TUJUH BELAS

14K 2.1K 60
                                    

Chlora mengumpulkan tugas itu ke guru dan kembali ke bangkunya. Chlora sering kali tertidur saat pelajaran karena ia bosan untuk mempelajari semua hal itu lagi. Namun, setiap guru menegurunya dan memberinya soal, Chlora selalu mampu menjawab soal itu.

"Chlora, saya tahu jika kamu adalah siswa yang jenius, tapi tak bisakah kamu bangun saat pelajaran saya? Kamu selalu tertidur seperti itu."

Chlora menguap dan menatap papan tulis dengan malas. "Maaf guru."

Zoey berdecak melihat tingkah laku Chlora. "Sudah enam bulan kita bersekolah di sini, sebaiknya kau bersikap lebih serius dikit. Aku tahu kau bisa mengerjakan soal-soal itu sambil memejamkan matamu."

"Hehe, ini seperti pelajaran anak sekolah dasar," jawab Chlora.

"Chlora! Kerjakan soal di depan!" ujar sang guru ketika melihat Chlora yang tertawa.

Semua siswa menatap Chlora dengan tatapan penasaran. Tentu saja mereka bingung bagaimana bisa Chlora yang selalu tertidur saat pelajaran bisa menjawab soal dengan mudah. Saat mereka bertanya pada Chlora ia hanya menjawab 'itu adalah soal yang gampang'.

Chlora mengerjakan soal itu dengan cepat menggunakan caranya sendiri. "Lebih mudah mengerjakannya dengan cara seperti ini, guru. Kau bisa mencoba caraku."

Guru itu terkejut dan memalingkan wajahnya karena malu dikalahkan oleh anak yang berada di kelas satu akademi pertama. Di sini mereka juga membagi sekolah seperti SMP dan SMA. Mereka menyebutnya sebagai akademi pertama dan akademi kedua. Mereka membutuhkan waktu enam tahun untuk lulus dari akademi.

"Chlora, tolong ajarkan cara seperti itu padaku!" ucap Shelia.

Chlora mendesah dan mencorat-coret selembar kertas dan memberikannya pada Shelia. "Jangan memintaku untuk menjelaskannya padamu, pelajari saja sendiri."

"Aku juga mau, Chlora," rengek Cithrel.

"Salin saja punya Shelia!" pekik Chlora kesal dan Zoey menahan tawanya melihat itu.

Chlora kembali tidur tanpa menjelaskan penjelasan guru. Para guru tak bisa berbuat apa-apa dengan tingkah Chlora karena ia sangat jenius-di dunia itu-dan bisa mengerti pelajaran tanpa mendengarkannya sekali pun. Bahkan Chlora sering ditunjuk untuk mengikuti olimpiade dalam melawan akademi di kerajaan lain.

"Chlora, ayo kita ke kantin. Aku lapar," ajak Zoey sambil menarik-narik tangan Chlora.

Chlora terbangun dari tidurnya dan merapikan rambutnya yang berantakan. Mereka berdua kemudian berjalan ke kantin. Semua siswa langsung melihat mereka berdua karena mereka berdua dijuluki sebagai dewi di kelas satu akademi pertama karena kecantikan mereka.

"Sial, aku merasa risih sekali. Aku tahu jika aku cantik tapi jangan melihatku dengan tatapan seperti itu," keluh Chlora.

Zoey mengangguk setuju. "Jujur saja aku suka jika aku populer. Tapi tolong urgh! Jangan melihat kita seperti melihat dewi yang jatuh dari langit."

Chlora mengambil tempat makan yang sudah disiapkan oleh kantin dan berjalan untuk mencari kursi. Biasanya kursinya akan penuh sehingga akan sulit untuk mencari kursi yang kosong. Tidak jarang banyak siswa yang memilih makan di halaman.

"Chlora! Zoey! Duduk di sini!" pekik Harvey semangat.

Zoey menepuk dahinya. "Beginilah cara menambah musuh perempuan."

"Mereka juga mencari musuh laki-laki, Zoey. Jangan khawatir," bisik Chlora.

Chlora duduk di hadapan Virion yang sedang memakan makanannya. Virion langsung salah tingkah ketika Chlora duduk di depannya. Chlora tertawa melihat itu. "Jangan salah tingkah seperti itu, Virion. Aku tidak akan memakanmu."

"Zoey! Bagaimana kelasmu? Apakah kau sudah bersekutu dengan sesama?" tanya Harvey.

Sesama yang dimaksud oleh Harvey adalah sesama penyihir. Ia menggunakan kata itu untuk menghindari kecurigaan siswa lain. Entah mengapa penyihir masih dimusuhi hingga saat ini.

"Lumayan. Aku harap tahun depan ada siswa baru yang merupakan sesama. Aku tidak ingin memiliki akhir yang sama seperti di novel jadi aku memilih untuk membuat banyak orang menyukaiku," jawab Zoey.

Virion menatap Chlora. "Chlora, apakah kau dekat dengan laki-laki yang bernama Cithrel?"

Harvey langsung tersedak dan menahan tawanya. Zoey tersenyum tipis dan memukul telapak tangan Harvey agar tidak menganggu mereka berdua.

"Tidak, tapi dia sepertinya menyukaiku. Untuk apa aku dekat dengan malaikat mautku? Aku bukan orang yang cari mati seperti Zoey," ucap Chlora tenang.

"Setidaknya malaikat mautku tidak terobsesi denganku," sindir Zoey.

Virion menatap mereka berdua dengan bingung. "Malaikat maut? Apa maksudmu?"

"Orang yang membunuh mereka berdua di novel. Chlora dibunuh oleh Cithrel dan Zoey dibunuh olehmu. Jadi kau adalah malaikat maut Zoey," jelas Harvey.

"Tapi aku sudah berbeda dengan ada yang di buku!" bantah Virion.

Chlora menepuk-nepuk bahu Virion. "Aku tahu, tapi tetap saja kita tak bisa mengubah alur novel itu. Sayang sekali hanya aku yang mati di novel itu, dan kau tidak."

"Karena itu lah kami berusaha keras hanya untuk hidup. Chlora sampai harus memastikan kekayaan keluarganya tidak akan habis sehingga ia bisa aman," lanjut Zoey.

"Akhir semester nanti akan diadakan pesta di kekaisaran. Apakah kalian datang?" tanya Harvey.

"Entahlah. Sepertinya aku akan datang untuk meningkatkan persentase aku bisa terus hidup. Aku akan membuat banyak kenalan dan membuat mereka membelaku," Chlora meminum airnya.

Zoey mengangguk setuju. "Tujuan Chlora adalah tujuanku juga. Kami saling bekerjasama untuk bisa terus hidup. Masa depan juga masih terasa abu-abu."

Harvey menyeringai. "Aku tahu masa depan kalian berdua, tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa. Kalian akan mati di usia tua."

Zoey menoleh panik. "Eh? Memanglah boleh membocorkan masa depan seperti itu? Atau jangan-jangan kau sengaja membocorkan masa depan dan membuat takdir berubah sehingga kami akan mati di usia muda?!"

"Tumben sekali aku mendengarmu berbicara sepanjang itu," celetuk Chlora.

"Tenang saja, jika Harvey mengatakan hal itu berarti ia belum membocorkan masa depan. Harvey 'kan menyukai Zoey, mana mungkin ia tega mengubah takdir gadis yang ia sukai," ucap Virion asal dan Harvey mendelik padanya.

"Virion! Kau kira aku tidak tahu mengapa kau mati-matian mendapatkan pedang Lazarus di usia tiga belas tahun? Kau ingin mendapat pedang itu karena kau melihat bunga magnolia emas di kamar Chlora, bukan? Kau ingin menjadi pasangan hidup Chlora!" pekik Harvey.

Zoey dan Chlora terdiam. Terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut kedua laki-laki yang aneh itu. Chlora tersenyum kecil dan berdiri. "Ah, aku sudah selesai makan. Aku akan kembali ke kelas dahulu, sampai jumpa."

Chlora langsung menarik tangan Zoey dan pergi dari sana. Harvey menatap Virion dengan kesal. "Karena kamu Zoey pergi, Virion! Padahal kau sudah berjanji untuk bekerja sama! Aku bisa dekat dengan Zoey dan kau bisa dekat dengan Chlora!"

Virion menggaruk kepalanya. "Habis tadi kau tertawa karena aku menanyakan jika Chlora dekat dengan Cithrel atau tidak. Kau juga sudah berjanji tidak menertawakan bagaimana caraku untuk mendekati Chlora!"

"Bagaimana mungkin aku tidak tertawa? Bahkan Zoey sampai memukul tanganku agar aku tidak tertawa melihat cara pendekatanmu itu!" balas Harvey.

"Ah sudahlah, mereka sudah pergi. Kita cari waktu lain saja," ucap Virion malas.

Zoey terus mengusap-usap kedua tangannya. "Astaga, aku tak pernah memikirkan jika penyihir hebat seperti Harvey akan menyukaiku."

"Orang buta saja tahu jika Harvey menyukaimu, Zoey," sahut Chlora kesal.

"Orang buta juga tahujika Virion menyukaimu. Aku sudah mengatakan spekulasiku tapi kau tidak maumendengarnya. Siapa sangka alasannya ingin mendapatkan pedang itu karenamu,"ucap Zoey dan Chlora menyembunyikan wajahnya dan tersenyum malu.

Orenda [END]Where stories live. Discover now