SEBELAS

17.2K 2.7K 82
                                    

Chlora menatap kamar yang akan ia tempati selama lima tahun ke depan. Karena Chlora adalah murid jenius yang bisa mengerjakan soal dengan mudah dan cepat. Bahkan kini sudah tersebar jika Chlora menjadi murid paling jenius yang ada di akademi.

"Padahal soal itu sama sekali tidak sulit. Ah, aku lupa, aku tinggal di benua asia yang pada saat kami masih berada di kelas dua kami sudah diwajibkan menghafal perkalian," desah Chlora.

Chlora meletakkan tasnya. "Ada untungnya juga menjadi murid yang jenius. Aku diberikan kamar yang bisa ditempati sendiri agar aku bisa fokus belajar."

Chlora memandang kamarnya yang berukuran 3x3 meter. Tentu saja kamar ini lebih kecil dari pada kamar yang lain karena kamar ini hanya digunakan untuk satu orang. Chlora membuka jendela dan menatap pemandangan.

"Sial, apa yang harus aku lakukan di sini? Rasanya memang sejak awal aku tidak punya tujuan hidup selain hidup dalam kemewahan," keluh Chlora.

Chlora menatap gedung di mana siswa laki-laki tinggal. Gedung itu berada tepat di hadapan gedung di mana siswa perempuan tinggal. Chlora masih penasaran dengan laki-laki penyihir yang bernama Harvey, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan oleh Harvey.

"Ah, syukur aku tidak melupakan bunga magnolia emas ini. Jika tidak ada bunga ini maka pikiranku akan kacau balau karena takut dengan masa depan."

Chlora mengeluarkan bunga itu dan meletakkannya di atas meja. "Ah, Virion sudah mendapatkan pedang Lazarus. Kini dia sudah berumur lima belas tahun. Semoga apa yang Zoey katakan tentang Virion itu benar."

"Chlora, buka pintunya. Ini aku, Zoey."

Chlora langsung membuka pintunya dan melihat Zoey yang menatapnya dengan wajah datar. "Kenapa wajahmu terlihat seperti itu?"

"Aku mendapatkan kamar yang sama dengan Shelia, padahal aku sangat berharap bisa sekamar denganmu sehingga aku bisa menggunakan sihirku sesuka hati," keluh Zoey.

"Kau bisa tidur di sini jika kau mau, aku mendapatkan ranjang yang bisa dipakai oleh dua orang. Tapi jangan sampai Shelia tahu jika kita tidur sekamar," ucap Chlora.

Zoey merebahkan badannya dengan kesal. "Padahal ada penyihir dari keluarga bangsawan lain yang lolos dari tes ini. Entah mengapa aku tidak mendapat kamar yang sama dengannya."

"Mana mungkin mereka tahu jika kau dan bangsawan itu adalah penyihir. Jika mereka tahu maka kau sudah dibakar hidup-hidup, Zoey," jawab Chlora.

"Wah, kau bahkan membawa bunga magnolia emas itu ke sini? Apakah kau benar-benar menyukai bunga itu atau kau menyukai seseorang yang akan menjadi pasanganmu?" tanya Zoey.

Chlora memalingkan wajahnya. "Apa maksudmu? Aku saja tidak pernah bertemu Virion! Lagi pula dia akan memilih Shelia dibandingkan diriku."

"Terus saja menyangkal. Kau selalu menganggap semua orang yang ada di dunia ini adalah musuhmu, Chlora. Berhentilah berpikir seperti itu, kau sudah tiga belas tahun hidup di dunia ini. Jangan berpikir terlalu keras."

"Mudah untuk mengatakan hal seperti itu. Jika malaikat mautmu terus berada di dekatmu mana mungkin kau bisa tenang? Aku tahu kau akan tegang jika Virion masuk ke dalam kastil Woods. Kita ini sama, Zoey. Sama-sama menghindari kematian."

Mereka berdua termenung dalam pikiran masing-masing. Chlora menatap asrama laki-laki dan mengingat Harvey. "Zoey, sepertinya ada seorang laki-laki penyihir yang sudah mengetahui rahasia kita berdua. Dia mengatakan bahwa sudah takdirku untuk masuk ke dalam akademi ini."

"Harvey Costigan? Dia merupakan penyihir yang ingin aku jadikan teman. Aku rela belajar mati-matian hanya agar bisa dia bisa menjadi sekutuku!" pekik Zoey.

Chlora menatap reaksi Zoey. "Benar, Harvey Costigan. Mengapa kau tidak membaca pikiranku saja saat tes? Kau pasti tidak perlu belajar mati-matian."

"Mereka membuat ruangan itu agar tidak ada calon siswa yang bisa menyontek. Jika ada yang membawa kunci jawaban, maka kunci jawabannya akan menghilang. Itu juga berlaku kepada penyihir sepertiku. Aku tidak bisa membaca pikiran siapa pun," desah Zoey.

"Kasihan sekali. Omong-omong, apakah Harvey Costigan merupakan penyihir yang sehebat itu sehingga kau rela belajar mati-matian agar bisa menjadi temannya?"

Zoey mengangguk. "Dia terlahir dengan bakat penyihir agung. Aku rasa dia bisa berteleportasi, berpindah dimensi, dan melihat masa depan dengan akurat. Kau tahu bukan jika masa depan itu memiliki banyak cabang? Semua itu tergantung dengan pilihanmu. Tapi dia bisa membaca masa depan yang sudah tercabang seperti itu. Aku yakin dia sudah tahu tentang masa depanmu."

Chlora melongo. "Wah, aku jadi ingin menanyakan masa depanku kepadanya. Tapi apakah jika aku tahu tentang masa depanku maka masa depanku akan berubah?"

"Kau masih bertanya? Tentu saja! Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan! Bahkan Harvey Costigan sendiri tidak akan tahu apa yang akan terjadi padanya lima menit lagi!"

Chlora mengangguk-angguk. Sayang sekali, padahal dia sangat penasaran dengan masa depannya. Apakah dia akan mati di tangan Cithrel seperti yang tertulis di novel? Memang sekarang Cithrel sepertinya jatuh cinta dengannya, tapi siapa yang akan tahu jika Cithrel memutuskan untuk mengubah pikirannya dan membunuh Chlora?

"Ah, Chlora. Sepertinya aku harus pergi dari sini. Ada seseorang yang akan datang. Semoga kau selamat dan bisa menerima kenyataanya, Chlora," Zoey langsung pergi dari kamar Chlora.

Chlora mendelik mendengar itu. Dia langsung mengambil belati yang selalu ia bawa ke mana-mana. Jantung Chlora berdegup dengan kencang.

Chlora langsung menjulurkan belatinya ketika orang itu masuk lewat jendela kamarnya. Chlora mendelik ketika menyadari bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang disiksa oleh ayahnya itu. Chlora langsung menurunkan belatinya.

"Ah.. aku tidak tahu jika kau sangat pintar dalam menyelinap," ucap Chlora.

Laki-laki itu terkekeh. "Sudah lama sekali, bukan? Rasanya kau masih merupakan gadis imut kemarin. Siapa sangka kau akan menjadi secantik ini."

Chlora merasakan debaran di jantungnya, namun ada yang berbeda dengan debaran kali ini. "Aku bersyukur kau bisa lolos dalam tes dan bisa pergi dari ayahmu. Kau terlihat lebih bahagia. Bahkan kau sudah tidak terlihat seperti anak yang kekurangan gizi."

"Ya, aku lebih bahagia berada di sini. Aku juga sangat merindukanmu, aku terus memikirkanmu dan bertanya-tanya apa yang sedang kau lakukan. Selamat untukmu karena lolos dalam tes dan menjadi siswa yang paling jenius sepanjang sejarah akademi."

Chlora tertawa. "Kau sudah berjanji akan memberitahu namamu, bukan? Aku akan memberitahu namaku terlebih dahulu, walau pun aku yakin kau sudah mengetahuinya sejak lama. Namaku adalah Chlora Beasley, kau bisa memanggilku Chlora, siapakah namamu?"

Laki-laki itu terdiam sejenak dan menatap bunga magnolia emas yang Chlora bawa. "Kau sudah berjanji tidak akan membenciku, bukan? Ucapkan kembali janjimu itu."

"Sulit sekali ya? Aku berjanji tidak akan membencimu setelah aku mengetahui namamu. Aku tidak akan memusuhimu jika kau adalah anak dari bangsawan yang memusuhi ayahku."

Laki-laki itu menghembuskan napasnya. "Namaku adalah Virion Carneiros, kau bisa memanggilku Virion."

Kamar itu langsung hening. Chlora menatap Virion dengan tatapan tidak percaya. Ia kemudian baru menyadari bahwa rambut Virion persis sama dengan ada yang di ilustrasi, hitam kebiruan. Chlora menyadari bahwa Virion mewarnai rambutnya dengan warna cokelat agar penyamarannya tidak diketahui.

"Ha.. hahaha. Sial, aku tidak pernah menyangka jika kau adalah Virion Carneiros," tawa Chlora getir. Ia baru mengerti apa yang selama ini ingin Zoey katakan.

"Kau.. tidak membenciku, bukan? Kau sudah berjanji," ucap Virion dengan nada sedih.

Chlora menoleh ke arah Virion dan terkejut ketika laki-laki itu menangis. Dengan cepat Chlora memeluk Virion dan mengusap kepalanya. "Tidak apa, maaf jika kau pernah mendengar aku mengatakan hal yang tidak-tidak tentangmu."

Virion membalas pelukan Chlora dan menumpahkan emosinya. Dada Chlora terasa sesak mendengar tangisan Virion. Semasa kecil ia terus disiksa oleh ayahnya, dan itu membuatnya haus dengan kasih sayang.

"Aku tidak membencimu,Virion. Tenang saja."

Orenda [END]Where stories live. Discover now