EMPAT BELAS

15.2K 2.3K 67
                                    

"Astaga, sepertinya akan sulit jika kita langsung menemui mereka," ucap Chlora saat menatap Virion dan Harvey yang dikelilingi oleh para perempuan.

Zoey menatap itu dengan wajah datar. "Sial, jika begini kita tidak bisa bertanya pada mereka."

"Ya, tidak ada pilihan. Kita harus mencari informasi dari perpustakaan," ujar Chlora.

Chlora segera menarik tangan Zoey dan pergi ke perpustakaan. Chlora menatap perpustakaan itu dengan wajah bingung. Perpustakaan itu sangatlah besar dengan jumlah siswa yang sedikit. Zoey menggunakan tongkat sihirnya untuk mempermudah pencarian buku itu.

"Ah, buku tentang akademi ini berada di rak paling ujung," celetuk Zoey.

Chlora segera berjalan dan menemukan buku bersampul merah. "Ketemu!"

Chlora membaca buku itu dan mengernyit. Buku itu tidak menuliskan tentang sejarah akademi. "Kenapa mereka malah menulis hal tidak penting di sini? Buang-buang waktu sekali."

"Mereka juga tidak menuliskan apa pun di sini. Lalu mengapa guru mengatakan bahwa kita bisa menemukan informasi di perpustakaan? " keluh Zoey.

Mereka berdua kembali mencari-cari buku tentang sejarah akademi, namun tidak ada sama sekali buku yang menyebutkan tentang sejarah akademi. Chlora membanting buku terakhir yang ia baca dan mendengus.

"Apakah kita harus meminta bantuan pada tokoh utama? Aku yakin sekali mereka sudah menemukan informasi itu dengan mudah," tanya Chlora.

Zoey menggeleng. "Kita tak boleh bergantung dengan mereka, Chlora."

"Apa yang kalian cari di sini? Apakah tentang sejarah akademi? Kalian tidak akan menemukannya di sini. Bagaimana jika kalian bertanya padaku saja?"

Chlora menoleh dan melihat Harvey dan Virion yang duduk di kursi yang ada di hadapannya. Chlora melirik Zoey dan dibalas tatapan tajam oleh Zoey. Zoey mengisyaratkan pada Chlora untuk menanyakan hal itu pada mereka.

"Ah, iya. Tadinya kami ingin bertanya pada kalian tapi kalian tampaknya sedang makan siang. Jadi kami memutuskan untuk mencari informasinya di perpustakaan. Tapi karena kini sudah ada kalian, maka aku meminta pada kalian untuk menceritakan sejarah akademi," ucap Chlora.

Harvey mengangguk-angguk dan tersenyum. "Sebelum itu, aku tidak menyangka jika aku akan bertemu dengan penyihir yang memiliki kemampuan yang langka. Aku yakin kini kau sedang membaca pikiranku."

Zoey tersentak. "Kau bisa langsung mengetahui jika aku memiliki kemampuan membaca pikiran padahal kita belum pernah ketemu? Aku akui kau layak dijadikan penyihir agung. Aku juga yakin kau sudah mengetahui tentang novel 'Bunga dan Cinta'."

"Oh, tentu saja. Tapi bukankah ini menjadi lebih menarik karena salah satu antagonis masih mengingat masa lalunya? Bahkan dia mendapatkan bunga magnolia emas yang merupakan kandidat utama pasangan pemilik pedang Lazarus," seringai Harvey.

"Kau juga tahu tentang bunga magnolia emas itu?!" pekik Chlora.

Harvey tertawa. "Ah, kalau tentang itu kau bisa bertanya pada anak di sebelahku ini."

Chlora langsung menatap Virion. "Jadi selama ini kau tahu ada bunga itu di kamarku?"

Virion menggaruk kepalanya. "Tentu saja, itu terlihat sangat jelas."

"Aku sedang tidak ingin membahas hal itu. Sekarang tolong bantu aku dan Chlora untuk menyelesaikan tugas kami. Aku dan Chlora ingin tidur sekarang," ucap Zoey.

"Baiklah. Ambil kertas dan pena lalu catat apa yang aku katakan," Harvey menghela napas.

Zoey menggeleng. "Tidak perlu, kau katakan saja itu di pikiranmu, aku akan mendengarkannya."

Harvey terkekeh dan menatap mata Zoey yang fokus mendengarkan pikirannya. Virion menatap Zoey dengan bingung. "Bukankah akan lebih baik apa bila dia mencatatnya di kertas?"

"Zoey akan lebih mudah mengingat apa yang orang lain pikirkan. Aku dan Zoey sedang tidak ingin menulis apa pun. Kami mengantuk," jawab Chlora jujur.

Virion menatap Chlora dengan lembut. "Jika kau ingin tidur, tidur saja. Aku akan membangunkanmu apa bila mereka berdua sudah selesai."

"Tidak, akan sangat memalukan bagiku apa bila tertidur di perpustakaan pada hari pertama kami berada di akademi. Aku akan segera tidur jika sudah jam pulang sekolah."

Virion menepuk-nepuk kepala Chlora. "Aku jadi rindu melihat pipimu yang tembam itu."

Pipi Chlora memerah. "Pipimu juga sama tembamnya sepertiku dulu."

Tanpa sengaja Chlora melihat banyak sekali bekas luka yang ada di tangan Virion. Ia langsung mengenggam tangan Virion. "Mengapa tanganmu bisa begini? Saat terakhir kali aku melihatmu tanganmu tidak terluka sedikit pun."

"Ah, ayahku sangat marah saat tahu jika aku lolos tes akademi. Ia menyiksa tanganku dengan besi panas. Ia berharap jika aku tidak bisa menggunakan tanganku," ucap Virion sambil melihat tangannya dengan sedih.

Chlora mengeraskan rahangnya. "Sudah aku bilang jika kita harus melaporkan ayahmu itu! Sudah ada hukum tertulis yang mengatakan jika orang tua tak boleh menyiksa anaknya!"

Virion menggeleng. "Tidak apa, Chlora. Kehadiranmu saja sudah membuatku merasa hidup. Aku tidak memedulikan ayahku karena aku hanya mengingat dirimu."

Chlora merasakan sakit di dadanya saat Virion mengatakan hal itu. "Jujur saja aku berharap agar ayahmu itu mati saja. Aku tidak ingin melihatmu tersiksa lagi."

"Ya, juga kini aku sudah jauh lebih kuat karena memiliki pedang Lazarus. Aku dan roh iblis yang ada di pedang itu terikat satu sama lain," ujar Virion.

Chlora mengernyit. "Bagaimana bisa? Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu."

"Ibuku adalah seorang iblis, Chlora. Apakah setelah mendengar hal ini kau menjadi jijik padaku?" tanya Virion sambil menatap Chlora.

Chlora terkejut ketika melihat warna mata Virion yang berubah menjadi merah walau pun itu hanya terjadi selama beberapa detik. Chlora mengenggam tangan Virion. "Aku tidak pernah menilai orang karena garis keturunnanya, Virion."

Virion bernapas lega dan menunduk. "Aku benar-benar lega sekali mendengar itu. A- aku sangat takut apa bila kau membenciku, Chlora. Aku terus mengingat kata-katamu saat itu."

"Maaf, Virion. Dulu aku memang berpikiran sempit karena aku takut dengan kematian. Tapi semakin besar aku menyadari bahwa alur cerita novel itu telah berubah total. Aku tidak perlu mengkhawatirkan hal-hal seperti itu," sahut Chlora.

"Aku sudah selesai. Ayo kita ke kamar, aku ingin tidur," ucap Zoey tiba-tiba.

Chlora mengangguk. "Virion, aku pergi dulu. Maaf bila kata-kataku telah menyakiti hatimu."

Chlora segera menyusul Zoey yang sudah keluar dari ruangan. Harvey menatap Virion yang terdiam. "Bagaimana rasanya bertemu lagi dengan gadis pujaanmu itu?"

Virion tertawa. "Tentu saja aku sangat senang. Jika tidak ada dia mungkin aku sudah menjadi Virion yang ada di novel."

"Baguslah. Chlora dan Zoey merupakan gadis yang sangat menarik. Aku memperkirakan jika mereka mempunyai umur mental yang sama sehingga mereka sangat cocok," balas Harvey.

"Benarkah? Aku tahu kau sebenarnya lebih tertarik pada Zoey. Kau bahkan rela mendekati Chlora agar bisa dekat dengan Zoey, bukan?" goda Virion.

Harvey memukul kepala Virion. "Kau tidak perlu membuka rahasiaku seperti itu. Bagaimana jika ada siswa lain yang mendengarnya?"

"Mendengar apa? Bahwa kau sudah jatuh cinta dengan Zoey sejak dia lahir? Sebenarnya kau itu mengerikan, Harvey. Syukur saja Zoey tampak tidak terganggu," ucap Virion.

"Kau juga mengerikan Virion, kau menyelinap ke dalam kastil Beasley saat kau berumur tujuh tahun hingga tiga belas tahun. Jika kau tidak masuk ke akademi aku yakin tingkahmu akan lebih aneh dari pada ini," sindir Harvey.

Virion tertawa. "Ayo kita bertarung sekarang. Aku akan menggunakan darah iblisku untuk membungkam mulutmu yang menyebalkan itu."

"Sebenarnya kita ini sama, Virion. Tak usah menyangkal seperti itu. Ah, jam istirahat sudah selesai, ayo kita pergi ke kelas," mereka berdua kemudian kembali ke kelas.

Orenda [END]Where stories live. Discover now