakan pening di kepalanya lagi. Tiba-tiba kegelapan mulai terasa hingga matanya sangat berat sekali untuk terjaga. Ada rasa mual sekaligus tidak berdaya, tubuhya semakin tidak bisa ia kendalikan seirama dengan suhu tubuh yang terus naik.

"Mama...?"

Mulan menoleh ke arah Arini, sedikit syok ketika melihat bahwa ada darah yang keluar dari salah satu hidungnya.

"Astaga! Arini kau mimisan." Lalu, sedetik kemudian, Arini benar-benar terjebak dalam kegelapan.

Arini pingsan.

***

Setelah meninggalkan Zaki, Romeo mematikan ponselnya lagi. Sampai malam hari Romeo menghabiskan waktu di bar.

Di kanan kirinya, ia ditemani seorang perempuan dengan pakaian terbuka dan terlihat antusias menuangkan minuman ke dalam gelas Romeo meski pun sebenarnya Romeo hanya mencecap tanpa mau meneguk minuman itu ke dalam kerongkongannya.

Ia melamun, pikirannya menerawang jauh. Dalam hati, ia ingin membawa salah satu perempuan ini sampai ke rumah. Bermaksud ingin memanas-manasi Arini lagi sama seperti tempo hari agar secepatnya perempuan itu menuntut cerai kepadanya.

"Sayang, kenapa kau tidak minum? Apa kau tidak suka?" Celetuk salah satu perempuan itu. "Astaga, sayang kau melamun lagi? Kenapa kau tidak menggunakanku? Apa aku kurang cantik?" Celetuk salah seorang wanita lainnya tapi Romeo tidak mau menjawab dan melongos begitu saja.

Romeo hanya melamun, memasang ke arah lantai dansa dan melihat banyaknya orang berjoget ria di tengah sana. Yang saling tertawa melepas semua beban di kepalanya.

Semuanya, berbanding terbalik dengan Romeo. Mungkin hanya Romeo satu-satunya orang yang tidak bisa menikmati tempat ini. Ia hanya terus menatap kosong orang-orang di sana dengan helaan napas berulang kali.

Dari sudut sana, terlihat seseorang tampak menatap ke arah Romeo. Dahinya mengerut, mulutnya menganga. Kiara mengenal betul siapa sosok yang sedang duduk di sana, bersama dengan kedua perempuan dan terus mempersilahkan kedua perempuan itu untuk menyentuh tubuh Romeo berulang kali.

"Romeo?" Pekik Kiara. Di sini Kiara bersama dengan teman-temannya yang lain juga sedang menikmati pesta. Tetapi, pandangan yang ada di sana sungguh sangat mengganggu Kiara.

Romeo? Bukan kah dia benar-benar Romeo? Dan kenapa dia berada di sini? Bukan kah dia mempunyai Aluna, seorang istri yang sangat ia cintai?

Tanpa sadar Kiara mendekat. Sungguh, rasa penasarannya muncul begitu saja. Ada gosip apa yang Kiara lewatkan ketika ia pergi ke luar negeri selama satu tahun ini?

"Romeo?" Tanpa sadar Kiara menyebutkan namanya, memanggil nama Romeo hingga spontan Romeo mendongak, menatap ke arah Kiara yang tersenyum manis, penuh menggoda di depan Romeo.

ARINI'S WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang